Shadow of No Towers (canadianart) |
RASA PIZZA YANG TERPISAH
di depan gedung aquity tower, penuh langkah
yang bergegas. dua bayangan gedung,
melengkung seperti alis matamu yang hitam
di sebuah meja yang bersebelahan dengan
dinding kaca, menyuguhi hidangan ala amerika
dengan suhu sehangat popok bayi yang dijemur
rasa pizza yang terpisah dari jiwa, jangan
sampai melegenda ke anak cucu kita. lidah mereka
tak boleh lupa akan sejarah botok, tumis kangkung,
sambal petis, oncom, ketela yang dikukus
kita mengepung meja di beranda siang yang
gaduh. menu asing yang terhidang di meja,
seperti topik aktual yang harus dibahas dengan
pikiran cerdas
namun sebenarnya hati kita tak ada di situ,
entah tersangkut dimana. juga tuhan entah
berada di sebelah mana ketika kita lupa berdoa?
orang-orang terus berteriak-teriak, soal
air meneral, menu yang ditambah. dengan mulut
yang penuh, lupa bercermin. sedang pisau dan garpu
bergemerincing di atas piring, membentuk
simfoni tanpa jiwa
orang-orang terus bergerak seperti ombak yang
bergulung-gulung. mencari tepian dunia di atas meja
kita masih tetap dengan menu yang sama, asing
di lidah, asing di hati. sedang hati kita adalah sajadah,
bukan meja yang menghidangi karut marut dunia!
dalam bising, ada yang tercuri dari matamu, yaitu
kedamaian. sebuah ruang yang teduh telah
disusupi suara-suara gaduh. ah, mungkin itu
suara hatimu yang terlepas ke langit menjelma hujan
yang membasahi tubuh kita.
Jakarta, 2012/2013
AKU MALU PADA ANAKKU
seseorang menginginkan aku selalu tertinggal
dibelakang larinya. namun selalu saja
tangan anakku meletakkan kembali
langkahku dibarisan paling depan
ketika orang itu menebang seluruh pohon
yang melindungi diriku dari terik, lagi-lagi
tangan anakku ada di sana menjelma payung
aku tunggu orang itu di simpang jalan,
untuk menyampaikan hak keberadaanku. tapi
anakku bilang, “jangan ayah! sebab ia telah
menjelma selimut di ruang kehidupan
bagi si pemalas!”
Depok, 2013
KELAM
aku pasak yang kau jadikan arang
berserak menghitamkan genangan
mari kemari buih lautan
di pantai aku menganga bagai kawah
mengepulkan uap bara ke rongga jiwa
mari kemari angin kembara
ladangku tumbuh ilalang
sumurku berkubang belerang
aku tirai yang kau jadikan tameng
koyak moyak menahan titian.
Depok, 2013
TERAPUNG DI LAMPUNG
kita sudah sampai di hutan bakau. siang nanti,
kita akan ke anak gunung krakatau, katamu. aku
menepis debu di bangku. duduk meragu. akankah
kita sampai ke pantai panjang? aku rindu ombak
yang gemulai, yang kerap melukis punggung onta!
carilah dunia di dalam buku, saranmu dari balik
pintu. aku masih meragu. akankah buku membuka
pintu gerbang kegelapan untukku?
sebelum petang, aku akan ke pematang. melihat
para petani berkeringat sutera; punggungnya berkilau
diterpa matahari.di situ ada ayahku, katamu. dia pelestari
adat, sehari-hari mencangkul matahari. sayangnya,
yang ditemukan adalah bayang dirinya sendiri!
di situ juga ada ibuku, katamu lagi. limapuluh tahun lau,
ia sebagai muli muda di kampungku. untuk
mendapatkannya, kata ayah, lelaki harus berkeringat sutera
pertanda rajin bekerja.
kalau kita apa? kataku. kita adalah sebongkah garam
di meja peradaban. peladang yang tak bercangkul
kita ibarat gunung krakatau, muncul di laut
malu berlutut!
Depok, 2013/2014
CATATLAH
aku tak jadi pergi. jembatan itu
sudah melepuh sebelum kutempuh
akar pagi menjerat langkahku dengan
gerimisnya. ada serpihan janji di benakku
tapi itu sudah kulebur saat badai bertamu
aku melihat, orang-orang risau melihat keranda
selalu menawarkan hari agar minggu bisa
kembali ke sabtu, senin mengalir ke jumat
tapi siapa yang memberi garis pada detak
di jantung kita? catatlah
catatlah pasir yang selalu berjaga-jaga di tepian
catatlah pohon-pohon nyiur yang memotret
dunia dari atas bangkai kepiting, bulan yang
merelakan sepotong tubuhnya dimamah gerhana
para kekasihku, catatlah
aku tak jadi pergi. ya, air sungai sudah berbalik arah
berkubang di kamar-kamar rumahmu. aku
membiarkan sebuah lilin tetap menyala dari lima
yang kumatikan. karena cahaya dari lukaku
cukup membantu untuk melihat kegagalanmu!
Depok. 2014
GEJALA
mengelana ke dasar diam,
kutemukan selongsong peluru di mulutmu
yang tak meledak. kalimat apa
yang tercekat di dalam sana?
bertahun-tahun jejak yang tercipta ini
begitu sempoyongan. mengekor sampai
ujung dapur, menekuk di tepi ranjang,
membusuk di meja makan
tembang dari segala cuaca membentuk
simfoni yang buruk. di tiap kelokan waktu
terendus aroma belerang, udara yang kejang
ah, di mana-mana tumbuh ilalang!
mengelana ke dasar diam,
sebuah laut dan sebuah perahu
berada dalam rejam gelombang
namun di sisi ingatan, lahir bualan!
Depok, 2014
Endang Supriadi, lahir di Bogor 1 Agustus 1960. Menulis puisi dan cerpen secara otodidak sejak tahun 1983. karya-karyanya dimuat dipelbagai media cetak pusat dan daerah seperti, Suara Karya, Republika, Merdeka, Media Indonesia, Pelita, Berita Buana, Berita Yudha, Swadesi, Pikiran Rakyat, Nova, Lampung Post, Anita Cemerlang, HAI, Nona, Singgalang, Majalah Sastra Kolong, Majalah Puisi Diksi, Buletin Kreatif HP3N, Trans Sumatera, Bentara Budaya Kompas, Horison, Suara Pembaruan, Koran Tempo, Jurnal Nasional.
Sebagai juara I Lomba Cipta Puisi SPSI Tingkat Nasional (1992), Juara Harapan I Lomba Cipta Puisi Hutan Eboni Tingkat Nasional (1994), Sepuluh Terbaik Lomba Cipta Puisi Batu Beramal I (1994), Juara I Lomba Cipta Puisi Batu Beramal II (1995), Sepuluh Terbaik Lomba Cipta Puisi Dewan Kesenian Mojokerto (1998), Nominasi Lomba Cipta Puisi Perdamaian ‘Art and Peace’ Bali (1999), Nominasi Lomba Cipta Puisi Borobudur Award (2000), Pemenang Lomba Cipta Puisi Seratus Tahun Bung Hatta (2002), Pemenang Lomba Cipta Puisi Seratus Tahun Bung Karno
(2000), Juara III Lomba Cipta Puisi Krakatau Award (2002), masuk 15 Nominasi Lomba Cipta Puisi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, (2006).
Beberapa puisinya terkumpul dalam antologi puisi Sembilan Penyair Menatap Publik, Batu Beramal I dan II, Kebangkitan Nusantara I dan II, Cerita dari Hutan Bakau, Nuansa Hijau, Getar, Sahayun, Dari Bumi Lada, Songket I, Trotoar, Mimbar Penyair Abad 21, Kaki Langit Kata-kata, Jakarta Jangan Lagi (selipan jurnal kolong), Antologi Puisi Indonesia (KSI 1997), Antologi Puisi Borobudur Award, Resonansi Indonesia (antologi puisi dwibahasa Cina-Indonesia 2000), Datang dari Masa Depan, Gelak Esai& Ombak Sajak Anno 2001, Antologi Puisi Bentara Kompas, editor Sutardji Calzoum Bachri, Jakarta Dalam Puisi Mutakhir, Nyanyian Integrasi Bangsa (2001) Lampung Kenangan-Antologi Puisi Krakatau Award 2002, Antologi Puisi Malam Bulan, 2002, Konser Ujung Pulau- Lampung Art Festival (2002), Bung Hatta dalam Puisi (2003), Bisikan Kota, Teriakan Kota, Kota Yang Bernama dan Tak Bernama-Dewan Kesenian Jakarta, 2003,Puisi Tak Pernah Pergi 2003-Anotologi Puisi Bentara Kompas, editor Sutardji Calzoum Bachri, Narasi dari Pesisir, antologi puisi Krakatau Award 2004, Bumi Ini Adalah Kita Jua, Antologi Puisi Kado Buat: SBY (2005), dan Jogya 5,9 Skala Richter (2006), Dermaga Kota Tua (puisi-puisi pesisir, bersama Slamet Rahardjo Rais, Penerbit Perpustakaan Umum Kota Madya JAKUT, 2007), Antologi Penyair Depok, Gong Bolong (2008), Tanah Pilih, (Bunga Rampai Puisi Temu Sastrawan Indonesia I-2008), Kenduri Puisi (Buah Hati Untuk Diah Hadaning – 2008), Jejak Sajak (sehimpun puisi generasi kini, 2012), Narasi Tembuni (kumpulan puisi terbaik KSI Award 2012), Antologi Sastra Nusantara, penerbit Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2012, dan Antologi Puisi Menolak Korupsi, Penerbit Forum Sastra Surakarta, 2013.
Puisi Tunggalnya: Tontonan Dalam Jam (1996), Lumpur di Mulutmu (2010).Lima buah cerpennya dijadikan skenario audiovisual untuk sinetron televisi: Lelaki itu Bernama Oding, Sosok Bertopeng, Protes, Sumirah dan Dendam.
Puisi Tunggalnya: Tontonan Dalam Jam (1996), Lumpur di Mulutmu (2010).Lima buah cerpennya dijadikan skenario audiovisual untuk sinetron televisi: Lelaki itu Bernama Oding, Sosok Bertopeng, Protes, Sumirah dan Dendam.
Diundang pada Temu Penyair se-Indonesia tahun 1994 dan 1996 di batu Malang, diundang pada Temu Penyair Sumatera, Jawa dan bali oleh Dewan Kesenian Lampung th. 1996, sebagai peserta Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki th. 1996, sebagai peserta pada Pertemuan Sastrawan Nasional ke IX dan Pertemuan Satrawan Indonesia di Kayutanam Sumatera Barat th. 1997, diundang pada Pertemuan Penyair oleh Dewan Kesenian Mojokerto th. 1998, dan salah satu juri dalam Lomba Cipta Puisi Anti Kekerasan KSI Award 2001. Sebagai perserta pada acara Sastra Kota DKJ Th. 2003, sebagai peserta MPU ke-1 di Anyer Th. 2004, sebagai perserta MPU ke-2 di Bali Th. 2006, dan diundang sebagai peserta Lampung Art’s Festival Th. 2007 oleh Dewan Kesenian Lampung. Salah satu Panitia Kongres Komunitas Sastra Indonesia ke-1 Th. 2008 di Kudus, Jawa Tengah. Sebagai peserta MPU ke-3 di Lembang-Bandung Th. 2008, sebagai peserta MPU ke-4 di Solo Th. 2009, sebagai peserta MPU ke 7 di Yogyakarta Th. 2012, Road show pembacaan Puisi Menolak Korupsi di Halaman Gedung DPRD Kota Tegal Th. 2013, dan pernah beberapa kali diundang baca puisi di studio RRI Jakarta. Kini tinggal di Depok. Jawa Barat.
Alamat Rumah: Jl. KH. Ridi RT003/02 No. 96, Kel. Pondok Jaya, Kec. Cipayung – Depok 16431
No comments: