Isbedy Stiawan ZS/Teraslampung.Com
Masjid Al Anwar di Jl. Laksamanan Malahayati, Telukbetung, Bandarlampung (teraslampung.com/oshn) |
Penanda lainnya adalah Masjid Jami Al-Anwar, masjid tertua di Lampung yang berada di Jalan Laksamana Malahayati, Kelurahan Pesawahan, Telukbetung Selatan. Masjid ini dibangun tahun 1839, tetapi luluhlantakan terjangan tsunami akibat meletusnya Gunung Krakatau pada 1883. Lima tahun kemudian, barulah masjid dibangun kembali.
Kampung Palembang dulunya merupakan kawasan bagi pendatang dari Kota Pempek.
“Wong Palembang”—biasa kita menyebut untuk warga asal Palembang—lalu menetap di sini. Mereka hijrah pada saat kolonial Belanda.
Mereka tinggalkan kota kelahiran karena penjajah sudah memasuki Palembang melalui Sungai Musi, dan memilih menetap di Lampung sebagai daerah yang diangga aman kala itu. Selain itu, tentu saja, ingin memperoleh kehidupan yang layak di daerah yang baru.
Warga asal Palembang, menurut Tjek Mat Zein, tokoh asal Palembang, meninggalkan kampung kelahiran menggunakan kapal laut dan mendarat di Desa Hurun, Lempasing, ataupun Panjang. Sebagian warga yang lain, menempuh jalan darat. Lalu yang menggunakan jalan darat, ada yang sampai di Telukbetung ini, namun ada pula yang “terdampar” di Menggala, Tulangbawang.
Tjek Mat Zein (dok ulun lampung)Itu sebabnya, di Provinsi Lampung ia ada dua Kampung Palembang. Satu di Kelurahan Pesawahan, dan satunya lagi di Menggala. |
Menurut Tjek Mat Zein, awalnya luas Kampung Palembang sekitar 15 hektare, sehingga batasnya sampai Kampung Bugis, Gudeng Lelang, dan Stasiun Telukbetung.
Kedatangan wong Palembang ke Telukbetung ini diperkirakan pada tahun 1880-an. Karena mayoritas, akhirnya daerah ini dinamai Kampung Palembang.
Sementara Pesawahan kala itu masih sebagai desa. Dinamai Pesawahan lantaran kawasan ini berupa sawah dan berlumpur. Wilayah Pesawahan awalnya memiliki beberapa bek (kepala desa). Para bek itu memimpin wilayah untuk etnis Palembang, Arab, Banten, dan Cina.
Setelah terbentuk Desa Pesawahan, bek-bek tersebut dilebur menjadi rukun kampung (RK) dan tetap membawahi masing-masing etnis.
Seiring berkembangnya struktur pemerintahan, desa ini pun berganti menjadi Kelurahan Pesawahan. Dan, Kampung Palembang masih dikenal. Demikian pula dengan Kampung Cina atau lebih dikenal Pecinan.
Masyarakat etnis Palembang punya jasa bagi pengembangan Islam di daerah ini. Masjid Jami’ Al-Anwar yang dibangun pada tahun 1888, 5 tahun setelah Gunung Krakatau meletus, merupakan sumbangsih dari warga Palembang yang telah menetap di daerah ini.
Daerah sekitar masjid ini dulunya dikenal Indrapura. Namun, setelah ada masjid, daerah ini lebih kenal sebagai Kampung Masjid. Karena itu, Kampung Palembang identik dengan Kampung Masjid. Keduanya seakan tak bisa dipisahkan.
Menarik lagi bahwa setiap ada Kampung Palembang, maka di dekat daerah itu ada Kampung Bugis. Begitu sebaliknya. Misalnya, selain di Telukbetung Selatan ini, Kampung Palembang bertetangga dengan Kampung Bugis juga ada di Menggala, Kabupaten Tulangbawang.
Sudah dua abad orang Palembang menjadi warga Telukbetung. Tidak heran, jika mereka sudah benar-benar menjadi “orang Lampung”. Diharapkan Kampung Palembang tidak akan berganti, hingga kapanpun. Harapan itu diucapkan tokoh Kampung Palembang Tjek Mat Zein.
Banyak lahan milik orang Palembang yang dijual kepada pendatang lain, seperti etnis Arab, Cina, dan suku lainnya. Karena pembangunan kota yang pesat, Kampung Palembang kini tidak lebih dari lima hektare. Warga asli Palembang pun sudah bisa dihitung dengan jari tangan dan kaki.
Kini populasi orang Palembang sudah tidak banyak lagi, setelah lahan dan rumahnya dijual dan berubah menjadi rumah toko dan usaha lainnya. Meski begitu, Kampung Palembang tetap dikenang oleh banyak orang. Tercatat dalam sejarah Kota Bandarlampung.
Inilah kampung tua warga asal Palembang di Telukbetung. Kampung yang telah menjadi saksi bagi derap sebuah kota.
No comments: