» » » » Benteng Kraton Buton, Benteng Terluas di Dunia

Raudal Tanjung Banua*
Berkunjung ke Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, di samping mendapat kepuasan tak terbilang dari panorama lautnya yang indah, juga jangan luputkan menjelajah “Benteng Terluas di Dunia”. Ya, itulah predikat Benteng Kraton Buton yang tercatat dalam Guinnes World Record tahun 2006. Benteng sepanjang 2.780 m dan luas 23 ha ini dibangun pada abad ke-16 M, terletak di perbukitan Palagimata yang menjadi latar kota Bau-bau. Kota Bau-bau sendiri merupakan kota pelabuhan yang ramai di timur tanah air, dan menjadi pintu masuk wisatawan ke surga bawah laut gugusan Kepulauan Wakatobi.
Tidak sulit mencapai benteng, sebab terletak tak lebih tiga kilometer dari pusat kota Bau-bau. Ada mikrolet dan ojek sepeda motor yang bisa Anda tumpangi dengan ongkos Rp 5000. Saya beruntung diantar mobil panitia workshop penulisan, sehingga bisa langsung mengelilingi benteng. Begitu melewati gerbang utama bertulisan “Anda Memasuki Kawasan Benteng Terluas di Dunia”, pemandangan ajaib segera menghampar di depan mata. Dinding benteng yang hitam-tebal mengular sepanjang sisi bukit, dengan pola naik-turun yang unik. Bentuknya tidak fokus pada satu jenis, ada berbentuk balok, bundar, lingkaran atau kombinasi.
Tinggi dinding juga tidak sama rata, ada yang lebih rendah, sedang, tinggi atau diselang-selingi. Efeknya, kesan benteng jadi tidak masif sehingga tak membosankan dipandang mata. Lalu di beberapa bagian terdapat pintu-pintu beratap, lengkap dengan meriam tua yang mengarah ke luar. Bunga kamboja, pisang dan kapuk randu berderet tumbuh di tepi-tepinya.
Terbuat dari batu karang, Benteng Kraton Buton memagar rapat sejumlah perkampungan, istana sultan, masjid, makam dan rumah para bangsawan (wolio mendebu). Namun, bukannya tanpa celah, sebab ada banyak pintu dengan berbagai fungsi dan nama, seperti Baluarana Wabarengalu dan Baluarana Tanailandu. Sebuah pintu lagi tampak mengarah ke jurang, dulu pernah dipakai Aru Palakka atau La Toondu, bangsawan Bone, untuk bersembunyi dari kejaran pasukan Sultan Hasanuddin dari Gowa, Makassar.
Saya tercengang takjub memandang semua itu, terlebih pemandangan ke arah laut sangat menggetarkan. Kota Bau-bau yang padat dan pelabuhannya yang dipenuhi kapal-kapal terhampar jelas di bawah sana, termasuk pulau kecil di muka teluk, Pulau Makasar (dengan satu huruf “s”). Pemandangan juga sampai jauh ke tepian laut yang menggaris dua pulau bertetangga, Buton dan Muna. Ya, kedua pulau ini memang memanjang bersisian di kaki Pulau Sulawesi, dipisahkan selat Buton yang sempit layaknya sungai, sehingga ketika melewatinya dalam perjalanan dari Kendari kita disuguhi pemandangan laut, pulau dan tebing batu yang luar biasa indahnya. Mungkin karena berdekatan itu pula, secara administratif, pembagian kabupaten tidak berdasarkan pulau, namun langsung memotong kedua daratan; Kabupaten Muna juga mencakup sebagian pulau Buton, dan sebaliknya.
“Jauh di sana Gunung Kabaena, kampung-kampung di bawahnya terkenal dengan gadis-gadis cantik,” kata Yusri, orang yang mengantar saya, menunjuk nun ke arah Pulau Kabaena.

***

Setelah puas berlama-lama di sisi tembok benteng, saya memutuskan memasuki pusat Kraton Buton. Cukup mengherankan, tidak ada satu retribusi pun yang perlu dibayar, karcis masuk bahkan parkir gratis. Selain itu, tidak terlihat pedagang makanan baik asongan maupun di kios resmi. Saya angkat topi dari sisi kenyamanan, kebersihan dan ruang publik, tapi bagaimana dengan pemasukan Pemda serta aktivitas ekonomi masyarakat sekitar? Entahlah, saya belum mau berpikir lebih lanjut, termasuk memikirkan kenapa Benteng Buton mengalahkan Tembok Cina soal prediket “Benteng Terluas di Dunia”?
Sepenuhnya saya ingin menikmati pusat Kraton Buton, di mana terdapat masjid raya, istana bangsawan Wolio, batu igandangi (tempat pengukuhan sultan) dan balairung. Ada juga bukit kecil tempat peristirahatan abadi sultan Buton pertama yang beragama Islam, Sultan Murhum. Pusat benteng ditandai oleh sebuah tiang kayu unik setinggi 21 m, berusia hampir 300 tahun, tempat bendera kesultanan yang disebut tombi longa-longa pernah dikibarkan. Kini bendera tradisional sepanjang lima meter berbentuk lancip seperti daun padi itu, hanya dapat saya bayangkan seolah berkibar megah di ujung tiang jati yang masih kokoh berdiri.
Tiang unik itu berdiri persis di depan masjid raya Kesultanan Buton Butuni yang usianya jauh lebih tua. Dibangun tahun 1712, sekilas masjid ini tampak sederhana. Namun jika diamati arsitekturnya tak kalah unik, yakni bersusun tiga, dan setiap bagian hanya “dikunci” oleh 33 pasak kayu—tanpa paku—yang melambangkan jumlah bacaan suci saat zikir. Secara filosofis, ketiga bagian ini melambangkan anatomi manusia yang terdiri bagian bawah (kaki), tengah (perut) dan atas (kepala). Secara keseluruhan pula, jika dilihat dari udara, benteng Buton konon menyerupai orang sedang tahayat akhir dalam sholat, demikian beberapa info yang saya dapatkan dari warga setempat.
Sebagaimana jamaknya bangunan zaman dulu di Buton, kayu merupakan bahan utama masjid raya, di samping sedikit batu untuk pondasi dan pagar bawah. Kayu jati pilihan (Buton dan Muna penghasil kayu jati terbaik) juga terlihat kokoh di tiang, dinding dan lantai rumah para bangsawan Wolio. Rumah itu dibuat sampai bertingkat empat, bertiang puluhan dan dindingnya penuh ukiran. Menariknya, di bagian puncak atap selalu terdapat ukiran kayu berupa buah nenas.
La Ode Nuri, salah seorang penduduk kraton, mengatakan bahwa spritualisme orang Buton mempercayai konsep reinkernasi. Kenapa simbolnya nenas? Sebab buah nenas memiliki daun di bagian bawah dan bagian atas sebagai pertanda kehidupan. Selain itu, naga juga menjadi simbol kultural hasil akulturasi dengan masyarakat Tionghoa, begitu katanya.
Selesai bercakap-cakap, saya menuju pelataran istana bangsawan di mana terdapat jangkar raksasa dan monumen silsilah raja/sultan Buton. Konon, jangkar itu milik kapal VOC yang dikalahkan sultan Buton. Ada pun di monumen silsilah, terukir 43 nama raja dan sultan, dimulai Raja Waa Kaa Kaa pertengahan abad XIV dan diakhiri La Ode Falihi Kaimudin tahun 1960-an. Perbedaan gelar Raja dan Sultan tampaknya ditandai masuknya agama Islam tepatnya pada raja ke V (terakhir) sekaligus sultan pertama, Sultan Murhum.

Hari sudah rembang petang, terlihat dari permukaan laut yang disepuh cahaya keemasan. Saya segera beranjak ke makam Sultan Murhum, tapi dua orang bocah Buton mencegat saya. Ternyata mereka minta difoto. Klik! Saya foto mereka dengan latar jangkar besar, setelah itu saya bergegas ke makam. Makam dengan nisan setinggi dua meter itu bersih dan sejuk, dari sana terlihat matahari mulai angslup ke laut. Tak lama kemudian azan magrib bergema dari arah masjid raya. Hari itu, saya tutup kunjungan dengan sholat berjemaah di masjid bersejarah Buton Butuni, dengan sebuah keunikan lain: semua jemaah bersalaman sambil bersimpuh, simbol persaudaraan yang tak lekang oleh waktu. Semoga. 

*Raudah Tanjung Banua adalah penyar, Tulisan ini pernah dimuar di Harian Suara Merdeka, Semarang

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply