Denny JA
“Jangan ada Denny JA di antara kita. Kisah Bunda Putri Denny JA di Dunia Sastra. Denny JA Menerapkan Strategi Politik di Sastra. Aksi Tipu-Tipu Denny JA di kebudayaan. Denny JA Membeli Penghargaan Sastra Dengan Harga Murah. Sastrawan mengembalikan uang Denny JA. Kejahatan Kultural Denny JA. ” Inilah beberapa contoh topik yang berseliweran di sosial media sejak awal Januari hingga tulisan ini dibuat di awal Febuari 2014.
Perdebatan sengit mengenai isu seputar saya di dunia sastra lebih panas dan keras dari yang saya duga. Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh hasil Team 8 dan PDS HB Jassin menempatkan saya sebagai salah satu tokoh di antara 33 tokoh itu. Lima buku puisi esai yang ditulis oleh 23 penyair kondang menambah “desingan peluru” tepat di jantung saya. Di kalangan sebagian aktivis sastra itu seolah berkembang satu genre sastra yang baru: sastra hujat, “aku menghujat Denny JA, karena itu aku ada.”
Sejak pertama kali social media hadir di Indonesia, mungkin tak ada isu sastra atau budaya di Indonesia yang mendapatkan perhatian, debat, polemik, celotehan, pujian, hujatan dan fitnah seintensif itu. Di social media, isu ini mungkin pula sudah mengalahkan aneka isu politik, ekonomi atau olah raga untuk bulan Januari dan Febuari 2014.
Merespon aneka desingan peluru itu, saya ingin mengekspresikan suasan batin, imajinasi dan visi saya tentang puisi esai. Saya duduk merenung di kompleks vila di Mega Mendung. Di antara suara sungai dan kicauan burung, tiga hal ini yang pertama kali berkunjung ke benak saya.
Pertama, apa yang akan terjadi dengan puisi esai di tahun mendatang?
Sebuah gambar bergerak seperti video melintas di kepala saya. Sebuah suasana tergambar dengan jelas.
Itu adalah satu momen di masa depan. Saat itu tahun kelima pertemuan penyair puisi esai dari seluruh Indonesia. Semua hadirin menanti pidato kebudayaan yang dipersiapkan secara matang. Seorang tokoh berwibawa akan mengajak kita merenung bersama mengenai masalah pokok kebudayaan dan sastra yang tengah dihadapi.
Perwakilan komunitas puisi esai dari seluruh Indonesia sudah tiga hari berkumpul di situ. Mereka di satukan oleh spirit berkarya. Mereka memberikan kesaksian isu sosial dengan menggali batin personal dan menyampaikannya melalui puisi esai. Saat itu sudah terbit lebih dari 50 buku puisi esai, yang ditulis oleh lebih dari 200 penyair dan intelektual, dari Aceh sampai Papua.
Ini pertemuan spiritual karena memberikan pencerahan batin, ujar banyak peserta. Acara ini tidak hanya segar tapi kita mengenal teman-teman seperjuangan. Alhamdulikah, komunitas kita semakin besar dan semakin berkarya, komentar yang lain. Mereka sungguh menikmati aneka pembacaan puisi, dramatic reading, lagu, film, teater, diskusi yang semuanya bersumber pada puisi esai.
Dalam pertemuan itu ada ruangan dan acara khusus untuk gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi. Sungguhpun topik puisi esai sudah begitu beragam, namun awalnya yang diangkat oleh puisi esai adalah topik Indonesia Tanpa Diskriminasi.
Isu diskiminasi anak batin saya sejak menjadi aktivis. Saya sudah tuangkan isu itu ke dalam kolom, makalah ilmiah, film, teater, lagu, lukisan. Namun dalam karya budaya, isu itu pertama-tama saya tuangkan dalam puisi esai. Itu sebabnya untuk batin saya pribadi, isu Indonesia Tanpa Diskriminasi dan Puisi Esai adalah sebuah perkawinan yang terus melekat.
Kegiatan saya selaku peneliti, pengusaha dan aktivis yang berpolitik memang cukup memberikan gairah. Namun keterlibatan saya di dunia sastra memberikan aroma yang berbeda, yang lebih spiritual dan menyentuh makna hidup.
Media massa mencatat pertemuan tahunan itu sebagai tradisi baru budaya yang dilahirkan oleh generasi sastrawan, intelektual dan pengusaha di era social media.
Visual suasana ini kini agak sering mengunjungi rumah batin saya. Dengan segala tenaga saya berjuang mewujudkannya. Aneka kritik, hujatan dan fitnah yang saya alami menguap segera, seketika visi masa depan puisi esai itu hinggap kembali di sukma saya.
Kedua, isu puisi esai ditulis oleh ghost writer.
Disebarkan isu bahwa puisi esai itu ditulis oleh seorang ghost writer yang disewa Denny JA. Definisi baku dari aneka kamus tentang ghost writer itu adalah “seseorang yang menulis buku atau karangan tapi hak serta prestise kepengarangannya diberikan kepada orang lain.” Buku itu anak batin dan pikiran dari sang ghost writer tapi secara publik ia melimpahkannya kepada orang lain.
Demi apapun, puisi esai ini adalah murni anak batin dan perenungan batin saya yang terdalam. Tak ada satu orangpun yang menjadi ghost writer dari lima puisi esai saya apalagi konsep puisi esai itu. Saya yang merumuskan format puisi esainya. Saya yang menyusun filsafat dari plot setiap cerita. Saya yang membuat drama, opening dan endingnya. Namun tentu saja saya mempekerjakan individu dan team untuk membantu riset dan penulisannya.
Sejak tahun 2010, saya sudah menceritakan kepada teman-teman dekat bahwa saya merasa sedang “hamil tua.” Ada sesuatu yang harus saya lahirkan tapi belum tahu wujudnya. Sudah lama saya berhenti dari tradisi tulis menulis dan masuk ke dalam dunia politik praktis dan bisnis.
Saya ingin menumpahkan perhatian saya tentang isu diskriminasi yang melanda Indonesia. Seseorang diperlakukan begitu buruk hanya karena ia berada dalam satu identitas sosial minoritas, entah itu agama, etnis, gender sampai oriientasi seksual. Di era reformasi, memang terjadi kebebasan di tingkat supra struktur politik. Namun di arus bawah terjadi lebih sering aksi kekerasan komunal, primordial yang penuh diskriminasi.
Saya ingin mengekspresikan isu itu dengan cara yang menyentuh hati. Kolom, makalah ilmiah hanya berhasil memberikan analisisnya namun tidak suasana batin pihak korban yang menderita. Tak tergambarkan juga sisi interior psikologis pihak yang mendiskriminasi. Agar merasuk, saya harus masuk ke tulang sumsum dan sukma manusia. Kisahnya pun harus dramatis agar lebih menggugah pembaca.
Saya merasa bahwa kebutuhan itu hanya bisa diberikan oleh sebuah fiksi. Seringkali kita tak menemukan fakta apa adanya untuk menggali sisi batin itu. Pertautan kisah yang faktual kadang tak sedramatik yang kita butuhkan untuk lebih menyentuh hati. Fiksi adalah solusinya.
Namun fiksi yang ada, spt puisi atau cerpen terlalu ringan untuk membawa pesan itu. Sedangkan novel itu terlalu panjang. Saya inginkan puisi yang bisa juga berargumen menampilkan data, fakta, rincian hasil riset. Puisi itu pasti harus panjang dan berbabak. Sisi fakta harus dimasukkan kedalam puisi, bisa di batang tubuh, atau di catatan kakinya. Catatan kaki yang biasa di makalah ilmiah menjadi sentral dalam puisi esai.
Kisah diskriminasi yang hendak saya gambarkan harus juga kental sisi human interestnya. Harus ada kisah cinta di sana. Sang korban tak harus selalu menang.
Aneka kegelisahan itulah awal dan adonan lahirnya puisi esai. Dan itu murni pergulatan batin saya berbulan-bulan ketika saya “hamil tua.”
Untuk saya yang super sibuk, tentu saya tak perlu kerja sendiri. Saya juga harus terus memimpin perusahaan saya yang berjumlah lebih dari dua puluh, yang bergerak mulai dari konsultan, properti, food and beverages hingga tambang. Saya juga harus terus memantau aneka klien baik calon presiden, gubernur atau walikota. Jika ingin berkarya di dunia sastra, saya harus mempekerjakan individu dan team agar cukup waktu saya untuk semua.
Di pengantar buku sudah saya ceritakan semua yang membantu saya, yang jumlahnya lebih dari dua puluh orang. Termasuk di dalamnya penyair senior Sapardi Djoko Damono. Juga akademisi sastra senior Ignas Kleden. Juga teman-teman aktivis dan sastrawan mulai dari Ahmad Gaus, Fatin Hamama, Eriyanto, kawan-kawan di Ciputat School lainnya, dan peneliti di LSI. Sayapun meminta komentar yang kemudian ikut saya adopsi sarannya seperti Rocky Gerung, Effendi Gazali, Hamid Basyaib, dan belasan lainnya.
Semua hasil riset penulisan dan komentar dari individu dan team itu saya masukkan ke dalam kerangka puisi esai yang murni hasil batin saya. Kepada teman-teman dekat, saya sering menceritakan proses editing akhir yang saya lakukan. Setiap satu puisi esai saya edit dan saya finalkan dengan diawali mengambil air wudhu. Lalu saya duduk di depan komputer, membuka sebuah puisi esai. Sebelum pikiran dan tangan saya bergerak, saya bacakan dalam hati terdalam surat Al-fateha. Saya sucikan diri saya. Saya kontak sumber Alam gaib di dunia sana untuk menggerakkan tangan saya melakukan editing terakhir dengan mendengar aneka komentar dan saran aneka pihak yang memang saya minta.
Kadang saya mengeditnya dengan mengeluarkan air mata. Kadang saya mengetik di komputer dengan mengoceh sendiri. Saya hilang dari dunia dan fokus tenggalam di layar komputer. Satu yang saya niatkan. Saya ingin buku puisi esai ini mengawali kembalinya saya ke dunia sosial setelah melanglang jauh ke dunia politik dan bisnis.
Sejak mahasiswa saya sudah menulis ratusan kolom di semua media nasional. Saya sudah tahunan pula menjadi host di TV dan radio. Saya sudah pula membuat ratusan makalah riset di LSI. Semua sudah dibukukan dalam buku berjumlah lebih dari dua puluh. Namun baru kali ini saya merasa memiliki medium ekspresi batin. Yaitu puisi esai.
Demi apapun, puisi esai bukan karya ghost writer sesuai definisi yang baku. Itu adalah fitnah. Info itu tentu harus diluruskan demi apa yang benar dan sesungguhnya terjadi.
Ketiga, isu puisi esai ditulis untuk target politik praktis meraih jabatan.
Aneka analisi dan prediksipun muncul menjelaskan mengapa saya bersedia mengeluarkan dana hingga miliar untuk kerja sastra dan kebudayaan. Ada yang menyatakan Denny JA ingin menjadi presiden di 2019. Yang lain berkata, oh tidak, 2019 masih terlalu lama. DI 2014, ia ingin diangkat menjadi mentri kebudayaan. “Bukan,” kata yang lain lagi. “ targetnya bukan politik, tapi bisnis. Ia hanya ingin bargaining bisnis dan menggunakan ketokohannya di dunia sastra.” Ada pula yang menyatakan Denny JA hanya seorang megalomania yang ingin dikenang sebagai pembaharu untuk semua bidang yang ditekuninya. Dan lain sebagainya.
Penyebabnya bukan itu semua. Kepada aneka teman dekat, saya sering cerita percakapan saya dengan istri dan anak-anak. Jika hidup hanya kaya raya dan menikmati seluruh kemewahan dunia, saya tak akan mati dengan tersenyum. Mati saya tidak mesem.
Sejak kecil, saya tumbuh dengan suasana yang miskin dan sulit. Hati saya sejak remaja ingin ikut melakukan sesuatu yang bersifat sosial. Namun itu akan lebih leluasa jika saya puya dana yang cukup. Saya tekun bekerja agar mencapai financial freedom terlebih dulu. Saya sangat senang dengan pameo: “Carilah uang sebanyak-banyaknya, dan gunakan untuk membantu orang lain juga sebanyak-banyaknya.” Atau ungkapan: “ orang yang terpilih adalah orang yang kaya raya dan bekerja di jalan Tuhan.”
Saya memang berupaya secara sengaja menjadi kaya raya. Namun sebagaian kekayaan itu adalah hak orang lain. Hak itu saya harus kembalikan melalui kerja sosial. Istri dan anak-anak saya minta ikhlas dan mereka memang ikhlas jika sebagian dari rejeki Tuhan ini saya pulangkan kembali ke dunia sosial.
Saya ingin mewakafkan diri saya, gagasan, sebagian harta saya untuk gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi. Saya tahu ini kerja lintas generasi, yang tak akan selesai hanya dengan satu generasi. Namun saya ingin dalam dinding besar peradaban baru Indonesia Tanpa Diskriminasi itu saya ikut meletakkan fondasinya.
Saya senang dengan pernyataan seorang pemikir bahwa politisi itu adalah tamu dari peradaban. Tapi seorang penggagas budaya adalah tuan rumah peradaban. Politisi datang dan pergi setiap pemilu. Namun penggagas budaya bertahan di sana membangun peradaban.
Saya ingin mewakafkan diri saya menjadi penggagas budaya itu. Topik dan brandingnya sudah saya pilih dalam slogan atau tagline: Indonesia Tanpa Diskriminasi.
Namun agar gagasan itu merasuk, ia harus diekspresikan dalam karya budaya: puisi, teater, lagu, film, lukisan, fotograpgy, dan sebagainya. Inilah awal saya masuk ke dunia sastra dan budaya.
Bukan jabatan politik yang menjadi target saya dalam bersastra tapi ikut menggaungkan isu dan perlawanan diskriminasi melalu kerja budaya. Saya tidak terlalu hirau dengan terpilih menjadi 33 tokoh sastra, atau nanti terpilih pula menjadi 50 pembaharu politik Indonesia, atau 25 aktivis sosial yang berpengaruh, atau 3 intelektual paling kaya, dan lain sebagainya. Saya hanya ingin dicatat sebagai pejuang gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi. Salah satunya melalui puisi esai.
Sumber: inspirasi.co
Sumber: inspirasi.co
No comments: