Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu (UU Penyiaran nomor 32/2002, pasal 36 butir 4).Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk (Kode Etik Jurnalistik, pasal 1)
Proses pemilihan presiden dan wakil presiden RI yang mendekati hari pencoblosan 9 Juli 2014, semakin memanas. Pencalonan yang mengerucut ke dua kubu, membuat polarisasi menjadi frontal. Polarisasi yang seolah membelah publik menjadi dua kubu, juga membuat media seolah berhadap-hadapan. Paling mencolok adalah keberpihakkan media televisi yang dimiliki pimpinan partai politik yang menjadi bagian dari pendukung pasangan capres. Secara terang-terangan, 2-3 kelompok televisi saling berhadapan: memuji setinggi langit capres yang didukung dan menyajikan informasi negatif capres lawan.
Ruang redaksi tak ubahnya seperti markas tim sukses. Seorang pemimpin redaksi stasiun televisi, yang sebelumnya menjabat wakil badan pemenangan pemilu sebuah partai, kini ditunjuk menjadi tim media pasangan capres tertentu. Beberapa jurnalis dari media online dan televisi bahkan memilih keluar karena menolak menjadi alat propaganda partai atau pasangan capres.
Daftar teguran/peringatan KPI
Dalam situasi ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) lagi-lagi gagal menunjukkan wibawanya sebagai lembaga regulator isi siaran. Memang, pada 30 Mei 2014, KPI mengeluarkan peringatan kepada lima stasiun televisi yang dianggap tidak netral dan melanggar prinsip keberimbangan dalam pemberitaan pasangan capres dan cawapres. Kelima stasiun TV itu adalah TVOne, RCTI, GlobalTV, MNCTV (TPI), dan MetroTV.
Sebelumnya pada 8 April 2014, kelima stasiun TV tersebut, ditambah TransTV, Trans7, Indosiar dan TVRI, juga mendapat teguran dari KPI karena beramai-ramai melanggar batas maksimum pemasangan iklan kampanye.
Tak hanya itu, pada 11 Maret sebelumnya, bahkan 10 stasiun TV mendapat teguran karena melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) antara KPU, Bawaslu, KPI, dan KIP tentang penayangan iklan politik sebelum jadwal kampanye.
Teguran itu seperti menggenapi peringatan KPI pada Januari 2014 terhadap dua stasiun televise yakni RCTI dan GlobalTV. Masing-masing dalam program Kuis Kebangsaan dan Kuis Indonesia Cerdas. Ini merupakan teguran kedua setelah teguran pertama pada Desember 2013, menyusul keresahan publik atas tayangan iklan politik berkedok kuis yang disampaikan ke KPI.
Pada Desember 2013, KPI telah menyatakan enam stasiun televisi yang tidak proporsional dalam menayangkan siaran politik. Dengan bahasa lain, keenam stasiun televisi tersebut dinilai partisan atau menunjukkan keberpihakkan kepada partai dan kandidat tertentu.
Imbauan, peringatan, teguran yang bertubi-tubi, terbukti tidak membuat pimpinan stasiun penyiaran atau pemiliknya berubah. Publik menilai pemilik dan pengelola stasiun televisi tersebut melecehkan aturan bahkan meremehkan KPI yang diberi kewenangan UU sebagai regulator penyiaran.
Di Masa Pemilu Legislatif
Empat belas hari sebelum pencoblosan Pemilu Legislatif, April 2014, Dewan Pers memaparkan hasil penelitian tiga lembaga independen terkait pemberitaan media. Ketiga lembaga itu adalah Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Remotivi, dan Masyarakat Peduli Media (MPM).
Hasil penelitian ketiga lembaga tersebut menyimpulkan : terjadi banyak pelanggaran kode etik yang paling fundamental dalam praktik jurnalisme, khususnya media penyiaran yakni pemberitaan yang tidak berimbang.
Di Metro TV, Nasdem adalah partai yang paling banyak diberitakan dengan nada positif (25%).
Di RCTI, pada periode 1-7 November 2013, Hanura memborong semua pemberitaan bernada positif (100%)
Di TVOne, partai yang paling banyak diberitakan dengan nada positif adalah Golkar (60%), dibanding PKS (20%), dan Demokrat (20%).
Aburizal Bakrie adalah tokoh paling sering beriklan (152 kali). Lalu di posisi kedua ada Wiranto (104 kali) di mana 38 kali di antaranya muncul di MetroTV dan 66 kali di RCTI. Sedangkan posisi ketiga ditempati Hary Tanoe (66 kali) yang semuanya di RCTI.
Surya Paloh adalah pemilik stasiun TV yang paling masif menjadikan media miliknya sebagai sarana politik. Aburizal Bakrie adalah tokoh politik dengan frekuensi dan durasi iklan tertinggi (152 kali). Hanura adalah partai dengan porsi pemberitaan tertinggi di RCTI (frekuensi, durasi, dan citra positif).
Sementara itu PR2Media Yogyakarta menyimpulkan: 78,9% berita yang muncul ketengah publik mengandung penggiringan opini yang bias kepentingan pemilik media (partisan).
Sikap AJI
Seluruh praktik jurnalisme partisan tersebut terang-terangan merugikan hak publik atas informasi yang obyektif, akurat dan berimbang. Praktik jurnalisme partisan itu mengingatkan kita pada praktek jurnalisme masa orde baru dimana pers acap dijadikan corong propaganda penguasa politik dan gagal menjalankan fungsinya sebagai elemen kontrol sosial. Pemilik dan wartawan partisan semakin dianggap wajar dalam praktek bermedia.
Dengan keprihatinan mendalam Aliansi Jurnalis Indenden (AJI) menyatakan sikap:
Mengecam praktik jurnalisme partisan media massa, terutama media penyiaran yang menggunakan sumber daya publik berupa frekuensi. AJI juga mengecam praktek penyebaran fitnah dan informasi yang menyesatkan terhadap kandidat peserta pemilu dengan menggunakan platform media cetak. AJI menyatakan media fitnah propaganda seperti itu bukanlah pers.
Terhadap stasiun penyiaran yang dengan sengaja dan berkali-kali melanggar aturan penyiaran (P3SPS) dan UU 32/2002, AJI merekomendasikan penghentian siaran hingga pencabutan izin frekuensi siaran atas persetujuan KPI dan Dewan Pers.
Karena menjadi partisan adalah pilihan sadar, dan sengaja diambil oleh redaksi media-media tertentu, maka mereka tidak bisa lagi dikategorikan sebagai lembaga atau perusahaan pers. Mereka dengan sadar memilih keluar dari perlindungan UU Pers. Masyarakat yang merasa dirugikan, bisa langsung mengambil langkah-langkah hukum tanpa melalui Dewan Pers.
AJI mendorong diadakannya evaluasi pemakaian frekuensi (10 tahunan untuk televisi dan 5 tahunan untuk radio). Pemilik dan pengelola stasiun penyiaran yang sengaja melawan dan berkali-kali mendapatkan surat peringatan dari KPI dan Dewan Pers tidak lagi diberi izin mengelola frekuensi yang berbasis domain publik. Jika perlu Dewan Pers dan KPI mengumumkan pemilik/pengelola media pelanggar aturan dan etika jurnalistik tersebut sebagai Daftar Orang Tercela (DOT) versi media, seperti halnya DOT di dunia perbankan.
AJI mengajak para jurnalis disemua platform media agar mentaati prinsip netralitas penyiaran, bersikap independen, menghasilkan berita yang berimbang serta memberikan contoh kepada publik praktek jurnalisme yang profesional dan beretika. Apabila diperlukan AJI siap emberikan pelatihan dasar jurnalistik dan kode etik kepada pemilik, pengelola media, dan jajaran manajemen media, secara GRATIS.
Jakarta, 4 Juni 2014
Eko Maryadi (Ketua Umum)
Dandhy Dwi Laksono (Koordinator Divisi Penyiaran dan Media Baru)
Info lebih lanjut :
Eko Maryadi : 0811-852-857
Dandhy Dwi Laksono : 0812-9066-157
Sekretariat AJI Indonesia
Jl. Kembang Raya No. 6
Kwitang, Senen, Jakarta Pusat 10420
Indonesia
Phone (62-21) 315 1214
Fax (62-21) 315 1261
Website : www.ajiindonesia.org
__._,_.___
No comments: