» » » » Kisah Kromo-Sariyem: Sampai Tua Tinggal di Gubuk Reyot

Datang dari Solo untuk mengubah nasib, kemiskinan yang didapat Kromo-Sariyem di Lampung


Siti Nur’aeni/Teraslampung.com

Mbah Kromo dan Mbah Sariyem  
Bandarlampung—Sepasang suami-istri jompo di Gedung Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung hidup bertahun-tahun tinggal bersama kambing peliharaannya di sebuah gubuk reyot. Gubuk reyot pasangan suami-istri Kromo Supardi (82) dan Sariyem (84) itu letaknya persis di tepi jalan raya Negeri Sakti. Itu merupakan salah satu ruas jalan lintas barat Lampung yang tidak jauh dari pusat pemerintahan Pemkab Pesawaran.

Keseharian Supardi mengurus kambing peliharaan milik orang lain. Ia juga menggarap kebun singkong dan cokelat tepat yang letaknya berseberangan tempat tinggalnya. Tanah perkebunan yang digarapnya itu juga milik orang lain.

"Karena tetangga saya kasihan sama saya, makanya saya diberi tempat untuk memanfaatkan  lahan sepetak itu untuk menanam singkong, hasilnya untuk saya sendiri," kata Mbah Kromo.

Demikian juga dengan kambing yang dipeliharannya di bagian ruang lain gubuk tersebut, adalah  milik orang lain dan hasil gaduhannya menjadi miliknya.

"Kalau saya sedang tidak punya uang, kambing ini juga saya jual untuk makan," ujarnya.

Mbah Kromo dan Mbah Sariyem datang dari Solo puluhan tahun silam. Ia tergiur datang ke Lampung karena berharap bisa berdagang dan bertani. Cita-cita itu, sebelumnya sempat tercapai, Sariyem berdagang kelapa dan hasil bumi lainnya di pasar terdekat, sedangkan Supardi menggarap areal padi.

Mbah Kromo dengan kambing gaduhannya.
Kini, di usia senjanya, kedua pasangan itu hidup miskin. Keempat anak ada yang merantau ke Bogor, Klaten, dan Solo. "Saya tidak mau menyusahkan anak-anak. Biarlah kami hidup begini asal tetap bisa bersama bapak," ujar Sariyem dengan dialek Jawa, dengan suara lirih dan kurang jelas.

Pasangan renta itu kerap mendapat perhatian dari sekeliling tetangganya. Namun demikian, pasangan tersebut paling tidak suka kalau dikasihani orang lain. "Saya tidak enak hati kalau datang ke tetanggan lalu sepulangan saya diberi sesuatu oleh orang lain," kata Kromo Supardi.

Ia juga mengatakan, meski dalam kesusahan, hidup mereka bersih dari hutang dan satu dengan lainnya saling menghargai.

Saat ditanya apa yang diinginkan dalam hidupnya, Sariyem mengaku ingin memiliki rumah yang lebih baik serta bertemu dengan cucu-cucunya.

Rahman, salah satu tetangga Mbah Kromo  menceritakan kedua pasangan jompo ini baik terhadap tetangga dan mandiri. "Biar miskin tidak pernah berhutang dan tidak pernah berkeluh kesah. Dari pengalaman hidup mereka saya belajar mensyukuri hidup dalam keadaan apapun," ujarnya.

Berdasarkan catatan BPS, Lampung merupakan provinsi termiskin ke dua se-Sumatera setelah Aceh. Yakni sebanyak 1.136,06 ribu jiwa atau 14,39 persen, angka tersebut masih lebih tinggi daripada rata-rata nasional 11,47 persen. Padahal provinsi tersebut merupakan daerah agraris pemasok beras dan gula terbesar nasional.

Kisah Kromo dan Sariyem merupakan gambaran di depan mata protret kemiskinan di Lampung dan sangat dekat dengan pusat pemerintahan. Apakah pemerintahan baru ini bisa mengurai benang kemiskinan di Lampung selama lima tahun ke depan?

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply