Semarang, teraslampung.com—Di tengah gegap gempita peringatan hari pers di Bengkulu, beberapa jurnalis di Semarang justru masih disibukkan dengan tuntutan mendapatkan pesangon karena diberhentikan bekerja secara sepihak oleh perusahaan Harian Semarang.
Tuntutan itu menyusul adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan kasasi PT Semesta Media Pratama selaku manajemen Harian Semarang dalam hal sengketa dengan jurnalisnya yang diberhentikan secara sepihak.
Berdasarkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Semarang yang diperkuat putusan MA, Harian Semarang wajib membayarkan pesangon Rp 107 juta untuk 12 jurnalis yang diberhentikan.
Berdasarkan data informasi perkara di laman resmi MA, perkara dengan nomor register 474 K/Pdt.Sus-PHI/2013 ini sudah diputus pada 29 Oktober 2013. Hakim yang menyidangkan perkara dipimpin Bernard dengan anggota Buyung Marizal dan Djafni Djamal Korban PHK. Jurnalis Harian Semarang mengajukan tuntutan dengan didampingi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Jawa Tengah.
Kuasa hukum penggugat dari Aliansi Jurnalis Independen Semarang Denny Septiviant mendesak pengadilan segera mengeksekusi putusan MA tersebut. Apalagi saat ini waktu sudah berjalan lebih dari 3 bulan sejak kasus diputuskan MA. "Agar segera ada kepastian hukum bagi para jurnalis yang diberhentikan sepihak," kata Denny, Ahad (9 Pebruari 2014).
Salah satu jurnalis Harian Semarang yang menjadi korban PHK, Puji Joko Sulistyo, berharap perusahaan mematuhi putusan MA dengan membayarkan pesangon yang menjadi hak pekerja. "Jika Harian Semarang tak mau mematuhi putusan kasasi MA maka kemana lagi para buruh jurnalis akan menuntut keadilan," kata Joko.
Sebelumnya, pada Juni 2013, Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Semarang, mengabulkan sebagian gugatan 12 jurnalis Harian Semarang yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak. Majelis hakim yang diketuai Abdul Rauf memerintahkan PT Semesta Media Pratama selaku penerbit Harian Semarang untuk membayar pesangon.
Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, Abdul Rauf menjelaskan, pemutusan kontrak yang dikeluarkan PT Semesta adalah sah sebagai PHK dengan pertimbangan efisiensi. Dengan demikian, perusahaan wajib membayar pesangon seperti dalam aturan perundang-undangan. Selain pesangon berdasarkan gaji dan masa kerja, masih ditambah penggantian hak yang besarnya 15 persen dari pesangon.
Total pesangon yang harus dibayarkan PT Semesta adalah Rp 107.640.000 untuk 12 jurnalis.
Namun, majelis hakim menolak gugatan dari penggugat yang meminta PT Semesta tetap membayar gaji mulai dari dikeluarkannya surat pemutusan kontrak hingga ada keputusan pengadilan yang bersifat tetap. Pertimbangan hakim, sejak diputus kontrak mulai 1 Maret 2012, para penggugat sudah tidak menjalankan kewajibannya sebagai pekerja di Harian Semarang.
Dalam sidang yang sama majelis hakim juga menolak gugatan balik (rekonvensi) dari PT Semesta kepada para jurnalisnya dengan nilai lebih Rp 3,2 miliar. Alasan PT Semesta bahwa munculnya pemberitaan di media soal gugatan ini telah menurunkan oplah Koran dan pendapatan perusahaan, tidak bisa diterima majelis hakim.
Sebelumnya, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Semarang juga menyatakan jurnalis bukan pekerjaan yang bisa digolongkan sebagai pekerjaan waktu tertentu. Berdasarkan hal ini, maka perjanjian kontrak dari PT Semesta kepada ke-12 jurnalis secara otomatis menjadi perjanjian kerja waktu tak tertentu atau pekerjaan tetap. Dengan demikian, jika terjadi PHK maka perusahaan harus memberikan pesangon sesuai aturan yang berlaku.
Harian Semarang didirikan seorang pengusaha Suwanto, pemilik penerbitan PT Aneka Ilmu. Belakangan, koran ini dikabarkan bergabung dengan Suara Merdeka Network. Dalam proses akuisisi tersebut, pihak perusahaan meminta karyawan memperbarui kontrak dengan mengajukan kembali lamaran kerja. Namun, ketika surat kabar terbit kembali, nama 12 jurnalis tersebut sudah tidak ada dan perusahaan memberhentikan mereka tanpa alasan yang jelas.
Kuasa hukum PT. Semesta Media Pratama, Nico Arief Budi Santoso belum bisa dimintai konfirmasi masalah ini. Nomor telponnya menunjukan nada aktif tapi saat ditelpon tidak diangkat.
Sumber: tempo.co
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kopi Pagi
Social Icons
Popular Posts
- Dayang Rindu, Cerita Rakyat yang Terlupakan
- "Showroom Sapi" di Lampung Tengah: Kemitraan Wujudkan Mimpi Parjono
- Van der Tuuk, Pahlawan Bahasa (Lampung) yang Dilupakan
- Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Jamal D. Rahman: "Reaksinya Terlalu Berlebihan.."
- Gua Maria Padang Bulan, "Lourdes Van Lampung"
- Panjang, Dermaga Penyeberangan Pertama di Lampung
- Menjadi Pelatih Pelawak
- Pagar Dewa dan Cerita-Cerita Lain
- Sejarah Transmigrasi di Lampung: Mereka Datang dari Bagelen
- Saya Sudah Kembalikan Honor Puisi Esai dengan Permintaan Maaf
No comments: