Oleh Jauhari Zailani
“Ah....ada-ada saja. Hanya karena pilpres, dua orang pendukung capres berantem”. Istri saya membuka pembicaraan. “Masih ada ya, orang berantem karena beda pilihan. Atau karena soal yang lain? Hanya mereka yang mengetahui. Bukankah mereka berdua, sudah lama berteman, dan seprofesi sebagai tukang becak. Tiap hari mangkal bersama menunggu penumpang,” kata isteri saya.
Harus diakui jujur, Pilpres telah berhasil menyebarkan “energi politik” dari sekadar urusan elite kini, meresap dan merasuki segenap warga bangsa. Tak peduli apa status sosial. Wong cilik, seperti tukang becak yang berantem itu, hanyalah satu argumen yang dapat diajukan. Resapan politik, hingga wong cilik begitu fanatik pada pilihan politiknya. Meski, kita bisa mengatakan dan kuatirkan pilihan politik wong cilik terbelah antara yang mendukung Prabowo dan Jokowi.
“Iya ya, sudah ada yang berantem segala. Kalau yang bersitegang, sih sudah jamak,” kata istri saya lagi. Saya menyetujui keprihatinan isteri. Politik telah merasuk hingga relung-relung personal warga. Barangkali karena memang hanya dua capres kita. Saya melihat dari sisi positifnya, aura politik yang merakyat dapat mengindikasikan keberhasilan pendidikan politik, dalam taraf tertentu.
Saya lebih senang dengan membandingkan dengan era sebelumnya. Suasana partisipatif ini, sungguh tak terbayangkan jika pemilu identik dengan mobilisasi. Dukungan dan kampanye adalah mobilisasi. Dalam taraf tertentu pemaksaan. Penguasa memaksa warga ikut pemilu dengan paksaan dan atau bayaran. Ketika, orang takut terlibat dalam politik. Orang takut menyatakan berbeda pilihan. Ketika pilihan di dorong oleh ingin hidup dan ingin selamat. Karena bayaran, atau dipaksa dengan “todongan senjata”.
Kini dalam Pilpres, warga dan orang-orang suka rela mengeluarkan dana dari kantong pribadinya. Bukan saja dana, tetapi juga tenaga. Untuk sebuah pilpres. Politik bukan sekadar pilihan, tetapi semacam pelarian. Pengalihan kesibukan. Pagi, siang, malam “bincangkan” Pilpres. Membincangkn Prabowo, ngrasani Jokowi. Seperti kurang kerjaan.
Isteri menyela, “Dari semua perbincangan selama ini, ada satu pertanyaan mendasar yang belum sempat kita ajukan, yaitu “Apa sih Negara? Adakah cara yang mudah untuk memahami? Terangkan dengan mudah. Tidak harus tekx book. Yang penting saya paham...."
Dengan garuk-garuk kepala, saya berusaha menjawab. Tak mudah bincang soal Negara dan eksistensinya. Jawaban yang tak mudah atas pertanyaan nyonya. Jawaban tak sekadar “njeplak”, tapi memerlukan perenungan. Bukan saja rumitnya isi dan materinya, tetapi juga bagaimana mem”bahasa”kannya. Menjadikan tema yang berat menjadi obrolan ringan bersama minum kopi, di Teras rumah bersama isteri.
Meski kurang berhasil, beberapa akhir-akhir ini kami mencoba menghindari bincang politik, utamanya soal pribadi capres. Bincang isu yang “itu-itu” saja, tentu saja membosankan. Kadang membahayakan. Ketika sedang asik ngibrol, susah membedakan mana pembicaraan yang mendidik dan ghibah, bahkan fitnah.
Karena itu, saya tersudut oleh sebuah pertanyaan nyonya. Kalau pertanyaan itu diajukan oleh mahasiswa di Kampus, jawaban dengan mudah merujuk Ibnu Khaldun, Plato, Aristoteles, Machiavelli, ataupun kisah-kisah dalam Ramayana dan Mahabarata. Negara, menurut Ibnu Khaldun, berawal dari kumpulan manusia yang berkelompok dalam “suku-suku”. Atas dasar ikatan “solidaritas”, mereka bersepakat mengikatkan diri dalam satu komunitas dan satu kepemimpinan.
Siapa yang berhasil menyatukan? Pada awalnya oleh orang yang memiliki kesaktian. Mampu menundukkan dan memaksa “suku” lain. Itulah yang kemudian menjadi bibit teori “pemimpin kuat”. Komunitas “bernegara” itu memerlukan logistik dan dana, untuk bertahan hidup dan pertahankan diri dari ancaman komunitas lain. Sejak itulah negara terbentuk.
"Ada cara lain yang lebih simpel?" tanya istriku.
Ya ya ya....Kita bisa memahami Negara, dengan cara mengibaratkan Negara dengan manusia. Seperti tubuh kita, Negara juga butuh makan, butuh sandang, dan butuh papan. Butuh uang. Diri dan keluarga kita membutuhkan air bersih, membutuhkan rasa aman, membutuhkan cinta. Plato menganggap Negara sebagai "Manusia besar", dan sebaliknya menganggap manusia sebagai "negara kecil”.
***
Menikmati semilir angin pagi, kami pandangi pohon-pohon perdu yang tumbuh di halaman rumah. Dalam taman secuil itu, setiap pohon membawa riwayat, membawa kisah. Anyelir, Merten, Tepak dara, Pandan wangi, sirih, dan beberapa jenis yang lain. Tak kecuali pohon jambu dan apokat, yang merimbuni halaman rumah kami. Yang masih setia menemani kami minum secangkir kopi.
Kalau Negara seperti manusia. Apakah Negara juga bisa memiliki sifat baik dan buruk? Rupanya cara saya menjelaskan lebih menarik perhatiannya.
Ya ya ya. Seperti manusia, Negara juga memiliki watak. Jika ingin mengetahui keberadaan dan sifat negara, bertanyalah pada diri sendiri, karena Sokrates, berkata “ kita harus mengakui bahwa unsur dan watak yang ada pada negara harus pula ada dalam masing-masing dari kita”.
Cara mudah mengetahui baik atau buruknya suatu negara, dapat diketahui dari kepentingan siapa yang lebih diperhatikannya, yaitu apakah kepentingan orang banyak, atau kepentingan penguasa itu sendri.
Sampai disitu, dengan kalem sang istri bertanya, “Bagaimana dengan capres kita?"
Pertanyaan yang menyentakku. Hening. Kulirik istriku yang nampak serius. Pandanganya lurus ke depan, ke arah tumbuhan di taman. Perempuan setia yang rajin membuat secangkir kopi.
Memecah keheningan, istriku bertanya, “Kalau Ki Bendot atau Ki Krempeng menjadi Presiden, Negara kita gimana?”
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya kembali kepada Bung Karno. Ada saatnya ketika dia menjadi “dewa” bagi rakyat Indonesia. Ketika Bung Karno dipahami sebagai titisan dewa langit, kepatuhan rakyat tak diragukan lagi. Tuhan mengeja wantah pada diri Bung Karno. Rakyat manut, nurut ikut. Begitu fanatiknya rakyat “Pejah gesang nderek Bung Karno”, hidup mati turut Bung Karno.
Kini Pilpres 2014, kekuasaan dipahami berasal dari rakyat. Pemimpin hanyalah “penerima mandat” dari “rakyat” untuk “melayani rakyat”. Karena itu, basisnya hidup seorang manusia semata-mata hanya untuk mengabdi pada Tuhan. Sementara itu Tuhan hadir di kawasan kumuh dan gubuk-gubuk reyot. Karena itu pemimpin yang dicintai oleh rakyat adalah siapa yang mengabdikan hidupnya pada kaum yang lemah.
Dengan kekuasaan yang dipegangnya “jika dipercaya”, Ki Bendot dan Ki Krempeng akan menjadi Negara Indonesia sebagai Negara kuat.
Indonesia di bawah Ki Bendot, akan menjadi “Macan Asia”. Negara yang perkasa, negara yang ditakuti. Membangun bla, membangun bla bla, dan membangun bla bla bla. Di bawah komando Ki Bendot, Indonesia akan menjadi negara yang diperhitungkan dalam pergaulan regional dan internasional. Ki Bendot yang perkasa, akan meneruskan gaya kekuasaan militer “ala Pak Harto dan Pak Yudhoyono”, dan gaya kharismatik Bung Karno. Kekuasaan dengan konsep “Negara kuat”, Negara bukan saja di segani oleh negara-negara lain, tetapi juga ditakuti oleh rakyat dan warga Indonesia.
Sedangkan Negara di bawah kekuasaan Ki Krempeng, dengan gaya kepemimpinan yang lebih banyak “mendengar”, mengelola negeri ini dengan keadilan menuju kesejahteraan bersama. Bagi Ki Krempeng, Negara kuat harus dimulai dari rakyat yang sejahtera. Hingga rakyat bangga menjadi warga dan bangsa Indonesia. Negara kuat, bisa terjadi jika rakyat bisa banggakan negaranya. Pada saat dibutuhkan rakyat, Negara hadir.
Dalam politik modern, negara hadir dalam banyak dimensi, bukan melulu bidang militer. Kegiatan ekonomi, kegiatan sosial, kegiatan budaya, kegiatan perburuhan, kegiatan TKI dan dalam kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya. Pertarungan antar negara bukan melulu urusan militer, tetapi ekonomi, sosial dan budaya.
Jika Negara menjadi refleksi dari perjuangan kelas, Negara menjadi alat yang efektif untuk memperjuangkan kepentingan kaum yang lemah. Memiliki Negara dengan basis militer yang kuat, seiring dengan penguatan pada bidang-bidang yang lain. Ki Krempeng akan membangun Indonesia dengan santai, serius, dan sukses. Rakyat kuat dalam Negara kuat. ***
No comments: