» » » » Sejarah Benteng Buton: Tiada Benteng yang tak Bercelah

Raudal Tanjung Banua

Makam Sultan Alaudin (foto Raudal Tanjung Banua)
Kesultanan Buton pernah menjadi ajang pergulatan sejarah penting. Bersama kerajaan lain di timur tanah air, seperti Bone, Gowa, Ternate dan Tidore, Kesultanan Buton tumbuh sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan yang diperhitungkan. Maklum, letaknya sangat strategis di jalur laut dan rempah, antara barat dan timur Nusantara. Tak heran, Belanda tergiur menguasainya, namun selalu gagal berkat kecerdikan Sultan Buton yang membuat “persekutuan abadi” dengan VOC.
Persekutuan yang disetujui Kapten Apollonius Scotte dan Sultan La Elangi (1613) ini bersifat saling menguntungkan, termasuk mencegah serangan Gowa. Tapi konflik Buton-Gowa (Makassar) membesar setelah bangsawan Bone (Bugis) bernama Aru Palakka, saingan Sultan Hasanuddin, melarikan diri ke Kraton Buton. Ia dilindungi Sultan Aidul Rahim atau La Sombata. Ketika pasukan Hasanuddin menyerbu, Aru Palakka tak ditemukan karena tempat persembunyiannya jauh di celah tebing karang.
Serangan Gowa berikutnya terjadi akhir tahun 1666 dipimpin Karaeng Bonto Marannu. Sultan Buton dibantu Aru Palakka, berhasil mempreteli pasukan “Ayam Kinantan” dan mengasingkan mereka di Pulau Makasar (ingat, dengan satu “s”), sebuah pulau kecil di muka kota Bau-bau. Kini, tiap tahun ada Festival Pulau Makasar menampilkan kreasi seni dan kuliner masyarakat pulau itu. Bentuk rekonsiliasi?
Jejak sejarah penting lainnya adalah tragedi tahun 1969. Ketika itu, bangsawan Buton dituduh menerima pasokan senjata untuk membangkitkan ideologi komunisme. KRI Dompu yang berlayar dari Tanjung Priok ke Maluku, dituduh mendrop senjata di Teluk Sampolawa. Bupati Buton, M. Kasim, ditahan menyusul ratusan orang lainnya hilang tanpa pengadilan. Sebagian sejarawan berpendapat, tragedi itu buntut persaingan dua kota niaga dan kultural sejak lama antara Makassar, Sulawesi Selatan, di barat dan Buton di timur.
Akibatnya, ibukota Sulawesi Tenggara dipilih Kendari, bukannya Bau-bau yang strategis dan bersejarah. Belum lagi rivalitas antara Buton dan Muna. Ada pula berpendapat, tragedi itu masuk ke benteng Buton akibat “permainan” orang dalam yang tersingkir dari tahta dan kuasa. Jadi tiada benteng yang tak bercelah. Tapi itu sudah jadi sejarah yang perlu digali kebenarannya.
Kota Bau-bau dilihat dari atas ketinggian. (Foto: Raudal Tanjung Banua)
Yang jelas, Kota Bau-bau dan Buton umumnya, kini terus berbenah mengembangkan potensi wisata. Banyak jalur bisa mengantar wisatawan ke mari. Jalur laut tentu yang utama, bisa langsung dari Makassar dengan kapal Pelni, atau naik kapal cepat Kendari-Raha-Bau-bau. Pesawat langsung Makassar-Buton sekitar tiga kali dalam seminggu. Maka, deretan tempat wisata tumbuh, mulai pantai Kamali dengan patung naga dan ikan bakarnya, Pantai Bukit Kolema dengan saraba' dan pisang eppe'-nya, suaka margasatwa Lambusango, sampai perkampungan orang laut atau Bajo di Lasalimu.
Atau mampirlah ke kompleks Kantor Walikota Bau-bau, tak jauh dari pusat kraton. Pada awal pembangunannya diprotes masyarakat sebab terlalu jauh di atas bukit. Namun walikota Bau-bau bergeming, alasannya ingin mengembangkan wilayah kota. Tak lama, rumah sakit daerah juga dibangun di situ. Alhasil, tanah yang selama ini terlantar jadi naik pasarannya. Kini lokasi itu menjadi tempat terbuka atau ruang publik, dilengkapi hotspot, penuh muda-mudi dengan pemandangan sekeliling yang memukau.


«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply