Oyos Saroso H.N.
Ketikamemberitakan pagar pembatas di Jl. Radin Intan Bandarlampung di dekat pusat perbelanjaan Ramayana, misalnya, sebuah koran lokal menulis: Senada diungkapkan Wakil Ketua Komisi C Syarif Hidayat. Menurutnya, hingga kemarin neon boks yang digadang-gadang akan mempercantik wajah Bandarlampung hanya onggokan tiang tanpa realisasi. ’’Jangan tanggung-tanggung,” sergah kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Saya tidak begitu yakin apakah ketika diwawancarai Syarief Hidayat mengucapkan kalimat itu dengan nada marah (menyergah) atau tidak. Yang pasti, di sekujur berita itu yang muncul adalah nada kemarahan.
Menyergah dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti mengejutkan dengan suara keras (membentak, menghentamkan kaki, dsb). Dengan begitu, pemakaian kata sergah di atas tidak tepat.
Selain sergah, kata berang juga sering dipakai wartawan untuk menulis komentar seorang pejabat yang kesal terhadap sesuatu kebijakan atau keadaan. Pembaca tidak tahu persisnya ekspresi raut muka narasumber ketika menyergah dan berang. Namun, dari isi berita sebenarnya bisa diyakini narasumber yang disebut wartawan sebagai menyergah dan berang itu tidak marah-marah dengan nada suara tinggi. Mungkin narasumber menjawab pertanyaan sambil tersenyum atau tertatawa terkekeh-kekeh.
Selain kata sergah—biasanya dirangkai untuk sebuah kutipan langsung—ketidaktepatan juga sering terjadi pada pemakaian kata kilah, tukas, kata, dan ujar. Tanpa lebih jauh memahami apa arti kata-kata itu (dan malas membuka kamus), wartawan sering dengan seenaknya sendiri mempertukarkan kata-kata kilah, kata, dan ujar.
Berkata sering dianggap selalu memiliki pengertian yang sama dengan berujar dan berkilah, sehingga katanya sering disamakan dengan ujarnya dan kilahnya. Sementara kata tukas sering dianggap sama artinya dengan cetus. Untuk menulis keterangan bagaimana narasumber atau seseorang menjawab atau menanggapi dengan cepat wartawan sering memakai kata tukasnya atau cetusnya. Misalnya: “Saya akan segera perintahkan staf saya menyelesaikan kasus itu,” tukasnya.
Untuk kasus kata tukas, agaknya banyak orang terpengaruh oleh Bahasa Minangkabau. Dalam Bahasa Minangkabau, kata tukas berarti ‘mengulangi lagi ‘ (permintaan, jawaban, panggilan, dsb.). Sementara menurut KUBI dan KBBI, kata tukas berarti ‘menuduh tidak dengan alasan yang cukup’. Dalam pemakaian sehari-hari, kata tukas sering dipakai secara tidak tepat dan dianggap berarti ‘menjawab dengan cepat’.
Pemakaian kata yang tidak tepat bukan saja akan menimbulkan keganjilan, tetapi maknanya juga akan menjadi bias bahkan menimbulkan salah tafsir dan terasa sumbang di telinga. Kesalahan pemakaian kata yang menimbulkan nada sumbang saat terdengar telinga adalah ketika penyiar televisi Fessy Alwi melaporkan acara pemakaian mantan Presiden Soeharto.
“Mbak Tutut berbicara tertatih-tatih,” kata Fessy Alwi saat menyampaikan laporan langsung.
Orang bisa paham kalau anak kecil jalannya tertatih-tatih, kalau menangis tersedu-sedu. Kita juga tahu kalau orang yang bicara tersendat-sendat disebut bicara terbata-bata. Nah, ketika Mbak Tutut menyampaikan sambutan sambil menangis dan kalimat yang terbata-bata, tidak pas kalau disebut berbicara tertatih-tatih. Lebih pas kalau disebut Mbak Tutut memberikan sambutan dengan terbata-bata.
Kita bisa sepakat bahwa pilihan ragam bahasa jurnalistik berdasarkan pada kesadaran terbatasnya ruangan dan waktu. Salah satu sifat dasar jurnalisme menghendaki kemampuan komunikasi cepat dalam ruangan serta waktu yang terbatas. Itulah sebabnya jurnalis harus efisien bahasanya. Efisiensi bahasa maksudnya adalah agar lebih hemat ruang dan waktu, tetapi bahasanya tetap jelas.
Selain ekonomi kata, sangat disarankan seorang jurnalis (dan para editor) untuk ringan tangan membuka kamus. Ya, meskipun pintar dan hebat, jurnalis mudah tergelincir oleh kata-katanya sendiri kalau tidak tahu arti sebuah kata. ***
No comments: