» » » Kabinet Santun



Isbedy Stiawan ZS


MAHKAMAH Konstitusi menolak gugatan pasangan calon gubernur-calon wakil gubernur Herman HN-Zainudin Hasan terhadap pasangan Ridho Ficardo-Bakhtiar Basri terkait pemilihan gubernur (Pilgub) Lampung. Dengan demikian, tinggal selangkah lagi Ridho-Bakhtiar menjadi orang nomor satu dan dua di provinsi ini.

Ucapan selamat untuk gubernur termuda di Indonesia mulai bermunculan di media lokal. Sjachroedin ZP, gubernur saat ini, juga berharap 2 Juni 2014 Ridho-Bakhtiar sudah dilantik, sehingga tak terjadi kekosongan setelah ditinggalkannya.

Berbagai harapan masyarakat juga bertaburan, Masyarakat Lampung berharap pada gubernur tampan dan jika tersenyum tampak macho ini untuk lima tahun ke depan: Lampung sejahtera, Lampung keluar dari barisan miskin di Sumatera ataupun Indonesia.

Gubernur muda, diharapkan juga semangat muda. Gubernur-wakil gubernur yang mengusung janji “melayani” ditunggu benar-bernar melayani rakyat. Mendayagunakan anggaran (APBD-APBN) sungguh-sungguh untuk menyejahterakan rakyat.

Sebagai anak muda, gubernur yang dijadwalkan dilantik pada 2 Juni 2014 ini diharapkan sekali membangun kabinetnya dengan santun. Santun adalah sikap terpuji. Sebagaimana sikap santun (berpolitik) yang telah ditunjukkan riva-rivalnya di gelanggang Pilgub, 9 April 2014.

Semisal, bagaimana ditunjukkan cagub Alzier Dianis Thabranie yang legowo atas kemenangan Ridho-Bakhtiar di meja MK, kemudian mengucapkan selamat atas nama Ketua DPD Partai Golkar di media lokal.

Demikian pula cawagub Mukhlis Basri sudah lebih dulu begitu penghhitungan suara, Ridho ketahuan menang. Terakhir, Herman HN—wali Kota Bandarlampung—cagub yang berpasangan dengan Zainudin Hasan mengaku legowo atas keputusan MK. Sebagai warga negara yang taat hukum, Herman menerima keputusan MK.

Jika rival-rivalnya yang kalah sudah bisa legowo sebagai bukti kesantunan berpolitik, diharapkan pula pada pasangan Ridho-Bakhtiar. Politik santun sangat dibutuhkan demi membangun Lampung lebih baik. Merangkul “lawan-lawan” di lapangan pilgub seusai pertandingan, bisa menjadi contoh terpuji bagi pendidikan berpolitik.

Dalam sebuah pertandingan, tentu ada kubu-kubu. Kubu yang satu mendukung kandidat yang satu, dan kubu yang lain mendukung kandidat satunya lagi. Itu biasa. Karena ada pendukung ini, pertandingan pun menjadi semarak. Bayangkan jika  “penggembira” ridak ada, apa yang terjadi di lapangan sepak bola tengah berlangsung dua kesebelasan bertarung? Akan sepi, tak akan muncul spirit untuk menyudahi pertandingan dengan kemenangan.

Tetapi, setelah pertarungan usai, kubu atau pendukung itu pun disatukan; dirangkul lalu bergandengan tangan. Sehingga tak akan ada oposisi. Begitu pula yang kalah, lupakan kekalahan, dan siap dirangkul untuk menjadi kawan; untuk membangun kabinet lebih baik.

Ridho-Bakhtiar akan memimpin kabinetnya selama 5 tahun ke depan. Meski dianggap sudah menjadi hukum alam, pemimpin akan meletakkan orang-orang yang dijamin akan loyal dalam kabinetnya. Tetapi bukan berarti menggusur orang-orang yang diketahui pada saat pertandingan sebagai pendukung lawan. Ini namanya kabinet dendam.

Kabinet tidak santun ini kerap dilakukan pemimpin baru. Dia gusur seluruh orang-orang yang berafiliasi pada lawan-lawan politiknya. Lebih ironi lagi, bawahan sang pemimpin yang tidak memberi kontribusi suara yang siginifikan akan bernasib malang: ia ditendang alias dinonjobkan.

Kasus nonjob dari jabatan paling kerap kita dengar dan saksikan. Misalnya, seorang kepala dinas atau camat atau lurah yang pada pemilihan kepala daerah ternyata wilayah kekuasaannya tak mampu menyumbang suara, akhirnya dicopot.

Telisik saja sekarang, terutama calon pilkada yang kebetulan saat bertarung adalah kepala daerah. Semisal, di wilayah Lampung Barat yang kebetulan bupatinya ikut menjadi kontenstan dalam pilgub. Lalu Kota Bandarlampung di mana Herman HN juga ikut berlaga, dan Bakhtiar Basri di Tulangbawang Barat yang menjadi cawagub mendampingi Ridho.

Dijamin ada pejabat—sekelas kepala dinas atau camat atau lurah—yang dicopot, walaupun jebloknya perolehan suara bisa terjadi karena faktor lain. Artinya bukan semata-mata disebabkan oleh sang bawahan. Inilah politik tak santun. Politik dendam.

Merangkul bekas lawan lebih indah, seperti juga merangkul kawan. Pengikut nabi Muhammad SAW hampir seluruhnya adalah bekas lawan-lawannya. Dan, tengoklah hasilnya kemudian. Ini ibroh kita semua…







«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply