» » » Hardiknas dan Peradaban Unggul

Slamet Samsoerizal *)

Hari ini, 2 Mei 2014, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tema yang dipilih pada 2014 adalah  “Pendidikan untuk Peradaban Indonesia yang Unggul”.  Apa maknanya? Pendidikan bukan hanya untuk menyelesaikan atau menjawab persoalan-persoalan yang bersifat teknis dan kekinian semata. Akan tetapi, hakikat pendidikan adalah upaya memanusiakan demi membangun peradaban  yang lebih unggul.

Ada yang ditekankan pemerintah melalui peringatan Hardiknas kali ini yakni ihwal Implementasi Kurikulum 2013. Melalui titipan penerapan Kurikulum 2013, pemerintah melalui Kemendikbud mengharapkan agar peserta didik memiliki kompetensi secara utuh: sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Tujuan mulianya adalah menyiapkan generasi emas, menuju kejayaan Indonesia 2045.
Mampukah kita mencapai tujuan tersebut? Pertanyaan sangat mendasar ini, sebenarnya grenengan klasik sekaligus menggelitik. Pendidikan yang sejak awal pendirian bangsa ini memang diniatkan dalam upaya mencerdasakan bangsa, sebagaimana tertuang pada Pembukaan UUD 1945,  diterjemahkan dalam berbagai rupa tafsir.

Ragam Cerdas

Ketika bangsa ini merdeka, kita menganggap bahwa kungkungan semasa penjajahan berdampak terhadap kebodohan intelektual. Maka, kebodohan diupayakan dalam bentuk bagaimana secara intelektual bangsa ini digembleng lewat jalur-jalur pendidikan formal. Nalar dan akal didewakan. Dengan kata lain, kecerdasan intelektual adalah segala-galanya. Lantas, apakah setelah kecerdasan intelektual dipenuhi, kita dipenuhi generasi yang sukses membangun bangsa ini? Secara empiris, itu tidak terbukti. Bangsa ini dibangun oleh beragam kecerdasan secara komprehensif.

Lewat pendidikan, insan Indonesia cerdas komprehensif adalah insan yang cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinestetis. Cerdas spiritual memiliki makna bahwa peserta didik diharapkan mampu beraktualisasi diri melalui olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. 

Cerdas emosional memiliki makna bahwa peserta didikmampu beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiativitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta memiliki kompetensi untuk mengekspresikannya.  Cerdas sosial memiliki bermakna agar peserta didikmemiliki kemampuan beraktualisasi diri melaluiinteraksi sosial dengan cara (a) membina dan memupuk hubungan timbal balik; (b) demokratis; (c) empati dan simpati; menghargai kebhinnekaan dalam bermasyarakat dan bernegara;berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara.

Cerdas intelektual memiliki makna bahwa peserta didikdiharapkan mampu beraktualisasi diri melalui olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta menjadi insan intelektual yang kritis,kreatif,inovatif,dan imajinatif. Cerdas kinestetis memiliki makna bahwa peserta didikdiharapkan mampu beraktualisasi diri melalui olahraga untuk mewujudkan insan yang sehat, bugar,berdayatahan, sigap, terampil, dan trengginas.

Model-model pendidikan berbasis kecerdasan memang perlu. Akan tetapi, alihalih keberadaan manusia yang utuh, maka pelangi kecerdasan mesti ditebarkan pada semua lini pendidikan mulai dari pendidikan formal hingga nonformal. Mulai dari jenjang pendidikan dasar, menengah, hingga tinggi.  Hasil yang diharapkan adalah kesantunan dalam berperilaku dan kecerdasan dalam menyikapi segala persoalan.

Niatan yang Perlu Ditopang

Ragam cerdas mengindikasikan sebuah bangsa beradab, karena itu unggul. Namun, sebagai individu, ego manusia cerdas terkadang mewujud dalam dinamika kontraproduktif.

Ada catatan menarik pascareformasi dalam perjalanan berbangsa dan bernegara. Apa pun yang menjadi kebijakan pemerintah, acap dipatahkan oleh masyarakat (terdidik). Dalam bingkai akademis, dialektika ini memang harus terjadi. Namun, kemasannya mesti menarik ketika dikonsumsi publik sebagai produk bersama bangsa.

Saya paling suka jika ada ilmuwan yang tanpa bekoar, tetapi memiliki karya nyata. Ia begitu suntuk, demi sebuah temuan, penelitian, dan berunjuk rasa tentang keahliannya kepada warga darat  tentang kiat bertani mulai dari bertanam hingga memasarkan hasil pertaniannya secara online.Ia sibuk meneliti dan mempublikasikan penelitiannya bertajuk darat dan kehidupan baik dalam bentuk artikel popular, jurnal ilmiah, dan terutama buku-buku.

Ia mencontohkan kepada para warga laut ihwal trik memanfaatkan kelautan untuk kehidupan. Ia sibuk begadang menulis sejumlah buku pengetahuan kelautan untuk diwariskan kepada bangsa yang sejak dahulu kala cuma bangga sebagai bangsa bahari tetapi selalu terpinggirkan dari segi tekonologi kelautan. Ia sibuk –sebagai ilmuwan—dengan kepakarannya demi kemaslahatan umat.

Insan-insan terdidik yang demikian, pastilah mendampak pada generasi berikutnya karena sejak awal ia  berhasil menyebarkan virus budaya belajar-cerdas-berguna. Dengan demikian, mengusung tema  “Pendidikan untuk Peradaban Indonesia yang Unggul” pada Hardiknas kali ini perlu dimaknai sebagai niatan yang perlu ditopang. Ini berarti, sebagai bangsa yang semakin  cerdas, kita berkewajiban untuk andil dalam membentuk bangsa dan negara kembali kepada khittah sebagai bangsa dan Negara yang terhormat baik di dalam maupun luar negeri.   ****
----------------------------
*) Peneliti pada Pusat Kaji Darindo




«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply