Isbedy Stiawan ZS*
SEKITAR bulan September-Oktober, sahabat Remmy Novaris DM, penyair Jakarta, mengirim pesan lewat inboks Facebook saya. Dia mengatakan bahhwa penyair Fatin Hamama ingin mengontak saya, karena itu ia meminta nomor selular saya. Saya pun memberikan nomor untuk menghubungi saya kepada Remmy agar disampaikan kepada Fatin Hamama.
Saat itu saya tak menahu apa keinginan Fatin menghubungi saya. Remmy hanya “membocorkan” bahwa Fatin agak menggulirkan satu program di tahun 2013. Dua hari kemudian, Fatin Hamama mengontak saya. Intinya ia meminta saya menulis puisi-esai dengan tema bebas, diutamakan yang bersifat sosial ataupun diskriminasi.
Dua kata kunci ini sangat menggelitik saya. Di Provinsi Lampung, persoalan sosial dan diskriminasi—juga perebutan lahan ulayat—kerap terjadi. Pada saat bersamaan saya pun membaca pengumuman Lomba Penulisan Puisi-Esai yang ditaja Denny J.A. di sebuah akun facebook seseorang yang berteman dengan saya.
Menilik hadiah lomba yang menggiurkan, saya tertarik. Sekaligu juga ini bagian dari ajang “pertarungan” kreativitas saya sebagai penulis sastra. Namun, yang lebih menggiurkan adalah tawaran dari Fatin Hamama. Tanpa kurasi—kurasi hanya dalam nama—dan selesai puisi dikirim maka honorarium seperti dijanjikan Fatin Hamama sebesar Rp3 juta langsung ditransfer.
Dalam obrolan via handphone itu, Fatin menjelaskan kalau program ini didanai oleh Denny J.A. Nama Denny saya ketahui orang LSI, dan sebuah buku puisi-esai bertajuk Atas Nama Cinta, yang terus terang tidak pernah saya baca ataupun miliki. Saya baru menyimak puisiesai Denny dari CD atas kerja sama dengan Hanung Bramantyo, lima eposide dalam satu paket yang saya terima saat Tadarus Puisi di Teater Arena TIM. Sehingga, tatkala Fatin Hama menyarankan agar saya membaca buku Denny, saya tidak membaca sebara referensi. Saya benar-benar bertolak dari pemahaman saya, menulis persoalan yang saya telah amati ataupun baca.
Ada dua persoalan sosial dan diskriminasi yang (pernah/sedang) terjadi di Lampung. Pertama, soal masyarakat Moro-Moro di Kabupaten Mesuji, Lampung. Masyarakat Moro-Moro sampai kini tidak diakui kependudukannya oleh pemerintah, sehingga untuk menyalurkan politik dalam pemilihan (presiden, caleg, kepala daerah) tidak dibolehkan.
Saya juga memiliki referensi beberapa buku tentang Moro-Moro dari penulis Lampung: Oky Hajiasyah Wahab—di antaranya—dan tulisan yang dimuat di media massa seperti Kompas dan lain-lain.
Akhirnya saya tetapkan persoalan Moro-Moro untuk saya tulis dalam puisi-esai yang diminta Fatin Hamama. Memenuhi permintaan Fatin tidak lebih karena perkawanan. Saya mengenal Fatin sejak 1999-an saat bersama sastrawan lain melawat ke Malaysia dan Thailand.
Kedua, iming-iming honorarium Rp3 juta, yang kalau itu sangat saya butuhkan untuk keperluan rumah tangga. Berbeda dengan Ahmadun Yosi Herfanda yang mampu bargaining hingga diberi honor senilai Rp10 juta, mungkin karena saya tidak begitu dekat berkarib-karib dengan Fatin Hamama, apatah lagi tak kenal dengan Denny J.A.
Saya tidak sedang “melacur” menulis puisi-esai pesanan ini. Bagi saya ini tugas professional, seperti juga para sastrawan kondang diminta menulis kritik atau ulasan atas buku puisi Atas Nama Cinta Denny J.A. Ataupun kerja sama dengan para pembaca puisi esai Denny J.A. serta dengan Hanung Bramantyo. Tercatat nama pembaca puis-esai itu adalah Peggy Melati Sukma, Saleh Ali, Leoni Vitria, Zaskia Adya Mecca, Agus Kuncoro, dll.
Saya juga menyorongkan pesan dalam puisi-esai “pesanan” Fatin Hama tersebut. Yaitu persoalan masyarakat Moro-Moro di Kabupaten Mesuji yang menjadi “asing di negeri sendiri” karena tidak memiliki KTP. Diskriminasi ini jelas-jelas sangat perlu digaungkan dengan berbagai cara: penerbitan buku yang dilakukan kawan-kawan Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandarlampung bersama Indeph Publisghing. Dan, saya menyuarannya melalui puisi-esai “pesanan” (atau “dipesan”) oleh Fatin Hamama yang dimotori Denny J.A.
Saya juga menyorongkan pesan dalam puisi-esai “pesanan” Fatin Hama tersebut. Yaitu persoalan masyarakat Moro-Moro di Kabupaten Mesuji yang menjadi “asing di negeri sendiri” karena tidak memiliki KTP. Diskriminasi ini jelas-jelas sangat perlu digaungkan dengan berbagai cara: penerbitan buku yang dilakukan kawan-kawan Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandarlampung bersama Indeph Publisghing. Dan, saya menyuarannya melalui puisi-esai “pesanan” (atau “dipesan”) oleh Fatin Hamama yang dimotori Denny J.A.
Saya juga menyertakan satu puisi(esai?) saya mengikuti Lomba Penulisan Puisi-Esai yang ditaja Denny J.A. juga. Puisi yang saya kirimkan adalah kerusuhan antarwarga yang terjadi di Kalianda, Lampung Selatan. Pertikaian dua kampung, yang dibesarkan sebagai kerusuhan etnis—Bali sebagai pendatang dan Lampung sebagai pribumi—telah menggelitik saya untuk menuliskannya ke dalam puisi. Saya belum tahu bagaimana kelanjutan lomba ini, karena saya juga tak mengikuti perkembangan pengumuman para pemenangnya.
Menolak Ketokohan Denny JA
Awal Januari 2014, blantika sastra Indonesia dihebohkan oleh peluncuran buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (kemudian saya singkat 33 TSIPB), di mana salah satu dari 33 tokoh sastra itu adalah Denny J.A. Bagai bencana melanda sastra Indonesia. Berbagai kelompok dan perorangan berkampanye menolak buku 33 TSIPB yang digawangi 8 sastrawan/kritikus/pengamat sastra, yang kemudian terkenal dengan istilah Tim 8 (nama-nama ke delapan editor/kurator/juri ini sudah kita ketahui bersama).
Sementara itu, saya sudah melupakan puisi-esai “pesanan” Fatin Hamama, juga satu puisi saya yang saya ikutsertakan ke Lomba Penulisan Puisi Esai yang didanai Denny J.A. Tetapi, tatkala buku yang menghebohkan ini diluncurkan, saya salah satu dari ribuan orang yang menolak buku dan ketokohan Denny dalam belantika sastra Indonesia. Ada banyak sastrawan Indonesia yang layak dimasukkan dalam barisan tokoh sastra di Tanah Air, ketimbang Denny yang baru berumur jagung. Bahkan pula Wowok Hesti Prabowo, yang pernah terkenal dengan Presiden Penyair Buruh karena aksi-aksi demonya kepada “majikan” bukan sebab penulisan kreatifnya.
Rupanya buku 23 sastrawan Indonesia menulis puisi esai, telah dipolitisasi oleh Denny J.A., inilah masalahnya. Timbul masalah baru. Ahmadun Yosi Herfanda sampai menyatakan bahwa ia sangat menyesal dan “telah melacur” dalam kepenyairannya.
Menurut hemat saya, Ahmadun dan 22 sastrawan lain yang dihubungi Fatin Hamama untuk menulis puisi esai, tidak sedang melacur. Sama halnya ketika kemampuan kita sebagai penulis diminta membuat biografi seorang pejabat, toloh politik, dan sebagainya. Dari kerja kepenulisan itu lalu mendapat upah, adalah sah.
Dan, jika Denny memolitisasi untuk menguatkan dirinya sebagai tokoh sastra paling berpengaruh, itu cara-cara politikus: artinya menghalalkan segara cara. Bahkan, dia meniadakan niat baik ketika mencetuskan hendak mengundang 23 sastrawan Indonesia menulis puisi esai.
Akangkah elok sekiranya Denny tidak menjadikan para sastrawan yang diminta menulis puisi esai, sebagai tangga ia memetik bintang-gemintang. Tetapi, seorang yang kaya ingin menghidupi sastra Indonesia; seperti pernah dilakukan Jeihan yang tetap sebagai pelukis ketimbang minta diakui sebagai penyair.
Saya tak akan mencabut apa yang sudah saya tulis dan serahkan kepada Fatin Hamama—pengiriman puisi saya ini pun tertuju ke email Fatin Hamama—betapapun ia “pesanan” dari Denny J.A. Ada yang hendak saya sampaikan: diskriminasi atas masyarakat Moro-Moro di Kabupaten Mesuji.
Janganlah kita “membabi-buta” menolak ketokohan Denny J.A. sekaligus menolak buku 33 TSIPB karena dinilai cacat dari berbagai disiplin ilmu; tidak ilmiah, pembodohan, dan seterusnya. Lalu mengaitkan ke-23 sastrawan yang diminta menulis puisi esai bagian dari mendukung ketokohan Denny.
Jangan sampai kita terlalu ngoyo bersuara sampai kalap (“membabi-buta”) dengan mengait-kaitkan seluruh komponen yang kira-kira menjurus ke Denny, dicap bahwa kami memang tengah mengidam-idamkan sebagai tokoh sastra paling berpengaruh juga. Artinya, fokus pada satu musabab, lalu bersma-sama diperjuangkan.
Saat jumpa dengan Jamal D. Rahman dan Joni Ariadinata di Rumah Puisi Taufiq Ismail dalam rangka mendeklarasikan Hari Sastra Indonesia, ataupun bertemu Jamal D. Rahman dan Agus Sarjono di Pekanbaru sekaitan pendeklarasian Hari Puisi dan Pertemuan Sastrawan Nusantara, tak ada mereka menyinggung-nyinggung soal buku 33 TSIPB.
Andaikan saya bisa meramal—sayangnya saya amat tak percaya dengan perbuatan musyrik ini—bahwa akan terbit 33 TSIPB lalu akan dikait-mengaitkan 23 sastrawan penulis puisi-esai pesanan, tentu akan saya tolak. Biarpun saya dan keluarga “kelaparan” sekalipun.
*Isbedy Stiawan ZS, sastrawan Lampung
No comments: