Sihar Ramses Simatupang*
Sihar Ramses Simatupang (dok Sihar) |
Sejak lama saya sudah berencana untuk membuat prosa liris sebagaimana yang pernah dimuat dalam karya mendiang Linus Suryadi “Pengakuan Pariyem”. Ada sepuluh prosa liris, tentang dunia pohon yang akan saya jadikan buku. Saya berencana menjadikan kisah pohon sebagai diksi karena saya menyukai dunia tanaman belakangan ini. Tanaman yang dekat dengan budaya peradaban.
Karena itu, pada Oktober 2013, telepon dari Fatin Hamama untuk menulis puisi esai yang bukan istimewa bagi saya itu, saya ladeni dengan mengirimkan satu prosa liris saya. Saya tak memasalahkan honor sejak dulu karena saya sudah biasa bersama kawan-kawan membuat kumpulan puisi bersama, gratis, sukarela dan semangat kebersamaan.
Tapi siapa yang menyangka kalau puisi yang saya kirim akhirnya mengarah kepada gol untuk buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”? Secara diksi, saya merasa diksi saya lebih hebat dari diksi – pilihan kata – Denny JA.
Saya terhenyak ketika sekitar satu bulan setelah kejadian itu tim 8 yang membuat buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” dan merasa lemas karena seumur hidup baru kali ini di dunia sastra ada kejadian politis (yang bahkan bukan ideologis) sehingga saya merasa persahabatan dari saya memang tak selalu dibalas dengan persahabatan. Selama ini, ajakan kawan untuk menulis kumpulan puisi atau kumpulan cerpen selalu saya sambut baik bahkan tanpa latar honor sekali pun.
Kawan-kawan, harap kawan ketahui, kalau saja tak ada buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”, semua yang saya lakukan halal dan professional, puisi saya kirim, dan saya dibayar untuk satu puisi itu, jumlahnya Rp 3. 000.000,-
Saya akan kembalikan uang itu, saya akan siapkan uangnya. Saya minta nomor rekening Denny JA atau siapa pun yang dapat dijadikan sebagai saluran pengiriman. Dengan begitu, saya harap puisi saya “KISAH POHON ASAM DI TANAH JAKARTA” tak dimuat di dalam buku itu karena sudah menyentuh hati nurani saya, cinta saya kepada sastra termasuk sejarah sastra Indonesia.
Tapi saya tak menyesal menulis karya itu karena karya itu sudah aku buat sebelum ditelepon, hanya saya akan menyimpannya di ruang perpustakaan pribadi saya yang paling rapat. Bersama sembilan prosa liris saya tentang tanaman lainnya, akan saya simpan untuk selamanya. Saya akan tetap mengeluarkan buku diksi tentang pepohonan tapi dalam bentuk puisi liris, puisi yang mengandalkan kekuatan diksi – non naratif – yang saya miliki untuk buku yang saya sedang persiapkan “Semadi Akar Angin” – indie karena menerbitkan buku puisi amatlah sulit ketimbang novel atau kumpulan cerpen.
Saya hanya heran, biasanya saya punya intuisi untuk memilih tawaran mana yang pantas, mana yang ideal, mana yang tak politis. Kali ini, saya terjerembab dan tak tahu kalau tujuannya ternyata dapat merusak sejarah sastra Indonesia. Selama ini, saya berusaha mencari penghasilan dengan cara yang halal, sebagaimana gaji saya sebagai jurnalis selama ini juga kegiatan sastra baik sebagai pembicara, pembaca puisi, juri, penulis puisi di koran, berencana akan memelihara bonsai dan berpameran – plus bisnis bonsai. Bagi saya menulis puisi – yang saya tulis atas nama dan kehendak saya sendiri adalah halal, professional dan benar. Satu puisi saya lebih mahal dari itu. satu puisi saya tidak terhingga harganya.
Saya tak menyangka bila gol, tujuan dan incarannya ke arah buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”. Betapa sedihnya bila melihat banyak nama tokoh sastra hilang dalam buku itu padahal sangat berperan dalam sejarah sastra Indonesia, sebaliknya buku itu malah mengangkat nama yang belum teruji ke depan baik karya dan pemikirannya.
Sekali lagi, saya akan mengembalikan honor itu. Adakah kawan-kawan memiliki nomor rekeningnya, saya akan mengirimkannya besok atau lusa – paling lama awal Minggu depan.
Salam cinta di dalam sastra,
5 Februari 2014
Sihar Ramses Simatupang
* penyair cum jurnalis
No comments: