Isbedy Stiawan ZS/Teraslampung.com
Kampung Pagardewa (tanahlado.net) |
Bandarlampung—Kalau Anda berselancar di google.com, lalu silakan ketik kata "Pagardewa" atau "Kerajaan Tulangbawang", kemudian silakan klik. Anda akan mendapatkan banyak tulisan tentang Pagardewa ataupun tentang sebuah kerajaan yang konon pernah hidup di Lampung semasa Hindu dan masuknya Islam.
Ya. Menyebut Pagardewa, sejumlah sejarah baik tentang Kerajaan Tulangbawang, prajurit kokoh dan pemeluk Islam pertama bernama Minak Pati Pejurit, maupun kampung yang dikeliling makam dan para dewa sampai cerita “makan manusia” ada di sini.
Kampung (tiyuh) tua ini diapit oleh dua sungai Tulangbawang yakni Way Kanan dan Way Kiri. Untuk sampai ke Pagardewa bisa menggunakan perahu, namun jika melalui darat dapat ditempuh sekitar 2 jam. Kampung tua ini juga disebut sebagai kampung etnis, pasalnya dihuni oleh mayoritas etnik Lampung.
Keadatan orang Lampung di Pagardewa adalah Pepadun dan sistem tradisinya berupa marga. Berbeda dengan Saibatin, pimpinan adat diberikan secara turun-temurun, maka Pepadun dapat dipimpin oleh siapa pun asalkan telah cakak pepadun dan diakui melalui gelar adat.
Menurut sejarah—persisnya cerita yang dituturkan turun-temurun--Kerajaan Tulangbawang berpusat di Pagardewa di Tulangbawang Barat (dahulu Kabupaten Tulangbawang).
Makam Minak Peti Pejurit (isb) |
Di Pagardewa terdapat sejumlah makam, yakni Tuan Rio Mangku Bumi, Minak Pati Pejurit atau Tuan Kemala Bumi, istrinya yaitu Ratu Dibalau (Ratu Balau), dan orang-orang sakti lainnya.
Dalam situs “Dunia Melayu se-Dunia” menyebutkan, Kerajaan Tulangbawang merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Nusantara.
Sementara catatan Tiongkok Kuno, sekitar pertengahan abad 4, seorang bikshu dan peziarah Fa-Hien (337-422) berlayar ke Hindia dan Srilangka. Fa-Hien terdampar dan singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang P’o-Hwang atau diartikan Tulangbawang.
Namun, ihwal To-Lang P’o-Hwang ini ada pendapat lain. To-Lang P’o-Hwang bermakna sesuatu yang berada di daratan tinggi. Dapat disimpulkan adalah daerah di sekitar Gunung Pesagi, yang mengacu pada Kerajaan Sekala Brak. Dianggap muasalnya orang Lampung, sebelum runtuhnya Ratu Seghemong—pimpinan Sekala Brak dari bangsa Tumi—oleh kehadiran empat umpu dari Pagaruyung.
Pujangga Tiongkok I-Tsing pernah singgah di Kerajaan Sriwijaya, dan ia sempat melihat daerah bernama Selapon. Pada abad 7, Tola-P’ohwang diberi nama lain yaitu Selampung lalu dikenal Lampung. Kerajaan Tulangbawang justru pudar ketika Che-Li-P’o (Kerajaan Sriwijaya) semakin berkembang.
Hermani gelar Minak Bangsawan Diraja meyakini, Pagardewa adalah pusat Kerajaan Tulangbawang. Meski fosil istana kerjaan tak ditemukan, sejumlah makam para raja dan hulubalang masih ada hinggsa sekarang.
Dikatakan Hermani, Pagardewa adalah tanah pertama yang dipijak oleh orang Lampung. Dari tanah (bumi Pagardewa) ini pula, adat pun dimulai. Hal itu sejalan dengan ahli sejarah Dr. J.W. Naarding, yang memperkirakan pusat Kerajaan Tulangbawang terletak di Way Tulangbawang—tepatnya antara Menggala dan Pagardewa.
Kerajaan Tulangbawang, sebagaimana dikatakan Minak Bangsawan Diraja, pusatnya diperkirakan di Betut Bujung (pertemuan dua sungai: Way Kanan dan Way Kiri). Pagar Dewa atau Pager Dewou berasal dari kata “pagar” (dikelilingi/dilingkari/dipagari) dan “dewa” (dewa). Berarti kampung ini dikelilingi para dewa.
Arti Pagardewa yang lain ialah pepatian. Maksudnya suatu tempat saling berbunuh dengan lainnya. Bekas “padang karbela” ini masih ada hingga kini di Gayau. Pepatian juga bisa berarti raja-raja atau para ningrat. Sehingga Pagardewa dapat diartikan “tempat berdirinya para raja”.
Di sini juga tersebar makam. Sehingga daerah ini disebut makamnya orang-orang sakti. Usia makam pun sudah berabad-abad. Misalnya makam Tuan Rio Mangkubumi, Raja Tulangbawang semasa Hindu dan ayahanda Minak Pati Pejurit (Minak Kemala Bumi) ada di Pagardewa.
Begitu pula makam Minak Pati Pejurit yang hidup abad XV dan keturunan ke 10 Kerajaan Tulangbawang serta Putri Balau—istri Minak Kemala Bumi—masih ada dan dirawat oleh keturunannya hingga sekarang.
Pagardewa memiliki banyak cerita. Misalnya, saat orang Pagardewa bertarung dengan orang Bugis, dapat dilihat di daerah Gayau. Begitu pula kisah Lembu Kibang, dan banyak lagi. Atau pada malam hari sering terdengar tetabuhan musik tradisional, dan lain-lain. Sehingga terkesan mistis.
Hermani, juru kunci Makam Minak Pati Pejurit dengan lancar siap menuturkan cerita tentang Pagardewa dan Kerajaan Tulangbawang, hingga silsilah-silsilahnya. Bagaimana ayahanda Minak Pati Pejurit, Tuan Rio Mangkubumi ditawan oleh Kerajaan Palembang.
Kemudian Minak Kemala Bumi siap melancarkan dendamnya. Namun, ia mesti memperkuat dirinya dengan belajar ke Banten. Di Banten, justru Minak Kemala Bumi alias Minak Pati Pejurit mengikrarkan diri sebagai muslim.
Sejak itu ia melupakan dendamnya. Minak Pati Pejurit malah mempertebal iman dan mendalami ilmu Islam ke Mekah. Minak Kemala Bumi, konon, sempat singgah di tanah Tiongkok.
Sementara Prof. Hilman Hadikusuma, sejarahwan dari Universitas Lampung menyatakan, sulit membuktikan keberadaan Kerajaan Tulangbawang mengingat bukti peninggalan baik puing maupun lainnya tidak ada.
Terlepas Kerajaan Tulangbawang benar-benar ada ataukah hanya legenda, bagi Hermani gelar Minak Bangsawan Diraja, bukan soal paling penting.
Pagardewa Makan Orang
Dari sejumlah cerita, Minak Pati Pejurit (Minak Kemala Bumi) dikenal sangat sakti. Karena saktinya, kisah tentangnya selayak cerita silat.
Dalam tulisan Raja Tulangbawang Memeluk Agama Islam pada Bab II “Kerajaan Tulangbawang Sesudah Islam Masuk” dijelaskan, pada tahun 1554 M, Minak Kemala Bumi ke Banten untuk mempelajari agama Islam.
Cerita yang melekat hingga sekarang bahwa orang Pagardewa makan manusia (pagar dewou mengan jimou), sebenarnya salah tafsir. (Baca juga cerpen "Aku Jimou Pagar Dewa")
Syahdan, saat Minak Pati Pejurit hendak mengambil Putri Balau dari Negeri Balau Kedaton untuk dijadikan istri, dia melabuhkan sampannya di Way Lunik. Sebelum masuk ke Negeri Balau, dia bermalam di daerah Panjang. Penjagaan menuju Negeri balau terlalu ketat, sampai pohon-pohon nipah layaknya manusia hidup sebagai pagar betis.
Untuk menakut-nakuti para pengawal Negeri Balau, Minak Pati Pejurit memanggang rusa dan di depannya ada tubuh manusia yang sudah meninggal. Saat para pengawal melihat, Minak Pati Pejurit menyantap daging rusa yang dibakar. Para pengawal pun mengira orang Pagar Dewa ini tengah memakan manusia.
Pagardewa memang menyimpan segudang cerita atau legenda. Di kampung tua ini, kisah dan silisilah marga-marga atau bangsawang Kerajaan Tulangbawang bagaikan tersebar di lontar-lontar.
Sementara itu, kompleks makam yang tersebar di Pagardewa merupakan peninggalan sejarah tentang eksistensi kelompok masyarakat yang ada di Kabupaten Tulangbawang Barat.
Di sini suasana tradisional masih terasa. Misalnya rumah panggung yang masih asli banyak dijumpai, selain pada waktu-waktu tertentu kerap diadakan upacara tradisional.
Selain cerita bahwa di sini pernah ada Kerajaan Tulangbawang, dengan rajanya semasa pra Islam Tuan Rio Mangku Bumi lalu diteruskan oleh putranya sebagai raja terakhir dan semasa Islam yaitu Minak Kemala Bumi alias Minak Pati Pejurit, di sini juga berbagai situs, makam kiyai asal Banten, dan tempat-tempat sejarah yang tersebar di Kecamatan Pagardewa.
Jalan rusak parah (isb) |
Infrastruktur
Pagardewa disahkan sebagai kecamatan dalam Sidang Paripurna DPRD Tulangbawang pada 8 Juli 2004, dengan dilantik camat pertama Syofian A. Ganie atas Surat Keputusan Bupati Tulangbawang Abdurrachman Sarbini kala itu.
Kini Pagardewa merupakan kecamatan di wilayah Kabupaten Tulangbawang Barat. Berdasarkan Perda Tulangbawang tersebut luas wilayah Kecamatan Pagardewa 13.328, membawahi lima kampung: Pagardewa, Sukamulya, Cahyowrandu, Bujungsari Marga, dan Kampung Bujung Dewa.
Bersyukur saya pernah dua kali ke Pagardewa. Sebuah kecamatan sekaligus kampung tua yang unik, diapit oleh dua way (sungai) besar: Way Kanan dan Way Kiri. Kampung tua dengan rumah-rumah panggung berusia tua ini, juga diapit oleh dua kabupaten: Tulangbawang dan Way Kanan.
Perjalanan mencapai Pagardewa sangat melelahkan. Dengan kendaraan roda dua, dari Panaragan—ibukota kabupaten—ditempuh sekitar dua jam, harus melalui Kabupaten Way Kanan dan jalan masih tanah diselingi bebatuan. Jika musim hujan, jangan harap bisa menembus jalan menuju kampung tua ini.
Malam datang, kampung pun menjadi kelam. Penerang listrik belum dinikmati masyarakat di sini. Hanya genset dari rumah-rumah warga. Wajar kalau telepon seluler kerap mati, sebab sulitnya memenuhi baterei.
Bila malam, kampung tua Pagardewa bagai hamparan makam. Gelap gulita. Hanya lampu-lampu berminyak tanah di setiap rumah. Suasana pun seakan mencekam.
Camat Markurius (dok) |
Camat Pagardewa Drs. Markurius R.A., MIP., mengakui hal ini. Dia berharap jembatan penyeberangan yang membelah Way Kiri dapat segera terealisasi. Dengan adanya jembatan penyeberangan itu, Pagardewa tak akan terisolir lagi.
Markurius juga mengharapkan pada pemerintah, PLN dapat segera masuk ke daerah ini. Sebab penerang listrik adalah vital bagi kehidupan masyarakat.
Diakuinya Pagardewa berpotensi bagi pembangunan, terutama dari hasil perkebunan, pertanian, dan perikanan. “Saya opitimistis hasil sumber alam dari sini bisa secepatnya dipasarkan, dan masyarakat bisa hidup nyaman. Selain itu PAD juga bisa terpenuhi dengan baik,” katanya.
Harapan Camat Pagardewa yang juga belum direalisasikan, ialah pembagunan Tugu Badik. Ditegaskan, badik adalah alat senjata tajam masyarakat asli Lampung, khususnya dari Pagardewa. “Saya ingin menegakkan Tugu Badik di pintu masuk Pagardewa, cuma sampai sekarang belum terlaksana,” ujar Markurius.
Meski untuk mncapai kampung tua ini melelahkan. Tetapi, mendengar cerita tentang “kejayaan” Pagardewa masa silam, membuat saya bersemangat untuk kembali ke sini.
Kampung tua yang bersejarah, menyimpan banyak misteri, dan “taman” bagi pemakaman, memang menggiurkan banyak pejabat dan politisi di Lampung untuk bertandang dan bermalam. Terutama menjelang pilkada atau pemilihan legislatif, kampung tua ini kerap dikunjungi. Mereka berziarah ke sejumlah makam para “orang sakti” dan “orang suci” yang tersebar di kampung ini. Sepertinya mereka “meminta restu” pada leluhur yang telah tiada.
Pagardwa memang berpotensi dijadikan salah satu objek wisata religi dan histori di Kabupaten Tulangbawang Barat. Alangkah eloknya jika pemerintah memikirkan hal ini. Merapikan infrastukturnya. Merampungkan jembatan penyeberangan yang terbengkalai.
Bayangkan, jika warga yang mengendarai motor atau jalan kaki hanya mengandalkan tongkang untuk menyeberang.Tidak efisien, efektif, dan akan selamanya kampung tua ini terisolir. Gelap pekat jika malam menyungsup.*
Bayangkan, jika warga yang mengendarai motor atau jalan kaki hanya mengandalkan tongkang untuk menyeberang.Tidak efisien, efektif, dan akan selamanya kampung tua ini terisolir. Gelap pekat jika malam menyungsup.*
No comments: