Tidak banyak sastrawan Indonesia yang mau mengurusi sastrawan lain. Di antara yang sangat sedikit, Medy Loekito, 52, adalah salah satunya. Sebagai penyair, ia tidak bekerja keras untuk membangun 'karier' kepenyairannya sendiri, tetapi juga mengurus banyak penyair lain di Komunitas Sastra Indonesia (KSI).
Kini, Medy Loekito bukan hanya terkenal menjadi sebagai salah satu penyair wanita Indonesia, tetapi juga dikenal sebagai “Ibu Penyair Muda”.
Itu karena Medy sangat telaten membangun lembaga KSI sebagai wadah bagi sastrawan muda yang mulai belajar sastra. Medy juga dikenal sebagai “Ibu Komunitas Penyair Cyber” dan pendiri Yayasan Multimedia Sastra, yang kegiatannya meluncurkan situs sastra, menerbitkan buku sastra dan menyumbangkannya ke sekolah-sekolah dan anak-anak jalanan.
“Sebenarnya KSI bukan hanya berisi sastrawan muda. Di KSI juga banyak sastrawan ternama seperti Ahmadun Yosi Herfanda, Bambang Widiatmoko, Endang Supriyadi, Slamet Raharjo Rais, Ayid Suyitni PS, Iwan Gunadi, Wowok Hesti Prabowo, dan Diah Hadaning. Bahkan almarhum penyair Azwina Aziz Miraza dulu juga aktif di KSI,” kata dia.
Medy Loekito mengaku ide awal membentuk KSI pada tahun 1996 adalah untuk mengumpulkan komunitas sastra di Indonesia yang pada zaman Orde Baru “berserak” seperti tidak terurus. Para penggiat komunitas sastra yang tersebar dari Aceh hingga Papua para umumnya adalahh sastrawan muda yang sulit untuk mengekspresikan diri karena terhegemoni oleh pusat-pusat kesusasteraan yang ada di Jakarta.
“Pada saat itu para sastrawan muda sangat susah menembus Taman Ismail Marzuki (TIM). Bahkan, sekadar numpang diskusi di emperan TIM saja susah. Kini, setelah berproses selama belasan tahun terbukti sastrawan muda Indonesia banyak yang karya-karyanya berkualitas,” kata sastrawan yang juga aktivis Asosiasi Pengrajin Handycraft Indonesia ini.
Medy mengaku organisasi semacam KSI penting untuk menumbuhkan kepercayaan orang-orang muda. “Kami jemput dan berjalan bersama menghadapi hujan. Kita sediakan rumah untuk mereka berteduh. Selain mendampingi, organisasi juga mengajarkan anggota untuk saling menghormati dan saling mendukung. Kenapa ini penting? Karena saya lihat, beberapa sastrawan Indonesia mendudukkan diri mereka di kursi yang tinggi. Apabila penulis muda mengikuti gaya ini, maka sastra kita akan penuh dengan pertempuran, tidak ada saling dukung, tidak ada saling hormat, dan sayang,” ujar ibu dua anak ini.
“Tak Sengaja” Jadi Sastrawan
Medy Loekito juga termasuk bagian dari sangat sedikit etnis Cina di Indonesia yang menekuni dunia sastra. “Saya masuk ke dunia sastra secara tak sengaja. Tahun 1976, ketika saya berusia belasan tahun, saya bersahabat pena dengan Kardy Syaid—sastrawan yang kini terkenal sebagai sineas dan penulis—yang berada jauh di Sumatera Utara. Dia tak henti-hentinya menulis dan mengirimkan hasil karyanya yang dimuat di koran atau majalah. Ia selalu meyakinkan saya bahwa saya juga bisa menjadi pengarang,” ujarnya.
Karena dorongan yang terus-menerus dari Kardy Said, Medy yang ketika itu masih remaja belajar menulis puisi. “Suatu hari, saya menulis puisi, dan dimuat koran. Buat lagi, dimuat koran lagi. Setelah beberapa kali puisi, saya coba buat cerpen, masuk koran juga. Nah, setelah itu, ya sudah. Uji coba saya sudah selesai, karena memang idenya cuma menjajagi kemampuan saja,” kata dia.
Tidak seperti kebanyakan warga etnis Cina lain di Indonesia yang umumnya mendorong anaknya menekuni dunia bisnis, orang tua Medy justru mendorong anaknya untuk menekuni dunia sastra. Buktinya, ayah Medy mau bersusah payah mengecek apakah kiriman puisi yang dikirim Medy sudah dimuat di Koran atau belum.
“Ayah saya yang selalu cek di penjual koran kaki lima. Sebab kan kita tak pernah diberitahu apakah tulisan kita akan dimuat atau tidak, dan lagipula, agak berat untuk beli macam-macam koran setiap hari,” tambahnya.
Lahir dengan Tionghoa tidak membuat Medy sulit untuk berteman dengan banyak sastrawan di Indonesia. “Mungkin banyak orang yang tidak tahu bahwa saya Tionghoa. Yang pasti saya merasa enjoy bisa berkawan baik dengan semua sastrawan dari berbagai etnis di Indonesia. Meski begitu, dalam kehidupan sehari-hari diskriminasi terhadap etnis Tionghoa masih ada,” ujar perempuan yang juga berprofesi sebagai sekretaris eksekutif di sebuah perusahaan Jepang ini.
Menentang Pornografi
Sebagai perempuan yang menulis karya sastra, Medy menentang pornografi dalam sastra. Bahkan, Medy kemudian dikenal sebagai juru bicara sastrawan yang menentang “vulgarisme seks” dalam sastra Indonesia saat isu sastra porno yang ditulis para sastrawan wanita Indonesia banyak bermunculan.
Medy mengaku ketika menentang pornografi dalam sastra dia mendapatkan banyak kritikan dan tentangan dari para sastrawan terkenal. “Tapi saya tidak takut, karena berbicara merupakan bagian dari hak asasi. Lagi pula, saya meyakini pendapat saya benar. Menurut saya ada perbedaan antara sastra dengan pornografi. Karya sastra yang menampilkan banyak pornografi bukanlah sastra,” perempuan kelahiran Surabaya ini.
“Bayangkan kalau kata-kata kotor, seks bebas, dan gaya hidup hedonis dalam karya sastra dibaca anak-anak sekolah yang ada di daerah-daerah. Bayangkan kalau para remaja kita di desa, karena membaca buku-buku tersebut, jadi bebas mengumbar kata yang tak lazim, atau jadi berperilaku kurang lazim, demi mengikuti modernitas, bukankah akan kacau sekali? Indonesia bukanlah Amerika!” kata Medy.
Medy Loekito bersama suami dan kedua anaknya: Semua mencintai seni. Bahkan anak gadis Medy sejak balita sudah pandai melukis. |
“Puisi saya adalah puisi diam. Puisi sunyi. Puisi-puisi saya yang pendek-pendek itu sebenarnya tak ada hubungannya dengan siapa yang mempengaruhi, tetapi lebih karena bahasa Indonesia saya kurang baik. Ketika saya kecil dulu, sering kawan main saya tak mengerti saya bicara apa, karena saya bicara campuran macam-macam bahasa. Ada bahasa Cina, Jawa, Melayu. Sampai sekarang pun bahasa Indonesia saya masih kacau luar biasa,” kata pengagum sastrawan Octavio Paz ini.
Berkat ketekunannya di dunia sastra, Medy kini tercatat sebagai salah satu perempuan penyair yang diperhitungkan di Indonesia.
Kini ayahnya tidak perlu lagi mengecek apakah puisi Medy dimuat sebuah koran mingguan. Karya-karya Medy tidak hanya pernah dimuat di hampir semua koran dan majalah sastra di Indonesia, tetapi juga diterbitkan dalam belasan buku antologi puisi tunggal dan antologi puisi bersama, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Karya antologi puisi tunggalnya adalah In Solitude ( Penerbit Angkasa, Bandung, 1993) dan Jakarta, Senja Hari (Penerbit Angkasa, Bandung, 1998).
Sementara buku-buku antologi bersama yang memuat karyanya sekitar 20-an buku. Antara lain: Festival Puisi Indonesia XIV (Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika, Surabaya, 1994), Trotoar (penerbit Roda Roda Budaya, Tangerang, 1996), Antologi Puisi Indonesia (Penerbit Angkasa, Bandung, 1997), Resonansi Indonesia, Kumpulan Puisi Indonesia-Mandarin (Komunitas Sastra Indonesia, Jakarta, 2000), Sembilan Kerlip Cermin” (Pustaka Jaya, Jakarta, 2000), Dewdrops at Dawn (,The International Library of Poetry, USA, 2000), Graffiti Gratitude (Yayasan Multimedia Sastra & Penerbit Angkasa, Bandung, 2001), Surat Putih (Risalah Badai, Jakarta, 2001), Dari Fanzuri ke Handayani (Majalah Sastra Horison dan The Ford Foundation, Jakarta, 2001), Gelak Esai & Ombak Sajak, Anno 2001 (Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2001), Horison Sastra Indonesia, (Horison dan The Ford Foundation, Jakarta, 2001). Bisikan Kata, Teriakan Kota (Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, Jakarta, 2003), Selagi Ombak Mengejar Pantai 8 (KEMUDI – Pusat Studi & Pengembangan Kebudayaan Asia, Malaysia, 2004), Maha Duka Aceh (Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jakarta, 2005), Les Cyberlettres (Yayasan Multimedia Sastra, Jakarta, 2005), (Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jakarta, 2005), Perempuan Penyair Indonesia 2005 (Risalah Badai & Komunitas Sastra Indonesia, Jakarta, 2005), Le Chant des Villes” (Centre Culturel Français, Jakarta, 2006), Legasi (Warisan Wong Kampung, Malaysia, 2006), Yogya, 5,9 Skala Richter (Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2006), Selendang Pelangi (Penerbit Indonesia Tera, Magelang, 2006), dan The Poetry of Nature (Jakarta , 2007).
Ketekunan Medy menghasilkan sejumlah prestasi internasional. Antara lain sebagai Research Board of Advisors dari “The American Biographical Institute“, USA (1999), menjadi Wakil Indonesia untuk CAFO (Conference of Asian Foundations & Organizations) bidang Kebudayaan (1999, 2000, 2001), tergabung dalam “POET 2000 Sculpted Library”, Dublin, Irlandia (2000), semifinalis “North American Open Poetry Contest”, The International Library of Poetry, USA (2000), semifinalis “Montel Williams Open Poetry Contest”, The International Library of Poetry, USA (2000), dan menjadi wakil Republik Indonesia untuk “International Writing Program”, Iowa City, USA (2001). Medy juga tercatat dalam International Who’s Who in Poetry and Poets Encyclopedia, The International Biographical Center, Cambridge, Inggris (1999)
Selama di USA pada 2001 Medy melakukan berbagai presentasi tentang sastra Indonesia. Antara lain di University of Iowa, Women Resources and Activity Centre (Iowa City), Public Library of Iowa (Iowa City), Coe College, Cedar Rapids (Iowa), Des Moines Public High School (Des Moines, Iowa), Western Illinois University (Illinois), Hawthorne Elementary School (Bozeman, Montana), University of Central Florida (Orlando, Florida), dan .di Literary Centre (Washington DC).
No comments: