Cerpen Isbedy Stiawan ZS
ilustrasi (ulunlampung.blogspot) |
DATANGLAH sesekali ke kampungku: Pagar Dewa. Kunjungi sebuah kampung yang dipagari sungai besar bernama Tulang Bawang. Di situ ada dua sungai (way – bahasa Lampung) yang berpisah menjadi Way Kanan dan Way Kiri.
Aku di sini tak hendak menceritakan ikhwal Way Kanan padamu agar kau bisa cari sendiri kelak setelah berkunjung. Soal Way Kiri, itulah yang memagari kampungku. Konon pula di antara perpisahan dua wai tersebut, pernah berdiri sebuah kerajaan terbilang besar di salah satu negeri ini.
Soal kerajaan ini pun, aku juga tak punya wewenang memberi catatan di sini sebegai referensimu. Aku juga belum berani memastikan kebenarannya: apakah di wilayah sekitar sungai ini benar-benar ada sebuah kerajaan? Cukuplah kau ketahui saja, kelak—lagi-lagi—kau dapat cari sendiri soal kerajaan ini atau dari pengalamanmu bertanya dengan orang kampungku saat kau singgah.
Kampungku bernama Pagar Dewa, dipagari oleh sungai dan hutan (baik karet maupun pepohonan besar lainnya), serta seratus lebih pemakaman. Ada makam Tuan Rio Mangku Bumi yang konon seorang raja masa animisme, juga makam Minak Pati Pejurit atau Minak Kemala Bumi—juga sekali lagi konon—adalah anak dan Tuan Rio Mangku Bumi yang meneruskan titah ayahandanya sebagai raja di masa Islam.
Itu sebabnya, barangkali, kenapa kampungku ini disebut Pagar Dewa. Artinya sebuah negeri (kampung) yang dipagari (dijaga) oleh orang-orang sakti: titisan dewa. Sungai yang yang besar dan arusnya juga deras, menyimpan kekayaan tiada hingga.
Ikan-ikan berbagai jenis dan nama dari sungai ini terkenal hingga ke luar desa, seperti gabus dan baung. Ikan gabus biasa untuk lauk nasi yang dicampur sambal terasi; kami menyebutnya seruit jika ditambah dengan lalapan seperti terong dan dicampur jadi satu. Begitu pula baung, nikmat jika dibikin pindang dan saat makan ditambah dengan sambal terasi.
Setiap tamu yang berkunjung, akan kami sajikan makanan khas tersebut. Dijamin Anda akan menyukai dan bahkan ketagihan.
Kampungku, hingga di zaman modern dan serbalistrik, justru pada malam hari gelap gulita. Lucu memang kedengarannya, namun ini kenyataan bahwa kampungku belum dimasukkan listrik negara. Meski begitu, aku jamin kau akan betah untuk menginap dua atau tiga hari. Apalagi sekiranya kau menyukai petualangan alam dan hal-hal mistis, kampungku akan memuaskan Anda.
Kampungku, Pagar Dewa, dinisbah sebagai kampung tertua. Ini bukan pembelaan karena aku berasal dari sini. Melihat dari gestur kampungnya memang tampak amat tua. Mungkin lebih tua dari negeri lain di wilayah ini, betapa pun pengakuan tak terbantah bahwa bangsa kami yang hidup di sini berasal dari sebuah bukit di wilayah Barat.
Adapun kampungku ini diyakini bahwa ada kehidupan sejak zaman animisme. Entah dimulai oleh Minak Kemala Bumi ataukah jauh sebelum dari dia yang hidup di sini. Tapi, sudahlah aku tak begitu tertarik membicarakan itu padamu saat ini. Apalagi soal kerajaan atau apakah ada raja di wilayah selatan Pulau Sumatera masih belum teruji kebenarannya secara sejarah.
Sejak dulu, kampungku yang bernama Pagar Dewa tidak pernah mengalami pembaruan. Selalu gelap gulita di malam hari—hanya beberapa rumah yang menggunakan genset atau diesel yang hidup dari pukul 17.00 hingga pukul 22.00—membuat kampungku selayaknya belantara pemakaman.
Tentu saja suara-suara dari berbagai hewan yang hidup di malam hari, seperti musik pengantar kesepianmu. Sebagian tamu yang pernah singgah lalu bercerita dengan teman-temannya sesampainya pulang, mengaku pernah bertemu mahluk aneh. Masudnya bukan manusia. Terkadang penampakannya menyeramkan, lain kesempatan seperti manusia biasa.
Entahlah. Aku sendiri, 20 tahun lebih menetap di sini, tidak pernah menemukan hal-hal gaib seperti itu. Aku biasa pulang tengah malam dari berkunjung ke rumah teman. Ataukah karena aku penduduk asli?
Seorang yang dituakan oleh kami, membenarkan kalau di tepi sungai yang memagari kampung ini masih ada sisa peninggalan bangunan kerajaan. Tidak sedikit orang yang sempat melihatnya. Namun secara kasat mata bangunan itu tidak akan bisa dilihat.
“Sebab istana raja itu berada di dalam dunia maya. Bangunannya tenggelam ke dalam air, bukan karena banjir besar. Raja yang sakti sengaja menenggelamkannya agar tak ada lagi kerajaan setelah dia tiada,” ujar orang yang dituakan itu.
Waktu aku mendengar cerita ini, aku baru selesai SD dan mau melanjutkan SLTP di daerah seberang sungai. Hanya satu jalan dari dan ke kampungku jika hendak ke kampung lain, yaitu melalu sungai besar itu. Sebuah sampan kecil akan menyeberangkan kami.
Bertahun-tahun kami mengandalkan transportasi sungai itu. Bertahun-tahun—mungkin pula berabad-abad—kami memimpikan dibangunnya jembatan penyeberangan sungai sehingga kami tak harus berputar jika menggunakan darat.
Bayangkan! Pada zaman modern ini untuk sampai ke kampung itu membutuhkan sekitar tiga jam jika menaiki mobil. Kalau menyeberang sungai hanya setengah jam, tapi kemudian dilanjutkan dengan sepeda motor.
Kalau kau membawa mobil, sebaiknya tempuh saja perjalanan 3 jam tersebut. Suasana di perjalanan yang berliku, berbatu, tanah merah yang bila hujan amat licin, serta hutan karet akan menemanimu. Sesekali cekam, namun hadapi dengan riang.
Kalau kau menyeberangi sungai dan kendaraan ditinggal, resiko dibawa kabur pencuri lebih besar. Sebab itu pula, kampungku ini jarang dikunjungi para pejabat. Kecuali pada saat hendak pemilihan kepala daerah.
Soal yang terakhir, calon pejabat berziarah sudah tak terhitung. Mereka kadang menginap di rumah warga untuk memeroleh wangsit, mendatangi makam di tengah malam buta untuk berkhalwat, dan lain-lain yang dilakukan.
Soal menang atau kalah dalam pilkada, jangan disangkutpautkan dengan kehadirannya di kampungku ini. Walaupun bagi mereka yang kemudian sukses dalam pilkada mengakui keberkahan kampungku, namun banyak yang kemudian melupakan dengan dalih syirik.
Tak terhitung berapa pemakaman di kampungku. Ada Minak Kemala Bumi, Pati Pejurit dan isterinya Ratu Balau—perempuan dari Marga Balau, serta penyebar Islam asal Banten yaitu Tubagus H. Muhammad Saleh dan Lebai Mujud.
*
JIMOU Pagar Dewo1adalah aku. Itulah aku yang kini meninggalkan kampung kelahiranku yang kerontang, tiada tetumbuhan selain yang kerasa dan besar. Hidup kami yang hanya mengail dari kemurahan Way Tulang Bawang.
Tak ada kehidupan lagi selepas matahari tergelincir di Barat. Malam hanya teman bagi kegelapan. Kecuali beberapa remaja yang berbincang di teras rumah kami yang seluruhnya panggung. Seperti menghitung denyut tiap napas hewan malam. Atau suara-suara aneh dari tengah-tengah pemakaman.
Tatkala aku pamit ke kota untuk mengubah nasib, pertama-tama yang melarangku adalah ayah. Dia tidak ingin aku mati tanpa kerja di kota yang cenderung rakus melahap pendatang dari desa.
Sementara ibu sangat mendukung. Ibu bilang, anak mekhanai (lanang) belum berguna jika tidak bekerja. “Anak lelaki hanya di rumah sangat memalukan. Apa kata calon sabai2jika tahu calon menantunya pengangguran? Pergilah kau ke kota, pulang jika sudah berhasil dan mampu mengambil perempuan untuk isterimu…”
Seperti tertulah, demikian takdir kami. Jika ingin sukses hendaknya tinggalkan Pagar Dewa. Kampung ini belum bisa memberi apa-apa bagi masyarakatnya.
Ya! Sekiranya saja Minak Pati Pejurit tidak merantau ke Banten, musykil ia bisa melenggang hingga ke tanah Arab. Misalnya Minak Kemala Bumi—nama lain dari Pati Pejurit—hanya berdiam di Pagar Dewa, mungkin tak mengawini perempuan asal Negeri Balau.
Setelah sukses Minak Kemala Bumi kembali ke sini. Dia pun meninggal dan makamnya berada di antara ribuan makam lainnya, dekat dengan Sungai Tulang Bawang; way yang amat terkenal hingga ke negeri China dan kerajaan-kerajaan lain.
Banyak jimou Pagar Dewa yang sukses di luar. Banyak rumah-rumah panggung di sini yang ditinggal pergi pemiliknya, hingga sebagian roboh atau tinggal tanah kosong. Meski di sini masih terasa denyut kehidupan, namun sesayup-sayup.
Pada Lebaran aku pulang. Pada saat ini kampungku ramai dikunjungi. Orang-orang kota membawa genset agar malam benderang. Pada malam Lebaran, tak ada “bulan di atas kuburan,”3tapi di atas pemakaman yang mengelilingi Pagar Dewa bertaburan kembang api. Suara gaduh meriam bambu dan petasan silih-berganti.
Ibu menyambutku. Ayah menatapku sekilas, lalu kembali ke kamarnya.
“Apa yang mau kau ceritakan anakku dari kota?” ibu bertanya.
“Seperti kata ibu, aku sudah berhasil. Aku memiliki warung di kota,” jawabku.
“Sudah siap kau melamar gadis di sini?” tanya ibu lagi.
Aku diam. Ibu memandangku dalam. Ingin mendapatkan jawaban dariku.
“Maafkan aku ibu, anak mekhanai-mu ini. Aku sudah punya pilihan, gadis kota, bukan dari suku kita…”
Ibu menyorongkan jarinya ke bibirku. Aku mahfum. Ayah pasti pitam jika tahu kalau aku mengambil gadis tidak sama sukunya.
“Kalau kau yakin pilihanmu itu akan baik kehidupanmu kelak, teruskan. Ibu akan selalu medoakan bagi kebaikanmu.”
Aku memeluk ibu. Kucium kedua pipinya. Suara takbir semakin meninggi walaupun malam kian ringkih. Masjid terbesar dan satu-satunya di kampungku itu biasanya sudah senyap, kalau tak dibantu dengan genset bawaan tetangga yang tinggal di kota.
Pada Lebaran kedua, berdatangan jimou Pagar Dewa yang tinggal di kota. Termasuk orang Pagar Dewa yang sukses dan siap-siap bertarung di pemilihan kepala dearah. Boleh jadi keduanya ingin memeroleh wejangan, dukungan, dan wangsit dari leluhurnya di sini.
Begitulah cara orang untuk menang dalam pertarungan politik. Merayu orang-orang yang masih hidup, dan meminta keberuntungan kepada yang telah meninggal dunia.
Aku? Tetap terbata-bata di hadapan ayah yang bergelar Minak Bangsawan Negeri, pemuka adat yang dihormati. Seorang tokoh yang selalu diminta nasihat, tambo ihwal kampung, pemberi gelar bagi orang yang hendak begawi4atau cakak pepadun5karenya ayah kerap diundang penguasa jika ingin menghelat adat.
Padahal, aku tahu benar, gelar adat yang ayah peroleh karena didanai anaknya yang hidupnya sudah berlimpah di Palembang. Kakakku, adin6Hermani, punya dendam yang selama ini dipendam pada adat.
Saat ingin merantau, ia bersumpah tak akan menginjakkan kaki lagi ke Pagar Dewa, kalau tak sanggup membiayai ayah mendapatkan gelar. Kalau ayah bergelar, dia akan dihormati.
Jabuari-Agustus 2012
__________
1 Orang Pagar Dewa (bahasa Lampung), istilah ini sangat dikenal yang disertai “Pagar Dewo mengan jimou” (orang Pagar Dewa makan orang), ada cerita tersendiri soal ini. Dalam cerita rakyat Pagar Dewa, pada masa Minak Kemala Bumi atau Minak Pati Pejurit ingin menyunting putri dari Keratuan Balau, ia mengayuh sampannya hingga di Way Lunik.
Dari sini melintasi jalan darat untuk sampai di Negeri Balau. Namun tak mudah, daerah “kekuasan” Negeri Balau dijaga ketat. Lalu Minak Kemala Bumi membakar seekor hewan untuk dimakan, dan di sebelahnya ada jasad orang.
Para penjaga mengira Minak Pati Pejurit sedang memakan daging manusia yang dibakar, sehingga takutlah dan meninggalkan area penjagaan. Sehingga leluasa Minak Kemala Bumi memasuki Negeri Balau dan menikahi Ratu Balau.
2 Sabai berarti besan (sebutan orang tua kita kepada orang tua dari menantunya).
5 Mengambil/mendapatkan gelar adat. Untuk memeroleh gelar seseorang harus menyembelih kerbau. Berbeda dengan Lampung beradat Saibatin, gelar diperoleh secara turun-temurun.
6 Selain adin, orang Lampung memanggil kakak (orang yang lebih tua usianya) adalah ajo, kanjeng untuk lelaki, sedangkan perempuan adalah atu, sus, acik, batin, dan lainnya.
Sumber : Sinar Harapan, 23 Februari 2013 dan masuk dalam Kitab Cerpen Perempuan di Rumah Panggung (Isbedy Stiawan ZS, Siger Publisher-Lamban Sastra, Oktober 2013; hal.67)
No comments: