Rois Said*
Di sebuah warung kopi di pinggiran Jakarta, dua orang pemuda dengan tampang enggakterlalu intelek ngobrol santai sambil menyeruput kopi hitam ditemani pisang goreng yang masih mengepul. Sodik, salah satu pemuda yang matanya sudah agak minus, terlihat sedang memaksakan diri membaca koran meskipun lampu penerangan sudah agak jauh menjangkau koran yang dibacanya. Beberapa saat berkerut, tapi kemudian Sodik tersenyum sambil melipat koran.
“Jokowi udah kayak malaikat pencabut nyawa aja ya,” tiba-tiba Sodik nyeletuk sambil menaruh koran dan terus menyeruput kopinya.
“Lho kok bisa?” Makmun, sang teman, menoleh bingung. Sampai-sampai pisang goreng yang sudah siap hancur dilumat geliginya, tertahan di ambang mulut yang melongo.
“Iya dong. Lihat aja, dia bisa datang di saat bersamaan ke 33 provinsi di Indonesia! Apa nggak hebat tuh? Kan cuma malaikat maut yang bisa begitu.”
“Jokowi punya ilmu kesaktian kali.”
“Nggaktahu. Setahu gue dia orang biasa aja kok.”
“Lha terus, gimana caranya kok dia bisa datang bersamaan ke 33 provinsi di Indonesia?”
“Tuh, namanya masuk di soal Ujian Nasional. Kan artinya dia bisa datang ke 33 provinsi di hari dan jam yang bersamaan, hehe…” Sodik nyengir.
“Semprul! Kirain apaan!” Makmun langsung menjejalkan pisang goreng ke mulutnya dengan tampang agak kesal. “Kalo udah nyangkut politik mah semua juga bisa!” sungut Makmun.
***
Ya, cerita tentang Joko Widodo yang “tiba-tiba” muncul di soal Ujian Nasional (UN) mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMA kelas IPS, memang banyak mengundang reaksi dari berbagai kalangan. Sampai-sampai si Sodik dan si Makmun yang notabene bukan pemerhati politik ataupun pengamat pendidikan pun ikut nimbrung ngegosipin soal ini. Padahal, mereka berdua cuma dua pemuda pekerja rendahan yang tak kuasa menolak saban kali dijejali berita-berita politik dan karut-marut kehidupan di Indonesia.
Tetapi lain lagi ceritanya kalau yang menanggapi adalah para pelaku politik praktis yang partainya berseberangan dengan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Bagi mereka, munculnya cerita keteladanan Jokowi di dalam soal UN adalah sebuah manuver politik dalam kerangka menggiring ingatan para pemilih pemula yang amat potensial untuk dimanfaatkan.
Tahu dong, sebentar lagi kan Pemilu Presiden, dan Jokowi sudah ditetapkan jadi bakal capres dari PDIP. Makanya, banyak yang menyindir, Jokowi sedang mencuri start dengan melakukan “blusukan” sampai ke soal UN. Jokowi sendiri sudah pasti mengelak dari tuduhan tersebut.
Enggak tahulah, pihak mana yang benar. Yang jelas, terlepas dari pro kontra, tuduhan dan sanggahan yang bergulir terkait cerita di atas, sebenarnya hal itu bukan barang baru. Dari tahun ke tahun, rezim ke rezim, dunia pendidikan di Indonesia memang punya nasib seperti sapi kok. Anda tahu sapi? Betul! Yang namanya sapi, semua aspeknya bisa dimanfaatkan. Susunya bisa diperah untuk diminum, dagingnya bisa dimakan, dan tenaganya bisa dimanfaatkan buat membajak ataupun menarik gerobak. Sialnya, biarpun punya susu yang menyehatkan dan diklaim bisa mencerdaskan otak, dagingnya enak dan bergizi, serta tenaganya kuat, sapi tetap saja jadi sapi, enggak pernah tuh nasibnya beranjak jadi manusia--yang notabene hampir tiap hari memanfaatkan jasanya.
Nah, dunia pendidikan kita juga nasibnya kurang-lebih seperti sapi. Lho, di mana kemiripannya? Ya bayangkan saja, dari tahun ke tahun, mutu pendidikan kita selalu menempati kelompok terendah di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Padahal, berapa banyak tuh politikus dan penguasa yang sudah menangguk berkah dari dunia pendidikan. Dari segi anggaran, pendidikan menjadi lumbung kekayaan buat tikus-tikus berlabel “Bandit Senayan”.
Setiap calon kepala daerah berkampanye, mesti juga berkoar, “pendidikan gratis sampai 12 tahun!” Guru-guru dijanjikan tunjangan sertifikasi dan ini-itunya lancar. Banyaklah kalau kita mau menghitung “faedah pendidikan buat kehidupan politik” di Tanah Air. Tapi ya itu tadi, biarpun dunia pendidikan sudah diperas sampe ke ampas-ampasnya, tetap saja tuh mutu pendidikan kita enggak maju-maju. Setelah para politikus dan birokrat itu mendapatkan berkah dari dunia pendidikan, segera dia melupakan dan enggak merasa harus membalas budi kepada si pendidikan itu.
Jadi, kalaupun benar Jokowi (baca: tim sukses Jokowi) memanfaatkan soal UN sebagai salah satu kendaraan untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitasnya sebagai capres, itu belum seberapa. Dan sekali lagi, itu bukan barang baru. Anda yang masih bersekolah di zaman rezim Soeharto pasti masih ingat dong, bagaimana kita dijejali cerita heroik Soeharto lewat pelajaran sekolah; PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Tujuannya? Apa lagi kalau bukan untuk mengukuhkan kekuasaan otoritarian “The Smiling General”. Buat Soeharto, usaha itu mendatangkan hasil. Buat pendidikan, itu sama sekali tidak mendongkrak kualitas.
***
“Pilpres entar lu mau milih siapa, Mun?” tanya Sodik sambil nyeruput kopi yang tinggal segaris..
“Gue? Pilih calon presiden yang paling ganteng!”
“Gak ada capres yang ganteng!”
“Kalo gitu pilih calon presiden yang enggak akan nyolong duit rakyat!”
“Mantep!” Sodik kasih jempol.
“Udah ah, ngomongin politik mulu luh! Yuk balik!” kata Makmun sambil ngeloyor mau pergi. Tapi tukang kopi langsung menarik kerah baju Makmun. Makmun menoleh bingung.
“Elu pengen calon presiden yang kagak nyolong, elu sendiri udeh belajar ngentit pisang goreng gue! Bayar luh!” semprot tukang kopi.
Makmun cuma mesem sambil merogoh-rogoh sakunya.
“Hehe… bayarnya besok ya…”
* penulis dan mentor menulis skenario, pernah lama berhikmat di Teater Zat
No comments: