» » » » » Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Jamal D. Rahman: "Reaksinya Terlalu Berlebihan.."

Jamal D. Rahman (dok SH)
BANDARLAMPUNG, teraslampung.com--Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh menuai kritik dan gugatan dari banyak kalangan sastra. Selain menyampaikan pesisi, banyak penggiat sastra yang mendesak agar pihak Tim 8 sebagai penyusun buku menyampaika klarifikasi seputar sumber dana pembuatan buku.

Ada sebagian kalangan sastrawan yang mensinnyalir pembuatan buku itu direkayasa untuk mendongkrak nama Denny J.A., bos lembaga survei politik. Proyek buku ini dikabarkan hanya sebagian kecil saja dari upaya Denny untuk memajukan sastra Indonesia.

Tim 8 yang terdiri atas Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah sejauh ini lebih banyak diam. Hanya Maman S. Mahayana yang menyampaikan klarifikasi (periksa di sini). Berikut ini adalah hasil wawancara Ranang Aji SP dari KoranOpini.com dengan Jamal D. Rahman. Kami muat kembali hasil wawancara tersebut secara utuh.

Ranang Aji SP (RASP) :Masyarakat sastra kita guncang dengan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Ada apa dengan mereka? 

Jamal D. Rahman (JDR) :Reaksi terhadap buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh sungguh berlebihan. Dan reaksi berlebihan itu merupakan fenomena atau kecenderungan sebagian masyarakat sastra dalam menyikapi suatu gagasan yang berbeda dengan gagasan mereka, atau gagasan yang tidak mereka setujui. Tapi reaksi berlebihan itu muncul terutama di media sosial. Jumlah mereka sesungguhnya relatif kecil dilihat dari masyarakat sastra yang luas, para sastrawan, kritikus, pemikir, akademisi sastra, mahasiswa sastra, guru sastra, komunitas-komunitas sastra, masyarakat umum pecinta sastra dll.

Pada hemat saya, reaksi berlebihan itu menunjukkan 3 hal. Pertama, sikap antidemokrasi pada sebagian kecil masyarakat sastra. Yang paling jelas adalah Petisi. Mereka membuat Petisi, yang intinya mendesak pemerintah melarang buku itu. Ini sangat menyedihkan. Di zaman Orde Baru kita melawan pemerintah yang melarang buku, pentas teater, film, dll. Sekarang, malah masyarakat meminta pemerintah melarang buku. Ini kemunduran luar biasa dalam demokrasi dan tradisi intelektual kita. Saya hampir tidak percaya bahwa sikap antidemokrasi justru muncul dari masyarakat sastra, bahkan meskipun hanya sebagian kecil dari mereka. Masyarakat sastra seharusnya paling siap berdemokrasi, sebab sastra pada dasarnya meniscayakan perbedaan.

Bagaimanapun, Petisi itu adalah fakta bahwa sebagian masyarakat sastra kita antidemokrasi. Syukurlah bahwa itu hanya sebagian kecil. Saya yakin sebagian besar masyarakat sastra kita tetap pro demokrasi, dan bersikap demokratis dalam menerima berbagai gagasan.

Kedua, ketidaksiapan sebagian kecil masyarakat sastra dalam menyikapi gagasan yang, katakanlah secara radikal, berbeda dengan pendapat mereka, atau gagasan yang tidak mereka setujui. Apa yang tidak mereka setujui mereka anggap salah bahkan sesat, sehingga secara apriori mereka tak mau memahaminya, dan ingin melarangnya. Karena mereka tidak setuju dengan buku itu, mereka menganggapnya sesat. Tanpa membacanya pula. Rupanya, meski Reformasi sudah berjalan 15 tahun dan demokrasi kita berkembang cukup baik, masih ada kalangan masyarakat sastra yang tidak siap menerima gagasan yang tidak mereka setujui.

Ketiga, kecenderungan sebagian kecil masyarakat sastra menggunakan “kekuasaan”
dalam menolak gagasan yang tidak mereka setujui, yakni menggalang dukungan, mau meminjam tangan pemerintah, berunjuk rasa, menfitnah, mengolok-olok, menghujat, mencaci-maki, dengan berbagai prasangka, dll. Kenapa mereka tidak menggunakan gagasan untuk menyanggah gagasan, tidak menggunakan pikiran untuk membantah pikiran, dan tidak mau menulis buku untuk menanggapi buku? Saya dengar mereka sudah ditawari untuk menulis buku menyanggah buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, tapi mereka menolak. Aneh sekali.

Rupanya ekstremisme atau radikalisme mulai menggejala dalam masyarakat sastra kita.
Keempat, sebagian kecil masyarakat sastra kita rupanya menyukai gosip di dunia sastra. Reaksi di media sosial terhadap buku itu bagaimanapun penuh gosip.

RASP: Sebenarnya bagaimana Anda dkk membuat penilain setiap tokoh? Ada metode yang bisa dijelaskan? Apa yang dimaksud pengaruh itu? 

JDR: Kami melihat kembali perjalanan sastra Indonesia dari awal abad ke-20 sampai sekarang. Jelas bahwa yang memberikan kontribusi terhadap dunia sastra bukan hanya sastrawan dan karya sastranya, melainkan juga pribadi-pribadi yang dengan satu dan lain cara berkiprah di dunia sastra. Mereka adalah kritikus, pemikir, akademisi, dokumentator, penggiat sastra, dll. Itu sebabnya kami tak hanya melihat para sastrawan, melainkan juga tokoh sastra yang memainkan pengaruh di dunia sastra. Dengan demikian, yang dimaksud dengan tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh adalah orang yang melalui karya sastranya, gagasannya, pemikirannya, kiprahnya, dan tindakannya memberikan pengaruh dan dampak cukup luas khususnya pada dinamika kehidupan sastra, dan umumnya pada dinamika kehidupan intelektual, sosial, politik, dan kebudayaan Indonesia yang lebih luas. Jadi, tokoh sastra bukan hanya sastrawan.

Sebagaimana kami jelaskan dalam buku, ada 3 hal yang kami pertimbangkan dari tokoh sastra yang kami maksud. Pertama, karya dan/atau pemikirannya, yakni karya sastra (puisi, cerpen, novel, dan drama) dan pemikiran sang tokoh, baik pemikiran itu dikemukakan dalam karya sastra  atau esai dan sejenisnya. Kedua, kiprah dan kegiatan sang tokoh, yakni berbagai tindakan dan kegiatan sang tokoh di bidang sastra dan budaya secara lebih luas. Ketiga, sejauhmana pengaruh sang tokoh khususnya bagi kehidupan sastra, dan umumnya bagi kehidupan sosial, budaya, dan politik di tanah air. Makin besar dan luas pengaruh seorang tokoh makin besar peluangnya untuk dipilih.

Lalu, ada empat kriteria. Tokoh sastra dinilai layak masuk dalam 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh apabila sekurang-kurangnya memenuhi satu dari empat kriteria berikut. Pertama, pengaruhnya tidak hanya berskala lokal, melainkan nasional. Kedua, pengaruhnya relatif berkesinambungan. Ketiga, dia menempati posisi kunci, penting dan menentukan. Keempat, dia menempati posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru yang kemudian melahirkan pengikut, penggerak, atau bahkan penentang.

RASP: Apa sebenarnya yang Anda inginkan dengan buku itu? 

JDR: Buku itu ingin menunjukkan apa dan sejauhmana peranan sastra dalam kebudayaan kita, di lapangan sosial, politik, dan kebangsaan kita. Bahwa sastra bukan sekadar khayalan atau imajinasi yang tak ada kena-mengenanya dengan kehidupan konkret kita. Sejak awal abad ke-20, sastra kita terlibat langsung dengan masalah kebangsaan. Bahkan gagasan tentang Indonesia dideklarasikan dalam puisi, yakni Sumpah Pemuda, yang dikonsep oleh Muhammad Yamin, penyair yang juga seorang aktivis. Dua hari sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan, Muhammad Yamin menulis puisi “Indonesia Tumpah Darahku”.

Dalam puisi inilah Muhammad Yamin mengemukakan impiannya tentang Indonesia, sebelum gagasan tentang Indonesia dideklarasikan lewat Sumpah Pemuda. Seterusnya Sutan Takdir Alisjahbana mengajukan gagasan tentang orientasi kebudayaan bagi Indonesia yang baru digagas, apakah kita mau mengambil  kebudayaan Barat atau Timur, lalu muncullah Polemik Kebudayaan. Demikian seterusnya di zaman revolusi, sastra mendorong semangat kemerdekaan, seperti tampak misalnya dalam puisi Chairil Anwar. Sampai sekarang, sastra tetap memainkan peranan dalam kehidupan konkret kita. Dengan melihat peranan, kiprah, dan pengaruh tokoh-tokoh sastra, sumbangan sastra pada kehidupan kita kiranya tampak lebih jelas.

RASP: Menurut saya setiap tokoh punya pengaruh. Tapi yang masif hanya Charil Anwar,Pramudya, WS Rendra dan GM. Kalau di Amerika Latin tentu  G.G. Marquez dan Borges. Denny JA adalah episentrum dari gelombang protes ini. Sebenarnya layak tdak dia menurut Anda secara jujur? Sejauh mana pengaruhnya terhadap peradaban sastra kita?

JDR: Tentu setiap tokoh sastra punya pengaruh. Dan mengukur pengaruh ini tidak mudah, karena bersifat kualitatif. Tidak bisa diukur secara pasti. Itu sebabnya, meski pertimbangan dan kriteria sudah disetujui oleh Tim 8, pada akhirnya ada satu-dua nama yang disetujui tidak secara bulat oleh Tim 8 sendiri. Maka sejak kami memutuskan 33 nama, kami sadar tak seorang pun akan setuju seratus persen dengan 33 tokoh pilihan kami. Tapi kami anggap itu wajar, dan berharap menjadi bahan diskusi atau polemik. Diskusi yang sehat tentu saja.

Ya, Denny JA merupakan episentrum dalam gelombang protes ini. Argumen kenapa kami memilih dia telah kami kemukakan dalam buku. Intinya, dia menulis dan menggagas apa yang disebutnya puisi esai. Judul buku puisi esainya adalah Atas Nama Cinta, berisi 5 puisi panjang tentang berbagai diskriminasi di Indonesia. Penting saya kemukakan bahwa kami tidak menilai mutu puisi esai Denny, melainkan menilai sejauhmana pengaruhnya. Bagi saya sendiri, dilihat dari mutu sastranya, puisi esai Denny tidak memuaskan. Tapi bagaimanapun pengaruh Denny dengan puisi esainya sangat besar.

Ada beberapa penyair menulis puisi esai ala Denny, dan sudah terbit sebagai buku. Setidaknya sudah ada 6 buku puisi esai, ditulis oleh banyak penyair. Lalu, ada film, lukisan, pembacaan puisi, pentas teater, musik, yang dibuat berdasarkan puisi esai Denny. Jadi, puisi esai Denny tak hanya berpengaruh di dunia sastra, melainkan juga ke bidang-bidang seni yang lain.

Di samping itu, puisi esai menjadi bahan diskusi relatif luas di kalangan kritikus sastra. Ada satu buku khusus yang merupakan kumpulan tulisan tokoh-tokoh penting sastra kita, mendiskusikan tentang puisi esai. Buku itu disunting oleh Acep Zamzam Noor, berjudul Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia. Jadi, pengaruh Denny tampak pada munculnya puisi esai karya beberapa penyair, beberapa bidang kesenian, yaitu film, pembacaan puisi, lukisan, teater, dan musik, yang diciptakan berdasarkan puisi esai Denny. Juga pada diskusi sekitar gagasan puisi esai. Tentu saja, banyak juga keberatan dan kritik atas puisi esai. Tapi bagaimanapun itu menunjukkan pengaruhnya juga.

Penting ditambahkan, pengaruh Denny lewat dunia maya. Puisi esai dan karya-karya turunannya seperti film, musik, teater, pembacaan puisi diunggah di internet, termasuk You Tube. Pada tahun 2012, puisi esai Denny di dunia maya memperoleh hits 7,5 juta lebih; pada tahun 2013, 4 juta lebih. Sementara, pembacaan puisi, teater, dan musik di You Tube ditonton oleh ratusan ribu orang. Lebih dari itu, 5 film garapan Hanung Bramantyo yang diangkat dari puisi esai Denny masing-masing ditonton oleh lebih dari sejuta orang. Tentu saja ada reduplikasi di sana. Tapi dengan asumsi maksimal reduplikasi sekali pun, angka-angka itu tetap fantastis.

RASP: Pro kontra dalam masyarakat demokratis wajar dan pasti niscaya. Menurut Anda seberapa besar jumlah yang pro buku ini?

JDR : Betul. Pro-kontra dalam masyarakat demokratis itu wajar. Tapi dalam kasus buku itu reaksi sebagian masyarakat sastra tidak wajar, antidemokrasi, sangat emosional, bahkan tidak beradab. Namun itu hanya sebagian kecil masyarakat sastra. Itu pun hanya sebagian pula dari masyarakat sastra yang aktif di media sosial. Sementara, masyarakat sastra kita sangat luas.

Saya yakin sebagian besar masyarakat menerima buku itu secara wajar dan rasional. Apalagi sastrawan-sastrawan senior yang disegani. Itu tidak berarti mereka setuju dengan pandangan kami. Tentu saja buku itu harus disikapi secara kritis, sekritis mungkin, dibarengi dengan sikap terbuka, tidak apriori, apalagi berprasangka. Yang kita butuhkan adalah polemik atau diskusi yang konstruktif dan dewasa dalam sastra kita.

RASP: Anda ingin meyampaikan sesuatu pada yang menuduh anda dkk sebagai penindas akal sehat?

JDR: Ah, tidak.

Sumber: www.koranopini.com

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply