Slamet Samsoerizal*
Pendidikan yang menekankan pada aspek kreatif dan inovatif menjadi tren dunia. Mengapa? Pada abad XII, kemampuan yang diperlukan adalah kemampuan hidup berdampingan dan bekerja dalam tim, berpikir kritis, inovatif, dan inklusif. Itu sebabnya, keterkaitan proses pendidikan dan pembelajaran dengan kehidupan menjadi fokus pertemuan World Innovation Summit for Education (WISE) kelima, hari terakhir 31 Oktober 2013 di Doha Qatar.
Bagaimana kita menyikapinya?
Peranan pendidikan dalam pembangunan mencuatkan dua paradigma yang menjadi landas tumpu para decision maker dalam pengembangan kebijakan pendidikan. Kedua paradigma tersebut adalah Paradigma Fungsional dan Sosialisasi.
Paradigma Fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan yang dialami masyarakat, disebabkan mereka hanya memiliki sedikit jumlah penduduk yang berpengetahuan, berkemampuan dan bersikap modern. Lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan.
Paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan dalam tiga hal. Pertama, peranan pendidikan mampu mengembangkan kompetensi individu. Kedua, pendidikan memungkinkan kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas.
Ketiga, melalui pendidikan dapat meningkatkan kemampuan warga masyarakat. Semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Itu sebabnya, sesuai paradigma ini pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, jika sebuah negara menginginkan kemajuan.
Kedua paradigma tersebut berpengaruh besar dalam dunia pendidikan. Ini tampak dengan adanya paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistis. Penekanan paradigma ini pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai sesuatu yang dapat dipilah-pilah. Bagian-bagian yang dipilah tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung.
Hal tersebut mengakibatkan pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan. Alih-alih yang kita temukan dalam wujud: kurikulum, Kompetensi Dasar, Standar Kompetensi, materi pokok, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan.
Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, peringkat, rerata nilai, kepatuhan, ijazah atau Surat Tanda Tamat Belajar.
Paradigma pendidikan model IPO (Input-Proses-Output), memandang sekolah sebagai proses produksi. Masing-masing warga sekolah punya peran tersendiri. Siswa dianggap sebagai raw-input dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumentalinput.
Logika yang disampaikan, apabila raw-input dan instrumental input baik, maka prosesnya pun baik pula. Dengan demikian, akan baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan dari asumsi ini, adalah dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik.
Perbaikannya dapat bersifat pilih-pilah. Bagian yang dianggap tidak bagus itulah yang akan diperbaiki. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Bagaimana implikasinya?
Sistem dan praktik pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut, tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.
Selain itu, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai penggerak dan loko pembangunan (engine of growth). Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan inti kekuatan pembangunan yakni invention dan innovation. Strategi yang ditempuh, pendidikan seyogianya diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan.
Ini berarti terpisah dan menempati teratas dari bidang-bidang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi acuan dan penentu perkembangan bidang yang lain. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan diuji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.
Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut, bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam. Reformasi di bidang pendidikan nasional sistem persekolahan kita secara mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.
Hal yang belum banyak disadari masyarakat adalah sistem persekolahan kita pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, yang lebih berorientasi pada kemampuan IQ semata. Indikator yang dapat digunakan antara lain: bobot mata pelajaran yang diarahkan kepada pengembangan dimensi akademik siswa. Jadi, mereka lebih disiapkan memasuki ke perguruan tinggi atau hanya untuk para siswa yang memiliki potensi akademik baik.
Padahal, sebagaimana di Amerika Serikat yang mendamba melalui pendidikan dapat mengangkat derajatmya baik bagi negara maupun gengsi di mancanegara , akhirnya mengambil hikmah lain. Amerika sukses mengembangkan iptek. Selain itu, kualitas perguruan-perguruan tinggi Amerika menjadi terunggul di dunia. Sukses dua hal itu ternyata tidak signifikan dengan penyiapan masyarakat terdidiknya dalam menghadapi persaingan global.
Ekonom dari MIT, Lester Thurow mengritik sistem pendidikan yang dikembangkan Amerika. Strategi tersebut dianggap “keliru” dalam menyikapi persaingan global. Menurutnya, strategi ini lebih mementingkan bagaimana menyiapkan 10% siswa terpandai dari keseluruhan penduduk Amerika. Mengapa? Sebab, mereka yang berhasil adalah siswa yang memiliki potensi akademik tinggi atau ber-IQ di atas 120.
Selebihnya adalah siswa yang tergolong cerdas di bidang non-akademis. Kualitas produksi barang dan jasa pun sangat bergantung pada segmen mayoritas ini. Pertanyaannya adalah apakah mereka telah dikondisikan sebagai pekerja profesional sehingga dapat bekerja secara profesional pula?
Bagaimana dengan Cina yang belakangan diperhitungkan dunia? Berkat pertumbuhan ekonomi yang stabil, Cina mampu menggeser Jepang sebagai negara ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Memulai pertumbuhan ekonomi tinggi setelah menerapkan ekonomi terbuka. Sukses tersebut tak lepas dari kebijakan pemerintahnya dalam mengemas sistem pendidikan.
Sepenggal kisah menarik ini perlu juga diungkap tentang sukses mengemas pendidikan ala Cina. Sepeninggal Mao Zedong (1976) keadaan Cina memrihatinkan. Gerakan Revolusi Kebudayaan dihentikan. Embargo perdagangan Amerika Serikat memaksa Cina menjalankan politik isolasi yang memiskinkan negeri itu. Sekolah dan perguruan tinggi dinon-aktifkan. Para intelektual dikirim ke komune-komune dan pabrik. Para pelajar dijadikan Tentara Merah.
Pengganti berikutnya, Deng Xiao Ping mencanangkan program Gerakan Sige Xiandaihua atau empat modernisasi yakni: pertanian, industri, sains dan teknologi, dan modernisasi pertahanan. Pada tahun 1978 terjadi perubahan radikal dalam sistem pendidikan Cina. Deng mengawali pembenahan pendidikan berjenjang 6-3-3 yakni SD (6 tahun), SMP (3 tahun), dan SMA (3 tahun). Kebijakan berikutnya, Deng mewajibkan setiap orang tua menyekolahkan anak-anak mereka mulai jenjang SD hingga menyelesaikan SMP. Untuk itu, pemerintah menggratiskan biaya pendidikan.
Selain itu, pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi generasi muda yang ingin melanjutkan ke pendidikan tinggi. Ratusan kampus baru, dibangun. Berdasarkan catatan, pada 2004 tercatat 2500 akademi dan universitas yang setiap tahun mampu menampung 20 juta mahasiswa baru. Sejak 1978, siswa-siswa terpilih dikirim pula ke universitas-universitas terbaik di luar negeri. Setelah meraih gelar doktor dan professor, mereka membangun Cina dengan mengajar di kampus-kampus yang berdiri di Cina.
Konsekuensi logis akibat kebijakannya, anggaran pendidikan meningkat tiap tahun. Sebagai contoh apabila pada 1978 anggaran pendidikan mencapai 9, 8 milyar Yuan, maka pada 1993 mencapai 106 milyar Yuan, dan pad 2010 mencapai angka 215 milyar.
Kita Lemah?
Mencontek dari pengalaman beberapa negara lain, mengapa kita masih menemukan kelemahan disana-sini? Mengapa SDM kita masih rendah? Dalam sebuah diskusi terbatas, kami menyampaikan hipotesis bahwa penyebab lemahnya kualitas SDM adalah para pemimpin kita belum mempunyai visi dan strategi jitu dalam membawa bangsa ke depan alih-alih Cina yang lepas terpuruk bisa bangkit lantaran kebijakan pendidikan yang mumpuni.
Jerman dan Jepang juga demikian. Kedua negara ini mempunyai strategi utama untuk mencetak tenaga kerja yang handal. Strateginya adalah dengan mendidik 60% penduduk terbawah dengan membekali pendidikan keterampilan. Di sisi lain, kedua negara tersebut menyadari perlunya mewadahi golongan pandai agar mereka dapat mendongkrak iptek di berbagai lini kehidupan bangsanya.
Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang dianut oleh para penentu kebijakan kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis.Mengapa? Pertama, tidak dapat ditemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Contoh yang dilakukan Cina dan Jepang dalam hal ini dapat dikatakan relevan.
Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Namun, dalam kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru melahirkan de-skilledprocess, yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
Kedua, paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan politik.
Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.
Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah terbukti.Upah dan produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate of return dan pendidikan di negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.
Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas.
Yuk Berbenah!
Sistem pendidikan kita yang berorientasi pada ke-holistik-an sebenarnya telah digagas para pendiri bangsa yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”.Oleh sebab itu, fungsi terpenting pendidikan adalah menghasilkan manusia yang terintegrasi, yang mampu menyatu dengan kehidupan sebagai satu kesatuan.
Ini sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana termuat pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II pasal 3: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Maka, pengembangan yang perlu dipertajam dalam menyiapkan keholistikan adalah pendidikan hendaknya dapat menyiapkan manusia yang siap menghadapi tantangan zaman dan menyadari kejatidiriannya sebagai mahluk ciptaan-Nya.
Potensi yang perlu diperhatikan mencakup: aspek spiritual, akademik, kreativitas, fisik, sosial, emosi. Aspek spiritual bermakna mampu memaknai hakikat hidup dan kehidupan sebagai mahluk Ciptaan-Nya. Dengan demikian, diharapkan ia mampu pula dengan takzim menghargai secara horisontal- sesama manusia- dan secara vertikal dengan Sang Khalik.
Aspek akademik dimaksudkan agar mereka dapat berpikir logis, berbahasa, dan menulis dengan baik. Secara sederhana dapat digambarkan, dengan berpikir logis mereka dapat mengembangkan secara kreatif keilmuwanan yang disandangnya.
Terampil berbahasa baik lisan maupun tulisan merupakan tuntutan bagi manusia modern. Ketika seseorang berpidato, berdiskusi, berseminar, atau sedang diwawancarai ketika melamar pekerjaan tentu dituntut dapat mengemukakan gagasan secara lisan. Gagasan yang disampaikan pun tidak sembarang ungkap. Dalam hal menulis, kita mengharapkan dengan banyaknya tiap tahun perguruan tinggi meluluskan sarjana, master, dan doktor (S1, S2, dan S3) diharapkan akan sebanyak itu pula banjir karya ilmiah. Namun, apa yang terjadi? Hanya 3 dari 100 mahasiswa yang berniat menulis. Karya ilmiah mulai dari makalah, skripsi, tesis, disertasi, dan jurnal-jurnal penelitian hanya menjadi koleksi bisu gagap menyapa keseharian.
Aspek Kreativitas, yang mencakup ekspresi diri dalam berbagai kegiatan produktif seperti seni musik dan teater; agar dicarikan solusi yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Aspek fisik mencakup perkembangan optimal aspek motorik halus dan kasar, menjaga stamina dan kesehatan.
Aspek sosial menyangkut belajar menyenangi pekerjaan, bekerja dalam tim, pandai bergaul, kepedulian tentang masalah sosial, bertanggung jawab, menghormati orang lain, mengerti akan perbedaan budaya, dan kebiasaan orang lain, mematuhi segala peraturan yang berlaku dan berjiwa sosial. Aspek emosi, menyangkut aspek kesehatan jiwa, mampu mengendalikan stress, mengontrol diri dari penguatan negatif, percaya diri, empati, dan berani mengambil risiko.
Kesiapan yang perlu dilakukan pemerintah, melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, antara lain mengemas kembali rencana strategis pembangunan di bidang pendidikan secara utuh. Artinya, pengemasan kurikulum hendaknya ditempatkan pada konteks dan setting kepentingan nasional maupun global. Penyiapan yang matang ke masyarakat luas juga sangat penting. Jangan sampai terjadi sebuah kebijakan yang bagus tidak dipahami secara baik oleh masyarakat. ***
______________
*) Slamet Samsoerizal peneliti pada Pusat Kaji Darindo
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kopi Pagi
Social Icons
Popular Posts
- Dayang Rindu, Cerita Rakyat yang Terlupakan
- "Showroom Sapi" di Lampung Tengah: Kemitraan Wujudkan Mimpi Parjono
- Van der Tuuk, Pahlawan Bahasa (Lampung) yang Dilupakan
- Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Jamal D. Rahman: "Reaksinya Terlalu Berlebihan.."
- Gua Maria Padang Bulan, "Lourdes Van Lampung"
- Panjang, Dermaga Penyeberangan Pertama di Lampung
- Menjadi Pelatih Pelawak
- Pagar Dewa dan Cerita-Cerita Lain
- Sejarah Transmigrasi di Lampung: Mereka Datang dari Bagelen
- Saya Sudah Kembalikan Honor Puisi Esai dengan Permintaan Maaf
No comments: