Fahd Djibran*
Belum genap seminggu diluncurkan, sejak 3 Januari 2014, buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (KPG dan PDS HB Jassin, 2013) terus melahirkan pro dan kontra. Berbagai ucapan selamat dan apresiasi serta kritik pedas dan cibiran nyinyir terus mengalir kepada buku ini; Meramaikan kembali perdebatan sastra Indonesia.
Ada dua masalah yang rupanya menjadi pangkal polemik. Pertama, legitimasi dan independensi tim 8 yang melakukan “penjurian” terhadap daftar panjang “tokoh sastra Indonesia” yang pada gilirannya menghasilkan daftar pendek “33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh”. Kedua, kontroversi masuknya nama Denny JA, yang dianggap bukan—dan bahkan tidak layak—disebut sebagai sastrawan tetapi masuk kedalam daftar pendek 33 tokoh sastra paling berpengaruh itu. Saya akan memfokuskan tulisan ini pada masalah kedua.
Perlu saya tegaskan sejak awal bahwa tulisan ini sama sekali tidak bermaksud membela pihak manapun. Meskipun saya berteman akrab dengan Denny JA dan berkali-kali bekerjasama dengannya, saya merasa tidak perlu dan tidak punya kapasitas untuk membelanya dalam polemik ini. Tulisan ini hendak menawarkan cara pandang lain, sebuah alternatif, untuk menjadikan polemik ini sebagai tonggak baru untuk kembali meramaikan jagat sastra Indonesia, yang dalam hemat saya, tak bertaji lagi dalam dekade belakangan ini.
Ihwal keterpilihan Denny JA
Jika ditanya apakah saya setuju atau tidak setuju nama Denny JA masuk kedalam daftar 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia, sejujurnya, barangkali saya akan menjawab tidak setuju. Saya punya penilaian dan pertimbangan tersendiri soal ini. Bagi saya, Denny JA punya pengaruh besar bagi dinamika sastra dalam beberapa tahun belakangan ini (meski bisa diperdebatkan), melalui puisi-esai dan berbagai karya derivatifnya yang tak bisa dibilang sedikit dan cukup fenomenal, tetapi memang bukan yang “paling berpengaruh”. Perlu ada alat ukur dan metode uji yang jelas untuk menentukan “pengaruh” ini, seperti dikeluhkan banyak kritikus. Tetapi itu dia masalahnya, karena alat ukur dan metode ujinya tak bisa dipastikan, dan belum ada satu pun individu atau pihak yang berani tampil ke depan untuk memformulasikannya, maka tim 8 punya haknya sendiri untuk memasukkan nama Denny JA kedalam 33 tokoh sastra “pilihan” mereka.
Saya kira, “pilihan” adalah kata yang tepat untuk menyebut 33 tokoh sastra ini. Kita hidup di abad demokrasi dan tim 8 punya haknya sendiri untuk menentukan pilihannya—berdasarkan penilaian dan pertimbangan yang mereka lakukan, tentu saja. Dalam logika demokrasi yang sehat, tak ada satu pun orang atau pihak yang berhak mengintervensi atau menggugat pilihan pihak lainnya, bukan?
Demokrasi mempersilakan berbagai pilihan bertarung dalam sebuah kontestasi yang adil (fair), dan untuk itu pihak-pihak lain juga berhak membuat dan menentukan pilihannya sendiri. Di arena pertarungan gagasan, pilihan-pilihan itu kelak akan menguji dirinya sendiri: Mana yang diterima publik dan mana yang tidak, mana yang bertahan dan mana yang tidak. Survival of the fittest.
Bagi sebagian pihak, argumen ini boleh jadi berkesan klise, tetapi saya yakin ini layak untuk dicoba dan dilakukan. Banyak kritikus yang mengatakan bahwa argumen “Jika tidak setuju dengan kriteria dan keputusan tim 8 maka buatlah daftar tandingannya” adalah argumen murahan yang tidak bertanggung jawab. Tentu saja saya tidak setuju dengan bantahan semacam ini. Dan emosi sebagian pihak yang justru ingin “mengadili tim 8” karena pilihannya, bagi saya adalah sikap dan keputusan yang sangat ketinggalan zaman untuk era ini. Mudah saja untuk menjawabnya kembali, tradisi membuat daftar (list) atau peringkat (rank) adalah tradisi yang mengawali kebangkitan hampir seluruh produk kebudayaan—dalam kaitannya dengan industri budaya—termasuk apa yang terjadi pada dunia sastra Amerika dan Eropa (Roland Berger, Economic Scenario, 2013).
Saya kira jalan ini layak ditempuh. Bayangkan jika tersedia banyak daftar atau peringkat yang merangkum sejumlah nama (dalam hal ini dalam dunia sastra) yang dikeluarkan oleh berbagai orang, berbagai pihak, berbagai lembaga, dan seterusnya, tentu saja hal tersebut akan memperkaya khazanah pengetahuan, khususnya kesusasteraan, di Indonesia. Daftar dan peringkat-peringkat ini bisa dijadikan sebagai media untuk memperkenalkan sastrawan, tokoh sastra, karya sastra atau peristiwa sastra (yang bisa dipahami juga sebagai pendidikan sastra untuk publik), dan bisa juga dijadikan sebagai alat ukur publik (public meter) untuk menguji kualitas, kapabilitas, dan kepantasan seseorang untuk masuk atau tidak masuk kedalam daftar atau peringkat yang telah dibuat.
Dus, meskipun saya tidak sependapat dengan tim 8, saya memilih untuk tak mempermasalahkan “pilihan” mereka. Saya bisa membuat daftar pilihan saya sediri untuk memuaskan diri saya. Dan kini saya memilih sikap untuk menantang Denny JA membuktikan keberpengaruhannya bagi sastra Indonesia.
Pembuktian ke belakang dan pembuktian ke depan
Bagi mereka yang termasuk 33 tokoh sastra paling berpengaruh yang kebetulan (maaf) sudah meninggal dunia, kita bisa memberlakukan pembuktian ke belakang. Artinya, kita lihat kebelakang seberapa besar pengaruh tokoh-tokoh ini maupun karya-karyanya bagi sastra Indonesia. Untuk menyebut contoh, HAMKA dan Arifin C. Noor, misalnya. Kita punya hak untuk mengukur dan menguji seberapa berpengaruh mereka bagi sastra Indonesia selama mereka hidup hingga saat ini. Tetapi bagi nama-nama lainnya, yang masih hidup (dan barangkali masih berkarya), selalu berlaku pembuktian ke depan. Denny JA termasuk di dalam kategori ini. Kita bisa lihat seberapa (akan) berpengaruh dia bagi dunia sastra Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang. Ini yang saya maksud sebagai “skenario menantang Denny JA”.
Mudah saja, kita tantang Denny JA untuk memperlihatkan seberapa besar pengaruhnya. Sejauh ini barangkali ia memang telah melakukan sejumlah hal penting sehingga masuk ke dalam kriteria penilaian tim 8 sebagai tokoh sastra paling berpengaruh, tetapi tak ada salahnya kita menantangnya lagi untuk memperlihatkan “pengaruhnya” pada dunia sastra Indonesia (terutama bagi mereka yang konon belum merasakan dan menyaksikannya, sehingga belakangan mengritik dan menyerangnya habis-habisan).
Saya akan memulai skenario ini. Saya tertarik untuk mengajukan sebuah tantangan: Bisakah Denny JA, dengan kualitas dan kapasitasnya sebagai seorang intelektual dan pengusaha sukses, mengubah dan membawa satra Indonesia ke era yang lebih baik? Saya akan membuat tolok ukurnya, berdasarkan imajinasi saya, misalnya: Bisakah Denny JA mengubah citra sastra Indonesia yang gelap dan suram menjadi lebih terang benderang? Bisakah ia (bersama-sama seluruh elemen di dunia sastra) melakukan sebuah terobosan baru yang menegosiasikan “keagungan” sastra dengan gemerlap panggung industri sehingga sastra Indonesia tidak melulu berkesan miskin dan menjadi lebih digandrungi publik? Bisakan Denny JA menginisiasi satu gerakan (misalnya) penerbitan dan reproduksi karya-karya sastra penting untuk kemajuan sastra dan budaya Indonesia? Bisakah ada acara TV atau lainnya berisi apresiasi sastra yang dikemas secara menarik? Bisakah ia menyelenggarakan perhelatan sastra bergengsi secara berkala? Dan seterusnya.
Saya kira, jika Denny JA menjawab tantangan ini dan bersedia membuktikannya, polemik ini akan memasuki sebuah babak baru sekaligus tonggak sejarah baru bagi perkembangan sastra Indonesia.
Skenario itu!
Ada sebuah kutipan yang saya sukai dari Llyod Alexander, seorang penulis fiksi kenamaan asal Amerika Serikat, “…for man to be worthy of any rank, he must strive first to be a man.” Dan saya ingin menujukkan kalimat itu untuk Denny JA.
Dengan modal sosial dan modal kapital yang dimilikinya saat ini, bukan mustahil bagi Denny JA untuk “mewakafkan” sebagian kekayaannya untuk mengembangkan dan membuat sastra Indonesia kembali bergeliat. Belakangan saya membaca sebuah kritik terhadap Denny JA yang mengatakan bahwa untuk melihat Denny JA kita mesti menggunakan kacamata bisnis, sebab boleh jadi Denny JA juga sedang berbisnis dan berinvestasi dengan di wilayah sastra, boleh jadi kritik itu benar. Maka mari kita mainkan skenario ini.
Di satu sisi, berdasarkan berbagai hal yang dilakukannya termasuk pengakuan pribadinya, Denny JA adalah sosok yang sangat mencintai sastra dan kebudayaan. Dia punya citarasa sastranya sendiri. Dia juga bahkan menulis dan berkarya. Dia punya passion di dunia sastra. Banyak orang mempermasalahkan bahwa Denny JA kebanyakan uang sehingga bisa melakukan apa saja dengan modal kapitalnya untuk “membesarkan” karyanya dan karya-karya lain di sekelilingnya, maka kini mari kita lihat hal tersebut sebagai sebuah peluang. Artinya, jika kita bisa bersama-sama menemukan kesepakatan dan merumuskan formula yang tepat, Denny JA bisa dijadikan kawan yang sangat baik untuk mengembangkan dan memajukan dunia sastra Indonesia—dengan berbagai modal sosial dan kapital yang dimilikinya, tentu saja.
Di sisi lain, para sastrawan banyak mengeluhkan hal-hal yang ternyata ujung pangkalnya adalah tiadanya pihak yang berani berinvestasi dalam sastra: Soal jarang sekali penerbit yang mau menerbitkan buku puisi atau cerpen, soal honor puisi dan cerpen yang pas-pasan dan sering ditunggak koran, soal perhelatan sastra yang sepi sponsor, soal tiadanya peluang untuk mereproduksi sebuah karya sastra menjadi bentuk-bentuk turunan lainnya seperti film, musik, dan lainnya. Bukankah kita melihat sebuah konfigurasi supply and demand yang sempurna? Baiklah, karena ini sedang berbicara soal sastra yang bagi sebagian orang “sangat sakral”, bukankah kita melihat “yin” dan “yang”, yang jika dipertemukan akan mencapai keseimbangan yang sempurna? Bukankah kita melihat peluang-peluang untuk menyelesaikan sejumlah tantangan?
Jika kedua belah pihak bersedia menjawab tantangan ini. Saya bersedia menengahi keduanya. Kita bisa membawa polemik ini ke wilayah baru yang lebih produktif dan mencerahkan.
Tutup
Boleh jadi tulisan ini, seperti barangkali tulisan-tulisan lainnya, akan menjadi bahan ejekan atau muara kenyinyiran baru bagi sebagian orang yang tetap ingin “berperang” atau “berpolemik sampai mati” (mereka yang mungkin menikmati perang bagai “pekerjaan” agar hidup tetap seru dan layak untuk diteruskan). Terserah saja. Saya sama sekali tidak keberatan dengan pandangan apapun yang akan muncul setelah tulisan ini. Saya hanya bermaksud memberikan cara pandang lain untuk melihat masalah ini. Dan di tengah-tengah polemik yang kusut ini, saya melihat cahaya kecil yang sayang sekali jika tidak kita manfaatkan dan tidak kita tempuh. Saya melihat peluang. Saya melihat masa depan. Saya membayangkan dunia sastra kita menuju ke arah yang lebih baik, lebih bisa dihargai, dan menemukan peluang-peluang baru yang bisa memberikan kebaikan bagi banyak pihak.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin berbagi sedikit pengalaman tentang apa yang pernah saya lakukan dengan Denny JA. Sebelum mengenalnya, saya kira Denny JA hanyalah orang kaya yang menghabiskan uangnya untuk narsisme-narsisme yang menjengkelkan. Saya dengar tentang isu pembelian akun twitter, kenyinyiran tentang hadiah pulsa dan iPad setiap bulan untuk follower-folower-nya, even-even yang menghabiskan dana ratusan juta yang digelarnya, karya-karya budaya yang menghabiskan dana miliaran. Dulu saya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya dicari dan ingin dicapai seorang Denny JA? Saya tak bisa memahaminya.
Hingga pada tahun 2012, melalui sejumlah kebetulan, kami dipertemukan dalam sebuah diskusi santai. Saat itu saya kebetulan mengemukakan gagasan saya tentang sebuah ruang digital tempat banyak orang menemukan pengetahuan dan bisa mempertemukan karya-karya mereka di Internet—untuk kemudian menjadi semacam medium apresiasi yang menumbuhkan semangat berkarya. Tanpa diduga, Denny JA juga memiliki visi yang sama, di samping dia juga memiliki mimpi besar ingin memindahkan perpustakaan konvensional seluruhnya ke ruang digital. Pada awalnya saya ragu untuk bekerjasama dengan Denny JA, karena orang pasti akan mengira bahwa ini soal transaksi uang dan gagasan. That’s it. Dan apakah Denny JA sedang memanfaatkan situasi ini? Tetapi waktu membuktikan hal lainnya. Lama berdiskusi dan bergaul dengannya, saya dengan senang hati harus mengubah pandangan saya: Bagi saya Denny JA adalah seorang visioner-risk-taker yang punya gagasan besar tentang banyak hal—juga punya kapasitas dan kapital untuk mengeksekusi hampir semua gagasan-gagasannya.
Setahun kami mempertukarkan gagasan dan mimpi-mimpi kami melalui berbagai perdebatan dan diskusi. Di akhir tahun, kami sama-sama meluncurkan inspirasi.co, sebuah situs perpustakaan digital yang sedang disiapkan untuk menjadi tempat banyak orang mempertukarkan karya-karya mereka dan menciptakan atmosfer apresiasi di dalamnya—tentu saja agar tumbuh banyak karya-karya lainnya. Situs itu juga mengoleksi berbagai puncak-puncak karya budaya yang pernah dibuat manusia. Situs itu belum selesai sepenuhnya, terus diperbaiki dan dikembangkan, seperti saya dan Denny JA yakin bahwa sebuah mimpi yang dianggap selesai selalu merupakan mimpi yang buruk, dan saya tahu ini sebuah perjalanan panjang. Tapi melalui perjalanan ini saya jadi melihat Denny JA dari sisi lainnya: Dia bukan seperti yang saya kira sebelumnya dan kami bisa bekerja sama dengan baik untuk sesuatu yang besar dan berorientasi kedepan. Dia penyuka dan penjuang gagasan.
Sudahlah, saya tak ingin memujinya. Dengan situasi sekarang, saya tahu saya akan jadi bahan ejekan baru karena memujinya. Maka mari kita tutup catatan ini—
Menyaksikan perdebatan dan polemik yang sekarang terjadi, terkait Denny JA, saya merasa perlu menuliskan “tantangan” ini. Saya tahu Denny JA akan menjawabnya. Haknya untuk menyatakan “ya” atau “tidak” bagi tantangan ini. Tapi saya punya feeling bahwa ia akan mengatakan “ya”. Jika itu benar terjadi, maka barangkali tantangan ini juga berlaku untuk pihak lain yang menentangnya: Beranikah mereka menerima dan menjawab tantangan ini? Siapkah mereka jika ditantang memformulasikan sesuatu yang nyata untuk masa depan sastra Indonesia dan melakukannya bersama-sama?
Saya akan menunggu jawaban dari semuanya. Saran saya, bagi para pengritik, tetaplah menjadi pengritik yang baik, tapi jangan tergelincir menjadi para pencibir. Tak ada musuh selamanya, tak ada teman selamanya. Mungkin suatu saat kalian, kita, akan berteman. Bahkan sangat akrab. Mungkin.
Tabik!
* Peminat sastra tinggal di Melbourne, Australia
Sumber: https://www.facebook.com/notes/fahd-djibran/skenario-menantang-denny-ja/10152118129067278
Home
»
Heboh 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
»
Heboh Sastra
»
Heboh Sastra 2014
»
Kontroversi Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
» Skenario Menantang Denny JA
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kopi Pagi
Social Icons
Popular Posts
- Dayang Rindu, Cerita Rakyat yang Terlupakan
- "Showroom Sapi" di Lampung Tengah: Kemitraan Wujudkan Mimpi Parjono
- Van der Tuuk, Pahlawan Bahasa (Lampung) yang Dilupakan
- Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Jamal D. Rahman: "Reaksinya Terlalu Berlebihan.."
- Gua Maria Padang Bulan, "Lourdes Van Lampung"
- Panjang, Dermaga Penyeberangan Pertama di Lampung
- Menjadi Pelatih Pelawak
- Pagar Dewa dan Cerita-Cerita Lain
- Sejarah Transmigrasi di Lampung: Mereka Datang dari Bagelen
- Saya Sudah Kembalikan Honor Puisi Esai dengan Permintaan Maaf
No comments: