» » Merawat Kesalehan Akademik


Damanhuri Armadi*

Karikatur© David Lyttleton (timeshighereducation)

Di tengah kegaduhan berita-berita skandal korupsi yang menyesaki halaman utama media massa, ada fakta lain yang sesungguhnya tak kurang kadar daya destruktifnya bagi bangunan rumah kebangsaan kita: melemahnya kiprah kampus sebagai penjaga moral bangsa. Kampus juga ditengara telah berpaling dari khitah awalnya sebagai universitas magistrorum et scholarium—‘komunitas para guru dan sarjana’. Publik, karena itu, sepertinya tak bisa lagi berharap terlalu banyak akan nilai-nilai keutamaan serta kearifan hidup yang bisa dialirkan perigi peradaban bernama kampus atau perguruan tinggi itu

Kejahatan plagiarisme yang marak dilakukan para dosen dan pemalsuan data dalam proses sertifikasi dosen, misalnya, saya kira telah mendelegitimasi dengan telak kiprah mulia kampus. Data yang bisa jadi sekadar puncak gunung es dan bagaimanapun berisiko menyayupkan suara-suara kebenaran yang selama ini diyakini banyak muncul darinya.

Kita tentu akan lebih kerap lagi mengelus dada saat menilik kasus-kasus kejahatan kerahputih seperti korupsi yang ternyata juga menyerimpung beberapa pimpinan serta civitas akademika sejumlah kampus bereputasi. Atau dikecewakan oleh fakta ihwal, apa yang biasa disebut, ‘pengkhianatan intelektual’ berupa—di antaranya—beralih profesinya para akademisi menjadi ‘corong kekuasaan’, thesis consultant, atau perajin riset pesanan; alih alih ‘mewakafkan diri’ untuk kemajuan ilmu pengetahuan, ber-askese intelektual, dan menjadi ‘yogi ilmu’ seperti diteladankan dalam kiprah intelektual Sartono Kartodirdjo, misalnya (P. Swantoro, 2002: 402).

Apalagi, kita juga mafhum, kecendekiaan seseorang sejatinya telah berhenti bersamaan dengan mengendurnya kepedulian pada usaha perbaikan hidup antarsesama. Pun integritas kecendekiaan seseorang tak lagi layak disandang ketika pelbagai informasi dan hasil penelitian yang dilakukannya ternyata didedikasikan kepada penyandang dana sekaligus pemesan data.

‘Mesu Budi’

Kita memang tengah hidup di suatu zaman ketika ideologi pasar seolah mengepung dari empat arah penjuru mataangin dan terus merangsek  ke sudut-sudut kehidupan yang bahkan paling privat sekalipun. Kalkulasi-kalkulasi ekonomis telah menjadi warna dominan hampir segala aktivitas kehidupan profan maupun sakral. Uang tengah jadi grammar of life, alpha dan omega hidup kita.

Dunia pendidikan pun rupanya tak kalis dari hawar tersebut. Sejak jenjang pendidikan dasar dan menengah, apa pun yang dianggap tak ramah pasar lambat-laun harus digusur— ‘Schools are determined to exile everything from their curricula that is not marketable,’ kata Barry Kanpol dan Peter McLaren dalam Critical Multiculturalism: Uncommon Voices in a Common Struggle (1995: 1). Mata pelajaran (mata kuliah) humaniora-budaya, juga jurusan atau program studinya, yang dipandang kurang ‘bernilai ekonomis’, misalnya, harus dianaktirikan.  

Tendensi korporatisasi-komersialisasi yang lebih mengagungkan laba ketimbang memuliakan mutu akademik juga mulai merambah dunia pendidikan tinggi kita. Hasilnya, sebagaimana berlaku di dunia korporasi atau semua jenis transaksi komersial, pelbagai praksis pendidikan serta parameter keberhasilannya pun selalu dilihat dengan kacamata, dan diukur melalui, ‘logika pasar’ yang bersifat untung-rugi, bendawi-jasmani belaka.

Dan, ketika dunia pendidikan telah menjelma layaknya pasar dan bazar seperti itu, mereka yang terlibat di dalamnya mau tak mau harus berperilaku bak pelaku ekonomi dan lebih disibukkan oleh, apa yang disebut Bill Readings, persoalan accounting ketimbangaccountability; dengan tak lupa menahbiskan Bill Gates, Jack Welch, atau Warren Buffet sebagai ‘nabi-nabi pendidikan’ (educational prophets)—alih-alih Paulo Freire, Henry Giroux, atau Peter McLaren, misalnya (Giroux, 2003: 186, 192).

karikatur ©timeshighereducation
Akibat lanjutannya, mereka yang berupaya tetap bertahan menjadi zahid-asketis, melazimkan laku ‘mesu budi’—mengejar kebersahajaan hidup, menampik godaan gemerlap materi, demi kesempurnaan spiritual—dengan setia merawat kesalehan akademik, musti siap menerima tatapan sinis atau bahkan dianggap sebagai manusia ganjil.

Kita memang kian kesulitan bersua penempuh ‘asketisme intelektual’ ala Sartono Kartodirdjo yang menempatkan aktivitas intelektual tak ubahnya laku  ‘mesu budi’ dalam ajaran Wedhatama-nya Mangkunegara IV itu. Sebuah etos intelektual yang mendorongnya melahirkan karya-karya akademik yang tak saja bermanfaat bagi sesama, tapi juga menjelma—merujuk ulang Dari Buku ke Buku-nya P. Swantoro—jadi ‘silunglung’: sebuah jalan untuk berkomunikasi setiap saat dengan Tuhan (2002: 228); dan pada gilirannya menghadiahi penempuhnya kekuatan serta menemani dan menopangnya dalam perjalanan di dunia fana menuju akhirat (M. Nursam, 2008: 328).

  Banalitas Intelektual

Jika kita teroka lebih jauh, absennya asketisme intelektual sejatinya beririsan erat dengan kehadiran gejala—apa yang diistilahkan Heru Nugroho (2012: 7-12)—‘banalitas intelektual’ dengan indikator berupa, di antaranya, pengkhianatan akademik: motif-motif pragmatis mengalahkan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan mengambil alih pola relasi kehidupan kampus yang seharusnya dibingkai spirit meeting of minds atau melting of ideas. Aktivitas mengajar dan meneliti, misalnya, kerap lebih diorientasikan untuk melulu mengejar uang ketimbang aktivitas pengembangan keilmuan. Kampus lebih kerap dibuat gaduh oleh perebutan posisi-posisi struktural; bukan disemarakkan oleh kontestasi pelbagai capaian akademik.   

Petanda lain dari banalitas intelektual adalah involusi akademik: maraknya kegiatan ilmiah tak berjalin berkelindan dengan kontribusinya yang signifikan pada pengembangan ilmu pengetahuan; kendati beragam jurnal ilmiah terus terbit, proyek-proyek penelitian masih ditaja, buku-buku terus diterbitkan, pun aktivitas belajar-mengajar ajek berjalan. Pelbagai kegiatan yang seolah tidak saling mengandaikan; sehingga cenderung bersifat involutif. Kondisi yang kian diperburuk oleh motif umum dalam pemuatan artikel jurnal atau penerbitan buku: sekadar untuk naik pangkat, jabatan akademik, dan, karena itu, yang penting ada ISSN atau ISBN!

Akhirnya, tak ada pretensi menggebyah-uyah dalam paparan tentang sebagian kecil gejala banalitas intelektual di atas. Pesannya sederhana: wujud keprihatinan etis atas—apa yang ingin saya sebut—‘kemungkaran akademis’ yang, diakui atau tak, begitu gampang tersua di sebagian (besar?) institusi pendidikan tinggi kita.

Bukankah jenjang kepangkatan akademis, misalnya, sering bisa dicapai hanya dengan ‘kegigihan administratif’ sembari mengabaikan etika dan martabat keilmuan? Ironi yang bisa jadi, seperti tengara F. Budi Hardiman, diakibatkan oleh iklim serba birokratis lingkungan akademis kita (2013: 1). Atau, jangan-jangan, dipantik oleh begitu kuatnya rayuan konsumerisme yang memang tak pandang bulu itu.

*Staf pengajar IAIN Raden Intan Bandarlampung

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply