» » Maaf Saya Tidak Terpilih

Gunawan Handoko*

PRAKTIK politik uang oleh sebagian besar calon anggota legislatif (Caleg) maupun partai politik pada Pemilu Legislatif 9 April 2014 lalu berlangsung lebih vulgar bila di banding Pemilu 2009. 
Bahkan Pemilu 2014 merupakan yang terburuk sepanjang era reformasi. Jika sebelumnya politik uang dilakukan secara diam-diam, sekarang para caleg maupun tim sukses secara terang-terangan mendatangi dan meminta konstituen untuk memilihnya di hari pemungutan suara dengan imbalan tertentu.

Judul tulisan ini untuk menjawab judul tulisan Mario Rustan, di The Jakarta Post, (20/4) lalu yang berjudul "My sincerest apologies, I did not vote." Namun sebagai caleg, saya hanya bisa menjawab dengan pernyataan yang sama. Permintaan maaf saya dengan tulus, saya tidak terpilih. Sebab, menyaksikan fenomena politik uang ini, saya jadi teringat ucapan beberapa sahabat sekitar satu tahun lalu ketika mereka tahu bahwa saya ikut jadi caleg. Bahkan, saya diminta untuk berpikir ulang dengan alasan biaya yang sangat mahal.

Di zaman sekarang ini, kata sahabat saya, untuk menjadi caleg tidak  cukup hanya dengan modal pintar, memiliki integritas dan moral serta rekam jejak yang baik. Semua akan tenggelam dan terlindas oleh politik transaksional.Bahkan para sahabat mengingatkan agar saya jangan terlalu idealis untuk tidak melakukan praktik kotor dengan jual beli suara, baik kepada calon pemilih maupun penyelenggara pemilu.

Masa bodoh dengan celotehan para sahabat, yang pasti saya tetap maju dengan komitmen untuk tidak melakukan politik kotor dalam bentuk apapun. Akhir dari perjuangan ini, saya ingin meraih kemenangan secara terhormat. Begitu sebaliknya, jika harus kalah maka kekalahan yang terhormat pula.

Maka setiap kali bersosialisasi di hadapan masyarakat selalu saya sampaikan bahwa saya tidak akan pernah memberikan uang sebagai bentuk imbalan. Suara rakyat bukan untuk dibeli, tapi diperjuangkan. Media untuk sosialisasi bukan kartu nama, melainkan liflet yang memuat tentang riwayat hidup sejak lahir sampai hari ini disertai dengan riwayat organisasi.

Saya ingin agar masyarakat benar-benar tahu tentang rekam jejak (track record) dan berbagai hal tentang diri saya, bukan sekedar melihat foto dan nama serta nomor urut. Seyogianya para politisi dan calon pemimpin yang merupakan orang-orang terhormat dapat memberikan pendidikan politik dan demokrasi secara benar bagi masyarakat, dengan harapan agar masyarakat dapat memilih calon wakilnya yang diyakini akan berpihak pada kepentingan rakyat.  Jangan sampai muncul istilah membeli kucing dalam karung. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya.

Caleg banyak yang membabi buta, menyebar virus pragmatisme demi meraih kekuasaan. Ironis dan menyedihkan, jika pada Pemilu 2009 politik uang hanya sekitar 10 persen, konon sekarang naik sekitar 33 persen. Ini sebagai bukti ketidaksiapan para Caleg dalam menghadapi kontestasi politik, khususnya terkait dengan kualitas individunya.

Para caleg memiliki kecenderungan takut kalah saat pemilu, selain tidak berani bersaing untuk menghadapi Caleg lain yang lebih berkualitas, baik di internal atau eksternal partai politik. Lebih parah lagi, jika pada Pemilu 2009 kecurangan atau tindak pidana pemilu dilakukan oleh caleg atau parpol, pada pemilu 2014 ini pidana pemilu semakin meluas dan terstruktur yang melibatkan penyelenggara.

Ambil saja contoh, adanya surat suara yang sudah dicoblos, surat suara tertukar, penggelembungan suara maupun pidana pemilu lainnya hanya mungkin dilakukan oleh penyelenggara pemilu itu sendiri mulai dari PPS, PPK, KPUD sampai KPU.Tersingkirnya politikus murni Diberlakukannya Pemilu dengan sistem proporsional terbuka dimaksudkan agar ‘orang-orang baik’ di luar Partai Politik seperti akademisi, kaum intelektual dan mantan birokrat serta kaum cerdik pandai lainnya memiliki kesempatan untuk masuk ke parlemen. Namun pada kenyataannya justru jauh dari harapan. Kelompok ini lebih memilih untuk tetap di luar dan mengontrol kerja parlemen.

Kesempatan tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh para pengusaha dan para medioker yang nota bene tidak tahu tentang kerja-kerja politik. Kelompok ini masuk menjadi caleg dengan mengandalkan uang dan kehadirannya secara langsung telah menggeser politikus murni yang berasal dari internal partai politik. Akibat berkurangnya jumlah politikus murni telah menyebabkan para medioker menjadi kuat karena mereka memiliki kapital lebih besar dan berani untuk berjudi dengan politik.

Dari hasil pleno rekapitulasi suara di tingkat KPU Kabupaten/Kota dapat terlihat bahwa para caleg yang meraih suara terbanyak adalah para medioker, sementara politikus murni banyak tersingkir akibat tidak memiliki kemampuan finansial.

Inilah sisi negatif dari sistem proposional terbuka yang tidak bisa dilihat dengan kacamata kuda. Partai politik yang  diharapkan dapat berfungsi sebagai kawah candradimuka bagi para politisi terpaksa harus membuka diri bagi kader eksternal pada saat penjaringan bakal calon legislatif.

Bagi partai politik yang telah mapan dan memiliki mekanisme yang jelas dalam proses kaderisasi nampaknya sulit untuk ditembus oleh kader ekternal. Maka, wajar jika mereka menyerbu partai politik papan bawah untuk dijadikan batu lompatan guna memenuhi ambisinya menjadi dewan.

Saya memakai istilah batu lompatan karena tidak ada jaminan bahwa setelah terpilih menjadi legislator nanti mereka akan loyal kepada partai politik. Justru yang dikhawatirkan, partai politik tidak bisa mengendalikan legislator medioker ini, karena mereka memiliki segalanya.

Di akhir selesainya hajat Pileg ini saya harus mengakui bahwa benteng legislator tidak dapat di tembus melewati ‘jalan suci’ yang bernama cerdas, pintar dan kredibilitas. Apalagi hanya bermodal moral yang baik, melainkan harus dengan uang.

Meski tidak jadi, saya merasa bangga kepada ribuan pemilih cerdas yang telah memberikan hak suaranya dengan sadar dan ikhlas tanpa imbalan uang dan barang. Namun dengan tulus saya berucap, maaf, saya tidak terpilih. (*)


*) Caleg DPRD Provinsi Dapil Lampung 3 dari Partai Gerindra

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply