» » » » Mengelola Kebudayaan* (1)



Ignas Kleden

Dalam pengertian yang sangat umum, tiap kebudayaan mengandung tiga sistem yang saling berhubungan satu sama lain, tetapi patut dibedakan dalam analisa, yaitu sistem pengetahuan dan kepercayaan, sistem nilai dan sistem makna, dan sistem perilaku sebagai perwujudan pengetahuan dan pengejawantahan nilai yang terdapat dalam kebudayaan.

Sistem pengetahuan dan kepercayaan memberikan orientasi dan kerangka bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang dunia hidupnya dan memberi makna kepadanya. Berdasarkan sistem pengetahuan itu orang bersangkutan akan melihat dunia hidunya sebagai sesuatu yang riil atau maya, bermakna atau tanpa makna, sesuatu yang sebaiknya diterima atau ditolak, tempat orang hanya mampir sebentar untuk minum atau tempat yang patut diolah dan dikembangkan menjadi layak untuk dihuni dan dinikmati. Kaum materialis misalnya memandang dunia tidak lebih dari sekedar materi, tetapi kalangan idealis menolak pandangan itu dalam berbagai variasinya.

Sistem nilai dalam kebudayaan menerjemahkan pengetahuan dan kepercayaan menjadi nilai. Dalam sistem nilai dikonsepsikan apa yang dianggap baik atau buruk, indah atau tidak indah, halus atau kasar, sopan atau tidak sopan, patut atau tak patut dan wajar atau tak wajar. Suatu kelompok budaya mungkin menganggap berdiam diri dalam suatu pertemuan adalah hal yang terpuji, sementara kelompok budaya lainnya menganggap bahwa turut berbicara dan menyatakan pendapat dalam pertemuan adalah tanda seseorang berpartisipasi dan menghormati orang lain yang hadir dalam pertemuan itu. Suatu kelompok budaya mungkin menganggap makan dengan menghabiskan segala yang ada dalam piring adalah hal yang terpuji dan tahu berterima kasih atas rezeki yang diterima, sementara kelompok lain menganggap, menghabiskan makanan dalam piring adalah hal yang kurang patut karena memberi kesan orang bersangkutan amat kelaparan, dan sikap yang patut adalah menyisakan sedikit makanan di piring untuk dibuang.

Masih dalam hubungan dengan makanan, sistem pengetahuan dan kepercayaan menentuka apa yang boleh dimakan dan tak boleh dimakan, tetapi sistem nilai akan memberi status sosial kepada makanan yang disajikan. Sayur-mayur adalah makanan yang baik untuk kesehatan badan. Namun demikian, di berbagai tempat di NTT orang tak pernah menyajikan sayuran dalam pesta pernikahan atau pesta adat lainnya dan hanya menyajikan daging. Sayur dianggap menu sehari-hari yang tak pantas disajikan sebagai makanan pesta.

Ada hal yang sangat mengesankan saya dari pengalaman tinggal dan hidup di Jerman selama 8 tahun. Kalau kita mengundang tetangga untuk minum teh pada sore hari dan menyiapkan  beberapa jenis kue di meja, maka para tamu akan bertanya yang mana di antara kue-kue itu yang dibuat sendiri.

Kalau ada kue yang dibuat sendiri di antara kue-kue lain yang dibeli di toko, maka tamu akan memakan terlebih dahulu kue yang kita buat dan memujinya setinggi langit walaupun kita tahu kue toko lebih enak. Perilaku ini menunjuk suatu sistem nilai yang lebih menghargai apa yang dibuat sendiri untuk menghormati tamu yang datang, dengan melakukan lebih banyak kerjaan daripada hanya pergi ke toko kue dan membelinya. Ini agak terbalik dengan keadaan di tanah air kita, di mana orang amat mempromosi barang dan makanan impor yang dianggap lebih baik dan lebih berkualitas dari makanan yang diproduksi dalam negeri.

Dalam arti itu tiap kebudayaan sudah mengatur dan mengorganisasikan perilaku anggota kelompok budayanya, dengan memberikan sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, serta sistem nilai dan makna kepada partisipan kebudayaan. Hidup dalam kebudayaan berarti bertindak menurut kerangka pengetahuan dan mematuhi perangkat nilai dalam kebudayaan tersebut.

Perubahan kebudayaan terjadi kalau sistem pengetahuan dan sistem kepercayaan mengalami pergeseran, dan sistem nilai yang ada terdesak oleh nilai-nilai lain yang kemudian menggeser kedudukan nilai-nilai lama. Sampai tahun 1980-an banyak rumah di Jakarta dapat mengalami kehidupan yang tenang tanpa adanya telepon di rumah. Akan tetapi saat ini, bukan saja di kota, tetapi juga di desa-desa orang hampir tak dapat hidup tenang kalau tidak membawa telepon genggam dalam kantong atau dalam tas.

Demikian pun ketika pesawat televisi masih langka seperti yang terjadi di Jakarta pada tahun 1970-an, maka adanya televisi di sebuah rumah dapat menjadi kesempatan para tetangga berkumpul di sekitar pesawat televisi pada waktu malam, untuk menonton pertandingan sepak bola, pertandingan tinju dan bulutangkis, melihat penampilan seorang penyayi pujaan, mendengar pidato presiden atau menonton sebuah acara lawakan di televisi. Adanya televisi pada waktu itu menyebabkan orang berkumpul dan melakukan kegiatan bersama yang kolektif sifatnya.

Keadaan sekarang sudah berlainan. Tiap keluarga dengan mudah membeli sebuah pesawat televisi dengan ukuran mana pun, sementara keluarga yang lebih mampu dapat membeli beberapa televisi untuk masing-masing penghuni rumah, dengan akibat bahwa televisi cenderung memisahkan satu anggota keluarga dari anggota lainnya, dan masingmasing menjadi lebih individualistis. Sifat individualistis itu sekarang semakin menguat dengan adanya sarana-sarana komunikasi elektronik seperti telepon genggam dan Ipad dan internet, yang memungkinkan seseorang dengan mudah berkomunikasi setiap saat dengan orang lain di tempat yang jauh sambil tidak mempedulikan orang yang duduk di sampingnya.Relasi virtual menjadi intens dan relasi sosial menjadi lemah.  

Selanjutnya

*Position Paper, disampaikan pada Sidang Pleno Kongres Kebudayaan Indonesia, di Yogyakarta, 10 Oktober 2013

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply