» » » » Catatan Terakhir tentang Tokoh Sastra Paling Berpengaruh: Kuikuti Saranmu Kawan, Saya akan Melanjutkan Berkarya...

Sihar Ramses Simatupang*


Mudah-mudahan ini pendapat terakhir saya soal buku "33 Tokoh Sastrawan Paling Berpengaruh" dan selanjutnya atas saran kawan-kawan lain yang saya temui, lebih baik saya meneruskan berkarya daripada berkomentar kelewat panjang seperti yang saya lakukan selama ini.

Kawanku Chavchay Syaifullah, 21 penyair dan para penyair lainnya di dalam buku-buku yang pernah ada di dalam puisi esai yang saya hormati.

Aku tahu karya kita saat membuat puisi adalah kerja profesional. Tak mudah untuk menghasilkan tulisan, puisi, buah pikiran dan perasaan kita. Puisi dibangun tak hanya dengan teknik berbahasa, dari diksi, pilihan kata-kata yang baru, konsep dan visi dunia dan kemanusiaan yang ditanggapi oleh seorang penyair sejak dia lahir atau pun sejak dia merasa pertama kali menulis puisi.

Namun, pernyataanku bahwa aku mencabut puisiku dan mengembalikan honorrli di hadapan publik (di media sosia dunia maya) tetap aku harus hormati. Kata-kata itu aku tuliskan dengan penuh emosi, bahkan agak sentimental, luka dan perih. Aku subyektif sekali pada saat itu. Tapi, kawan-kawan, aku tak mau dikatakan sebagai personal yang ingin menjilat ludahku sendiri. Sehingga, aku memutuskan untuk tetap mengirimkan uang untuk dikembalikan kepada Denny JA.

Kalau saja tak membuat pernyataan di depan publik, aku pasti membatalkan niatku untuk mengembalikan honorku yang kupakai untuk keperluan sehari-hari keluargaku. Aku pasti batal mengembalikannya karena semua pendapat Chavchay itu benar. Itu memang honor kita, halal bahkan hak kita.

Yang penting, kawan, aku tak akan berbeda, karena aku tetap setuju pada pendapat Chavchay, bahwa kita jangan dipecah-belah, karena kita sama sekali tak tahu bahwa akan ada buku "33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh" (selanjutnya saya singkat 33 TSPB) yang ada nama Denny JA disana, padahal dia sama sekali tak layak ada disana karena selama ini tidak memberikan pengaruh apa-apa di dunia estetik sastra. Denny-lah yang tak tahu, juga tim 7 (yang sekarang menjadi tim 7 minus pengunduran diri Maman S Mahayana - salut dan hormat aku padamu Pak Maman, tegakkanlah dunia sastra itu!). 

Denny JA dan Tim 7 pun tak tahu, bahwa tubuh puisi esai Denny JA, bukan karya baru di dalam dunia sastra Indonesia. Bahkan konsep prosa liris beberapa puisiku - di antaranya puisi "Kisah Pohon Asam di Tanah Jakarta" - adalah karya yang aku buat sejak dua tahun yang lalu. Kepada seorang penyair, aku sempat menyatakan keinginanku membuat prosa liris seperti "Pengakuan Pariyem" mendiang Linus Suryadi atau pun "Sumo Bawuk" Agus Sunyoto, juga puisi-puisi mendiang Rendra. Tapi, jangan dengan teknik perpuisian bergaya tembang seperti Agus Sunyoto dan Linus Suryadi, namun mencari teknik prosa liris ala puisi Sumatera (kawan penyairku bernama Irman Syah itu sebenarnya - sungguh ini subyektif saya saja - tentu lebih kuat bila membuat prosa liris karena bahasa ibunya adalah bahasa Sumatera sedangkan aku seorang Sumatera yang kelahiran Jakarta. Gaya puisinya pun mantap kali ketika mengalunkan puisi plus dendang menggunakan saluang).

Kepada Agus Sunyoto, yang kukenal lewat bukunya, dan aku surprise bertemu orangnya di Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 (bah, aku masih mahasiswa di Surabaya ketika aku membaca karyanya!), bahkan kukatakan bahwa aku salut dia mampu mengeluarkan prosa liris yang unik dan cantik. Puisi "Kisah Pohon Asam di Tanah Jakarta" hanyalah satu puisi dari sepuluh puisiku, yang aku kirimkan kepada Fatin Hamama lewat email dia - tanpa footnote sehingga Fatin pun menelepon aku lagi. Padahal, ini aku lakukan untuk bermain teknik prosa lirisku dan benar, Fatin menerima tubuh puisi itu! Aku hanya diminya untuk menambahkan saja footnote sekedar bedak di bawah puisi itu. Genaplah sudah, puisi esai benar-benar sama dengan prosa liris dan puisi naratif - minus footnote.

Padahal, sungguh, tubuh puisi yang diagungkan tim 8 (yang sekarang menjadi tim 7 minus pengunduran diri Maman S Mahayana) itu adalah prosa liris, prosa (bangunan imaji yang menghadirkan karakter, penokohan, protagonis dan antagonis) yang dihadirkan dengan teknik puitik - menjadi liris. Itulah persoalannya, puisi-puisi Denny JA, kalau saja dihapus footnotenya tetap adalah prosa liris. Aku bahkan tak pernah menyimak puisi (yang dikatakan puisi esai itu) pada halaman ke tiga dan ke empat karena isinya seperti prosa liris atau pun puisi naratif (puisi yang berkisah, disinilah dua genre prosa liris dan puisi naratif dapat berbenturan) lainnya.

Kawan-kawan, tak ada maksud saya ingin berbicara tentang ini, tapi biarlah persoalan sok serius ini saya utarakan agar pembaca awam atau pun pemula sastra mengetahuinya. Karena itulah yang kita perjuangkan, melahirkan tradisi baru di dalam penciptaan karya sastra. Ini harus kita sibak, karena teknik yang dibuat oleh Denny JA sungguh adalah pola atau teknik gaya lama.


Seolah ini perkara sederhana dan sepele. Tapi tahukah bahwa kita telah menghancurkan sejarah Rendra, Linus, Agus Sunyoto, Sindhunata dalam puisinya? Sejarah inilah yang ditiadakan oleh buku "33 TSPB". Jadi, kalau kita bicara pengaruh, ya tentunya pengaruh genre seperti inilah yang kita bincangkan (juga pengaruh perjuangan, visi penyair atau pun pendobrakan bentuk teknik sastra tertentu seperti Amir Hamzah yang lebih membebaskan tradisi ketatnya pantun, Chairil Anwar yang memulai tradisi bentuk puisi modern, Sutardji Calzoum Bachri dengan  puisi mantera yang membebaskan kata dari makna). Ada juga puisi mbeling Remy Silado dengan puisi mbelingnya lengkap dengan penataan tipografi atau puisi rupa karya Gendut Riyanto.

Jadi, definisi pengaruh itu bukan pengaruh karena bikin ramai dengan membiayai diam-diam perbukuan, event lomba di dunia sastra dan membuat buku "33 TSPB" yang bermasalah di arus sejarah sastra Indonesia juga buku-buku puisi yang mengagetkan para penyaur karena tujuannya membuat publik sastra terhenyak!

Betapa mereka - bahkan kita saat ini - terus bergumul, memeluk, mencabik, mengelus kata, tema, teknik pengucapan, pemilihan kata baru, dalam puisi, bahkan cerpen dan novel kita. Membaca banyak penyair lain sejak kita muda untuk kemudian menegakkan gaya kita di atas sikap tematik, estetik dan visi sendiri.

Demikianlah saya merancang puisi saya "Semadi Akar Angin" yang membuat pendekatan alam pepohonan sebagai diksi di dalam puisi-puisi saya belakangan ini. Dunia tanaman, pohon, yang belakangan saya geluti, adalah bagian dari peradaban kebudayaan di setiap lokal wilayah di dunia, seperti pohon bodi (ficus religiosa) dikenal sebagai tempat Sang Buddha Gautama beroleh pencerahan, beringin (ficus benyamina) dikenal dalam agama-agama lokal Indonesia seperti Kejawen dan Parmalim, waru sebagai pohon yang magis, hingga pohon baobab yang dekat dengan kebudayaan masyarakat Afrika. Bila saya mengambil diksi itu, maka saya beresiko akan berhadapan dengan sastrawan seperti F. Rahardi yang pernah memimpin majalah Trubus, penyair dan pencinta lingkungan Eka Budianta dan mantan pebonsai Kurniawan Junaedhi. Tapi itu kan hanya dunia pohonnya, kalau diksinya saya kan beda dengan mereka. Saya menjadikan pohon sebagai simbol kehidupan manusia, masyarakat dan simbol hidup saya sendiri sebagai penyair. Saya tak mencantumkan huruf besar di dalam puisi-puisi saya, kecuali untuk Tuhan atau Nya (kata ganti ketiga untuk Tuhan). Saya juga menggunakan metafora berlapis - itu saya ungkapkan pada penyair Sutan Iwan Soekri Munaf pada tahun 2003 - sebelas tahun yang silam. Itu tetap beda dengan mereka yang juga kuhormati tadi.

Pergulatan teknik puisi, diksi, metafora, visi, tema dan lain sebagainya itulah yang begitu berat dalam perjuangan panjang seorang penyair. Seorang Soetardji Calzoun Bachri bertahun silam bahkan pernah mengatakan kepada saya pribadi bahwa dia membela puisinya dengan kredo, dengan pemikiran, bahkan dengan esai yang terus dia perjuangkan.

Mengingat semua perbendaharaan dan pandanganku tadi, malam itu keluarlah emosi - lebih tepatnya sedih dan luka - kendati saya sadari emosi saya kemarin itu subyektif, kawan. Tapi aku tak akan menjilat ludahku di publik kendati aku katakan sejujurnya ini adalah HONOR, benar, tepat, layak. Kalau aku tak membuat pernyataan kepada publik, yang kemudian dikutip beberapa media tu, sudah kuikuti pendapat Chavchay! Sebab, dengan kepala dingin dan nalar pun kita akan tetap tahu bahwa pemasukan nama Denny JA di buku "33 TSPB" lah yang sungguh perbuatan salah kaprah dan tak mengerti sejarah sastra Indonesia. Bukan buku puisi, prosa liris dan puisi naratif berisi footnote itu!

Buku salah kaprah "33 TSPB" itulah yang harus dijatuhkan kedudukannya dalam dunia perbukuan sastra Indonesia. Karya para penyair - di buku 23 penyair - juga puluhan penyair lain bahkan di penyair muda dalam acara lomba puisi esai - tak bisa jadi alat untuk melegitimasi pengaruh sastra oleh tim 8 (minus Maman S Mahayana). Hore, hore, kata penyair dan jurnalis Mustafa Ismail, memang begitulah kenyataannya. Semua kegiatan yang dibiayai Denny JA - bila dia ikhlas awalnya - sontak seketika menjadi sia-sia dan menjadi "hore, hore" begitu dia lewat tim 8 (minus Maman S. Mahayana) tersertakan namanya disana dengan semua masalah teknis dan genre perpuisian seperti yang saya jabarkan di atas.

Orang kaya dapat berpuisi dengan cara yang lebih ideal. Sebagaimana saya mengenal penyair Slamet Widodo yang pengusaha itu, namun sejak bertahun silam dia bekerja dengan jerih-payah berkarya terus tanpa kenal lelah, seharusnya Denny JA konsultasi pada penyair, Bapak Slamet - demikian saya menyapa - yang saya anggap sahabat atau mas atau bapak karena beliau lebih tua dari saya. Banyak kawan mendukung dia, tetap tak merasa dipecundangi dan berteman dengan bahagia sampai sekarang. Karya dia, mulanya, bagi saya berada di bawah bayang gaya puisi mendiang penyair Rendra, terkadang seperti gaya puisi penyair yang puisinya kocak, Joko Pinurbo. Tapi saya yakin, dan akan terlihat gejalanya, dia akan memiliki cita rasa estetik sendiri atas puisinya. Pengacara Todung Mulya Lubis saja pernah mengirim karyanya di media massa cetak dan dimuat, bahkan penyair yang terhormat ini pernah melakukan orasi budaya di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Ya, semua penyair pada hakekatnya berusaha untuk mencari bentuk pada puisinya. Betapa semua akan berbeda bila itu juga dilakukan oleh Denny JA, menitinya dengan semangat berkarya yang tulis dan ikhlas. Bersabar, terus berkarya, berkeringat, hadir dalam diskusi sastra, banyak membaca sastra, mengolah diksi, mencari kata baru, tentu suatu saat kelak, akan ada hasilnya. Ajak sastrawan dan mahasiswa mengkritik puisi Anda, misalnya apa pilihan kataku sangat biasa, tidak memiliki simbol, metafora, gaya bahasa yang kuat, apa membosankan karena dalam pengisahan di balik puisinya tak banyak tokoh dihadirkan. Tapi mencari pembohong yang memuji puisi kita itu lebih mudah lho daripada mencari orang jujur yang mengkritik karya puisi kita.

Tapi, kalau pun karya kita, anak imajinasi kita ternyata tak lekat di sejarah sastra Indonesia, ya kita gagal, itu takdir namanya. Tak mengapa, tujuan bersastra bukan untuk mencari nama dan menempatkan kita dan karya kita di dalam sejarah sastra! Tapi berbagi dunia kata, menawarkan kata baru di jagat publik yang suntuk dengan bahasa konvensional dan bahasa jargon selama ini. Lagi pula, cukup dengan berpuisi kita sudah membela rakyat, membela negara kita, membela kaum miskin, membela orang tertindas, kaum papa, itu saja sudah hebat kok. Yang penting kuncinya, cobalah bersabar, dan percayailah takdir. Para tokoh pendahulu kita pasti tak memikirkan nama dan karyanya dalam sejarah sastra Indonesia.

Tapi, lihatlah hasilnya kalau Anda tak sabar. Akibat buku "33 TSPB" maka, para penyair yang saya sebutkan di atas bisa tertutupi jasa-jasanya di dunia sastra atau pun perpuisian di Indonesia, setidaknya ketika dia membaca buku "33 TSPB" itu. Bukan cuma pelajar SD, SMP, SMA, bahkan mahasiswa pun dapat tersesat oleh isi buku itu. Apalagi bila buku itu masuk dalam kurikulum!

Saran saya, tariklah buku "33 TSPB" itu. Kalau sudah terlanjur beredar, buatlah pernyataan bersama tim 7 lainnya di hadapan publik untuk menganggap beberapa halaman disana tak pernah ada. Untuk buku yang masih di toko buku, tariklah buku itu lebih dulu lalu direvisi. Atau ada saran lain dari saya, hadirkan "tiga puluh tiga sastrawan berpengaruh" lainnya, selama lima puluh edisi - mirip buku Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern (empat volume) karya Linus Suryadi yang sahih itu. Jadi ada seribu enam ratus lima puluh penyair setidaknya sampai generasi penyair yang lamanya berpuisi sama dengan Anda. Antara sastrawan pendahulu dengan sastrawan seumur Anda berkarya - dan para sastrawan pemula, di pinggiran daerah dan di luar negeri pun dihadirkan - semua dibuat bervariasi pada tiap buku. Jadi edisi kedua "33 TSPB II" sampai edisi ke lima puluh edisi, tim kuratornya harus berganti dan setiap tim isinya 8 kurator. Total, ada 64 kurator selama 50 edisi buku itu diterbitkan. Kalau dikurangi, 40 atau 30 edisi buku pun bolehlah...

Jadi, generasi muda memiliki banyak nama bandingan untuk sastra yang memiliki beragam kekuatan diksi, tipologi, madzab, kredo, visi dan lain-lain. Kita pun tak perlu merasa janggal lagi, karena pola seleksinya bervariasi - bukannya acak dan arbitrer seperti di buku "33 TSPB" ini. Dipilah, ditimbang, jangan ada satu pun karya para penyair itu lolos dalam sejarah sastra di 50 buku itu.

Menjadi penyair hak setiap orang. Para penyair pun berbeda profesinya, ada yang dosen, pengacara, pengusaha, kerja survei, karyawan, supir, tukang tanaman, wartawan. Tapi, janganlah mengubah sejarah dan tak menghargai perjuangan para penyair di sepanjang masa kesusasteraan Indonesia. Itulah masalah paling besar, Singkatnya, saran saya, usahakanlah penarikan untuk TSPB itu. Saya tak pernah bertemu bahkan tak pernah berdialog lewat telepon, email dan media sosial sekali pun kecuali lewat Fatin Hamama. Tapi, betapa indahnya dunia kesenian, kesusasteraan, bila perkawanan dibalas dengan perkawanan, terbuka, sehingga sang kawan yang baru Anda kenal (dan Anda yang baru dikenal oleh kawan baru Anda) tak sedih perasaannya, lunglai, kecewa, marah, merasa dibohongi dan hatinya pun tersayat. Begitu saja Bang Denny JA, Anda lebih tua dari saya, kalau saja Anda melakukan cara sebagai penyair atau penulis puisi lainnya, tentu tak begini bentuk komunikasi kita.


Yang terpenting, aku berharap buku itu segera dicabut agar persoalan ini cepat selesai karena begitu banyak masalah dalam kehidupan masyarakat kita, dari bencana alam hingga kekerasan yang terjadi beberapa waktu yang lalu karena miskinnya pemikiran dan wacana - semua dapat kita bantu dan sikapi masing-masing dengan pikiran, tindakan dan tulisan kita.

Salam,
Dinihari, 8 Februari 2014

Sihar Ramses Simatupang

* Penyair

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply