Ahmadun Yosi Herfanda*
Ahmadun Yosi Herfanda (dok pribadi/FB) |
Semula sebenarnya saya sempat menolak keras ketika diminta Dennya JA lewat Fatin Hamama untuk menulis puisi esai, karena sudah mencium bakal adanya politisasi sastra dengan gelagat yang kurang sehat. Selain itu, dengan memenuhi pesanan puisi jenis WOT (wrote on demand) – ditulis berdasarkan pesanan -- itu sama saja dengan "melacurkan diri" dalam sastra.
Saya sempat berdebat keras dengan Fatin di Tamini Square, disaksikan Mustafa Ismail, Remy Novaris DM, dan Dad Murniah, dan sampai akhir pertemuan saya tetap bersikeras menolak pesanan itu. Tapi, Fatin terus merajuk, dan rajukannya terus berlanjut lewat sms sampai saya pulang. Sialnya, sekitar dua hari kemudian, saya terdesak kebutuhan dana sosial (ya beginilah nasib penyair, sering kekurangan uang untuk mememuhi kebutuhan mendadak). Akhirnya, karena perlu dana mendesak, tawaran Denny lewat Fatin itu saya jawab dengan lebih lunak,"Oke saya akan tulis puisi esai, asal honornya Rp 10 juta."
Setelah sempat tawar menawar (mirip pelacur ditawar lelaki hidung belang lewat mucikari ) akhirnya Denny sepakat membayar puisi esai saya Rp 10 juta. "Yah, sesekali tak apalah jadi pelacur sastra asal pelacur yang mahal," pikir saya. "Kan hebat, satu puisi dibayar 10 juta.... He he he.”
Ternyara dugaan saya benar. Denny JA kini mulai mempolitisasi puisi esai karya 23 penyair Indonesia penerima pesanan itu yang akan segera diterbitkan (termasuk karya saya, Isbedy Stiawan ZS, Agus Nur, Sujiwo Tejo, Zawawi Imron, Kurnia Effendi, Fatin Hamama, Sihar Ramses Simatupang, Dad Murniah, dan Chavcay Syaifullah). Ada kesan kuat, bahwa Denny ingin menempatkan kami sebagai para pegikutnya dalam “mazhab puisi esai” yang diklaim sebagai idenya untuk memperkuat “politik sastra” Tim 8 yang menempatkan Denny sebagai salah satu dari 33 tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh dan mengundang kontroversi.
Tapi, nanti dulu. Denny jangan berbangga dulu. Kami, 23 penyair itu tak bisa begitu saja diklaim sebagai pengikut Denny. Sebab, banyak di antara kami (bahkan mungkin semuanya) yang menulis puisi esai itu bukan atas keinginan kami sendiri, bukan pilihan hati nurani, tapi karena "dipesan". Sebagai konsultan politik yang hebat, Denny pasti dapat membedakan antara "pengikut" dan "pekerja kreatif" yang melayani order karya. Pengikut itu mengikuti sesuatu sebagai pilihan hati, bukan karena pesanan. Jadi, kami bukanlah pengikut "mazhab puisi esai", tapi hanya sekali itu menempatkan diri sebagai "pekerja kreatif" yang melayani pesanan "puisi esai" Denny JA lewat Fatin Hamama.
Kalau kemudian dipolitisir dan dikesankan sebagai pengikut "mazhab puisi esai", itu saya kira model politisasi sastra yang bodoh dan murahan, yang sangat tidak patut dilakukan oleh seorang konsultan politik yang hebat. Itu adalah pembodohan publik yang dilakukan secara bodoh pula.
Jadi, setidaknya sudah dua kali Denny, ataupun "tim sukses" Denny, melakukan pembodohan terhadap publik sastra Indonesia. Pertama, penempatan dia sebagai salah satu tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh. Kedua, pencitraan terhadap 23 penyair (kami) sebagai pengikut mazhab puisi esai. Itu sungguh "kejahatan sastra" yang sulit dimaafkan. Denny dan "tim sukses"nya harus bertobat dan meminta maaf pada publik sastra Indonesia.
Melalui media sosial ini, kepada publik sastra Indonesia, dengan tulus saya mengaku "bertobat", meminta maaf, dan menyesal sedalam-dalamnya telah tergoda untuk ikut menulis puisi esai hanya demi uang Rp 10 juta. Betapa murahnya, "prinsip estetik" yang sudah 30 tahun lebih saya perjuangkan dan pertahankan, saya gadaikan begitu saja untuk puisi esai sehingga saya menjadi korban politik sastra abal-abal.
Kepada Allah SWT saya juga mohon ampun, karena tidak mau mendengar suara hati nurani saya sendiri, yang saya yakin berasal dari-Nya. Saya akan kembali pada niat awal, bahwa menulis puisi adalah "ibadah kreatif" seperti tercermin pada puisi "Sembahyang Rumputan" saya, dan sekali-kali bukan karena uang. Memang boleh-boleh saja dari menulis puisi itu kita menerima uang sebagai honor, termasuk honor yang besar sebagai penghargaan bagi kerja kreatif kita. Tapi, itu bagi saya bukanlah tujuan utama, apalagi dengan “menggadaikan” prinsip dan idealisme kesastraan.
Ya Allah, ampunilah kekhilafan saya, dan kekhilafan sahabat-sahabat saya yang sempat tergoda oleh iming-iming uang besar dari “dajjal sastra” itu – dajjal adalah mahluk dalam mitologi Islam yang mencari pengikut dengan iming-iming minuman segar di bawah terik matahari (bisa berupa iming-iming uang di tengah kemiskinan). Ya Allah, kembalikanlah sahabat-sahabat saya itu, termasuk sahabat-sahabat saya dalam Tim 8, ke “jalan sastra” yang lurus, jalan sastra yang Engkau ridloi, dengan lindungan kekuatanMu. Amin!
*Penyair
*Penyair
No comments: