Tanda Kehancuran Seni di Tangan Para Sarjana
Herry Dim
Saya, sejak dulu, tak percaya seni akan berjalan di tangan tunggal sarjana seni. Berbeda dengan bidang keilmuan lain yang bisa (bahkan seharusnya) ditempuh dengan metoda akademik, sementara seni --baik untuk menjadi ilmu dan apalagi untuk menjadi karya seni-- niscaya mesti berdasarkan prinsip terjalani.
Astronomi, misalnya, lahir dan menjadi ilmu bukan karena orang per orang sarjananya pernah tiba di berbagai bimasakti di jagat raya, melainkan ditempuh melalui tabungan akademik serta dukungan teknologi. Demikian halnya sejarah dan/atau antropologi kebudayaan, itu lahir sebagai ilmu setelah berabad-abad suatu kebudayaan berlangsung.
Di sisi lainnya, ilmu atau pengetahuan itu sangat mungkin mengalami percepatan; sementara seni cenderung mesti berjalan dengan prinsip alamiahnya. Gambaran sederhananya sebagai berikut:
Katakanlah normalnya daya tahan seseorang baca buku itu sebanyak empat halaman per hari. Demi percepatan ilmu, ia masih mungkin dipacu hingga bisa baca sepuluh halaman per hari. Dengan kemampuan barunya itu, maka ia bisa menyelesaikan baca buku "Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia" (Claire Holt) yang setebal 534 halaman itu menjadi hanya 53 hari saja.
Bayangkan, dengan 53 hari seseorang bisa mendapatkan pengetahuan tentang seni sejak masa pra-sejarah hingga awal modern. Masa tentang peradaban dan kebudayaan manusia sepanjang 5.000 tahun itu bisa diketahui dalam waktu kurang dari dua bulan saja.
Sementara dalam hal menjalani seni dalam arti dengan kelengkapan menjadi faham tentang seni, mungkinkah bisa ditempuh dalam dua bulan?
Tentu, jawabnya adalah tidak mungkin. Bahkan hampir selalu terbukti bahwa seseorang itu menjalani kehidupan dan pemahaman tentang seninya itu sepanjang usia dan/atau berjalan hingga kematiannya.
**
Tapi kemudian di Indonesia. Seluruh pranata seni, itu diserahkan atau dikuasakan kepada gelombang baru yang dalam 20 tahun terakhir ini seperti air bah. Mereka itu adalah para sarjana dengan imbuhan S1, S2, S3 hingga gelar-gelar profesor.
Merekalah yang kini menjadi birokrat-birokrat seni di tingkat kecamatan hingga di pusat kekuasaan di Jakarta.
Para sarjana ini, tentu, tak bisa disalahkan keberadaannya. Mereka tak lain merupakan bagian dari sistem negara yang menetapkan pola rekruitmen hingga hierarki kepegawaian itu berdasarkan ijazah kesarjanaan. Maka dalam 20 tahun terakhir ini tak ada lagi tempat bagi para Empu atau sejatinya pakar seni.
Akibat kekeliruan sistem negara yang menempatkan gelar akademik bidang seni sebagai pusat kebenaran, maka muncul keangkuhan baru, feodalisme baru, bahkan kegilaan baru untuk menjadi sarjana seni.
Tulisan ini tak bermaksud ambil posisi anti-akademi. Tidak. Sebab penulis sendiri termasuk yang tak henti-henti mendorong siapapun agar sekolah (seni). Tapi, dengan tulisan ini, hendak mengingatkan bahwa khusus untuk bidang seni itu perlu menempatkan 'jalan alamiah' yang justru seharusnya menjadi rujukan utama dunia akademik.
Jika posisi kebijakannya terbalik, bukan tidak mungkin perjalanan seni di Indonesia ini akan konyol bahkan sangat mungkin menuju kehancuran.
Sebagai penutup kiranya cukuplah dengan mengingatkan bahwa sekolah itu tak mungkin menciptakan Asep Sunandar Sunarya, Mimi Rasinah, hingga Gugum Gumbira.
Pada kesempatan lain bisa dibuktikan pula bahwa seniman-seniman yang "menjadi" tapi sekaligus nenempuh pendidikan formal, itu umumnya tumbuh di luar bangku sekolah dan masa tumbuhnya itu jauh lebih panjang jika dibanding dengan masanya sekolah.
Tolong pula diperhatikan 'alarm' Herbert Marcuce bahwa manakala kekuasaan (birokrasi) selingkuh dengan pedagang (dalam hal ini tepatnya calo) seni, itu tandanya sebuah peradaban/kebudayaan akan berakhir.
Selamatkan seni Indonesia.***
Herry Dim adalah perupa asal Bandung, Jawa Barat. Pernah menjadi illustrator dan desain grafis Majalah Sastra Horison. Herry Dim adalah CEO dan Founder di Studio Pohaci sejak 1994
No comments: