Oleh Taufik Wijaya
Potret korban politik pembangunan Indonesia yang diusung Teater Satu. (t. wijaya) |
PEMBANGUNAN ekonomi yang beroritenasi eskplorasi sumber daya alam (SDA) di Indonesia, ternyata membuat kerusakan alam dan kemiskinan. Meskipun faktanya seperti itu, tapi hingga detik ini perkebunan dan penambangan, yang pemiliknya mulai dari pengusaha Indonesia maupun asing, terus dijalankan di Indonesia.
Sejumlah organisasi lingkungan hidup melakukan aksi protes di jalan, di lokasi perkebunan, di media massa atau di media jejaringan sosial. Sementara para pekerja seni memiliki bentuknya. Mulai musik, lukisan, hingga pertunjukkan teater.
Sama halnya di era Orde Baru, yang mana para pekerja teater mengusung isu demokrasi atau antifasisme, maka saat ini persoalan lingkungan hidup yang melahirkan kerusakan hutan, habisnya flora dan fauna, pemanasan global, kemiskinan, serta penyakit mematikan seperti kanker, menjadi isu yang diusung kelompok teater. Misalnya yang dilakukan Teater Satu.
Potret kemiskinan para tani atau masyarakat desa di Lampung, yang merupakan korban dari perkebunan sawit, yang menginspirasi Teater Satu untuk mengadaptasi naskah “Buried Child” karya Sam Sephard menjadi pertunjukkan dengan judul “Anak yang Dikuburkan”. Ceritanya bersetting keluarga petani di Mesuji, Lampung, pada tahun 1990-an.
Pertunjukan ini pernah dipentaskan Teater Satu pada Juni 2012 lalu di Teater Salihara Jakarta. Saat itu Teater Satu dinobatkan sebagai grup terbaik di Indonesia oleh Majalah Tempo. Dalam kegiatan Kala Sumatra III-Jaringan Teater Sumatra yang didukung HIVOS, pertunjukkan tersebut kembali ditampilkan pada Minggu (27/04/2014) di Teater Sapta Pesona, Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Palembang. Selain Teater Satu, tampil juga Komunitas Berkat Yakin (Lampung), Teater Petak Rumbia (Bengkulu).
Kisahnya menceritakan kehidupan sebuah keluarga petani di Mesuji, Lampung. Tokoh utamanya yakni Hedar. Dia merupakan istri dari Alfian yang berjuluk “Raja Kepok”. Julukan ini diberikan karena Alfian dikenal sebagai agen atau pemasok pisang kepok terbesar di Lampung.
Saat menikah dengan Alfian, Hedar merupakan janda dengan dua anak. Dari pernikahan dengan Alfian, Hedar melahirkan seorang anak.
Pada awalnya, kehidupan rumah tangga Hedar sangatlah sejahtera. Tetapi, kehidupan berubah, setelah sebuah perusahaan perkebunan sawit yang didukung pemerintah, menggusur perkebunan milik mereka. Ganti rugi lahan yang diberikan sangatlah kecil, yang tidak mencukupi kehidupan mereka selama lima tahun.
Kehidupan mereka kian terpuruk, ketika Alfian tidak memiliki pekerjaan dan setiap malam hanya mabuk-mabukan. Lalu Thea, anak tertua Hedar, terganggu jiwanya setelah pulang dari luar negeri sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia), dan Bahnan terkena kusta sehingga satu kakinya diamputasi.
Guna memenuhi kebutuhan keluarga, Hedar memilih menjadi penjahit pakaian. Ternyata penghasilannya tidaklah cukup. Dia pun terpaksa melayani kebutuhan seksual para mandor perkebunan, buruh perkebunan, atau sopir truk. Terhadap pekerjaan tersebut, Alfian tidak marah. Bahkan dia merasa mendapatkan sumber pemasukan untuk membeli minuman.
Konflik pun muncul ketika kehadiran seorang bayi di keluarga tersebut. Keluarga itu pun terpaksa membunuh sang bayi, yang hingga akhir ceritanya tidak jelas siapa yang mengandungnya, apakah anak Thea hasil hubungan intim dengan bapak tirinya Alfian, atau anak Hedar hasil hubungan dengan anak kandungnya Bahnan.
911,53 Warga Desa di Lampung Miskin
Lampung merupakan salah satu wilayah di Pulau Sumatra yang tidak luput dari kerusakan lahan dan hutan akibat aktifitas perkebunan. Setelah dihabisi oleh perkebunan ubi kayu atau ketela pohon, Lampung kini dirusak oleh perkebunan sawit. Dampaknya selain kerusakan alam, juga pemiskinan terhadap masyarakat.
Menurut data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung yang mengutip dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Lampung tercatat 41 perusahaan yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit. HGU ke-41 perusahaan tersebut mencapai 80.534,5284 hektar dari luas provinsi Lampung sekitar 35.376,50 kilometer persegi. Ke-41 perusahaan tersebut antara lain tersebar di Mesuji, Menggala, Gunung Sugih, Abung Selatan, Abung Timur, dan Blambangan Umpu.
Dari 9.586.492 jiwa penduduk Lampung, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung pada September 2013 mencapai 1.134.280 jiwa. Sebagian besar penduduk miskin itu berada di pedesaan yakni mencapai 911,53 ribu pada September 2013.
“Warga desa di Lampung menjadi miskin lantaran lahan pertanian mereka habis, diduga diambil berbagai perusahaan perkebunan. Seperti perkebunan sawit,” kata Iswadi Pratama, pimpinan Teater Satu, di Palembang, Minggu (27/04/2014).
No comments: