» » » Puisi-Puisi Fatih Kudus Jaelani


Ketakutan
: Kiki Sulistyo

jangan-jangan aku sedang cemburu
saat dia membuka pintu
memberi angin leluasa
menaiki lantai kedua

jangan-jangan di lantai kedua ada hujan
lebih besar dari ketakutan
di halaman lampu padam
dan langit sangat diam

jangan-jangan akan datang sebuah kabar
dia lupa pada kemarin senja di taman kota
dia lupa pada langit nirmala
dengan seorang hamba yang tergila-gila pada luka

jangan-jangan ini hanya ketakutan
tapi kenyataannya akan datang


Lombok, 2013





Pemanggil Burung

bagi pemanggil burung
keheningan senja adalah segalanya
di langit paling barat
ketika angin terbang
bersama nirmala

matanya seperti memanggul panah
ke sayap-sayap burung
ke awan-awan cemas
dilampiaskannya penantian
kepada waktu dan sangkar bambu
dipeliharanya udara
dibesarkannya suara

burung pagi dan siang
adalah perpisahannya dengan malam
ia tetap memanah langit
dengan bahasa bintang
dengan mata paling sempit
mencari nada paling lagu
dari perempuan yang berkicau
sepanjang sendu


2013




Cermin
bila kita membalik cermin
akan hilang kedua mata
dan sebuah kesadaran berkata
di mana wajah paling kosong
di mana pandangan pertama

lalu bagaimana di dalam cermin
bukankah di sana ada kata-kata
di sana menjelmanya diri
dan cahaya tak pernah padam

ah, tak ada yang menyangkal kenyataan
mata tak bercahaya tanpa cermin
sebab cermin adalah tempat berteduh
bagi penunggu malam di ujung subuh


Lombok, 2013



Kedatangan Kronos

bila ia datang bersama hujan
hilangkan kebencianmu
mungkin dialah dendam lelaki
gelombang di bawah rinjani.
mungkin dialah sebuah janji
yang bertahun-tahun diingkari

bila kau menatapnya
linangkanlah air mata
tak ada petir dari air
tak ada letusan dari keindahan
biarkanlah saudaramu dalam perutnya
ajarkan pada awan hitam
ia akan lenyap selepas hujan

bukakan pintu untuknya, senantiasa
berikan tempat duduk dari kayu
agar ia tahu, pohon telah tumbuh sendiri
dengan janji kepada air
kesetiaan kepada hutan

tuangkan secangkir nektar abadi dilidahnya
biarkan ia berkaca pada urat leher
janji tak pernah tegak lurus dengan matahari

ajarkan pula pada kepulangannya
jangan berkata-kata dengan mata buta
lihatlah! anak-anak mencintai pelangi
mereka kehilangan ayahnya

Lombok, 2013



Kepada Hestia

apa yang terjadi bila kau tak datang malam ini.
aku tumbuh dalam keluarga kecil yang dingin,
hanya ibu dan seorang kakak perempuan
mereka berdiri di ambang pintu
seperti menyimpan keraguan
pergi atau kembali,
menjadi hujan yang abadi

sedangkan aku tak sanggup membangun perapian
aku tak biasa dengan perkataan tetangga, Hestia
mengapa musim kemarau tak juga datang
bila dingin tak sepantasnya menemani mimpi yang indah
mimpi keluarga sakinah, seperti janji ayahku
ketika meminang perempuan paling lugu

bila kau bersedia, duduklah malam ini.
aku ingin melihat di mana kesendirian bermakna
bahwa terpilih menjadi seperti ini
adalah tanda-tanda. di mana aku bisa melewatinya
dengan memejamkan mata
dan bersujud di lautan ibu

apa yang terjadi bila kau tak datang malam ini.
api di tungku akan padam
dan aku hanya bisa menyimpan dendam

Lombok, 2013



Malam-malam Ibu

ibuku bukan penjahit
tapi setiap malam
luka yang mengaga
ditutupnya dengan do’a

di beranda tengah malam
di dekat kesedihan daun-daun
ia mencium sebuah kenangan
sebagai isyarat melepas ingatan
kepada suaminya,
di bulan pertama musim dingin
di samping muramnya lira
langit dan musik-musik yang menggema

ibuku hanya penakar bayang-bayang
pencuci pakaian siang dan malam
dia pendiam yang berjalan dengan do’a
mendarasnya di antara masa lalu dan duka

dan malam-malamnya
adalah ketabahan menerima
gelap dijadikan cahaya
bagaikan kesabaran bumi
sebagai ibu para dewa

2013



Aku dan Cermin

ketika kesadaran berlalu
kesepian ini menaruhku di antara dua garis
jalan yang haus dan lapar

meski dalam kesepian yang lain
aku memilih sebuah jalan
menjadi ornamen pemujaan
biar kematian menjadi angin dan debu
biar hanya batu yang mendengar

bahwa aku dan cermin
telah berdua sebelum air menjadi hujan
bahwa aku dan cermin
telah bercinta sebelum manusia bermuka dua


2013




Kwatrin Pelamun

aku ingin menjadi suara burung
yang memanggil dari kekosongan setelah malam
melayang menemui para pendosa
membangunkannya dengan sajak dari timur

sebelumnya aku pernah menjadi petani
menggauli aroma tanah yang lelah
memanen nama-nama sayuran
yang tak pernah kutuliskan dalam hadiah lebaran

entah sejak kapan orang-orang memandang takzim
seorang pelamun bisa meninggalkan waktu paling genting
semaunya, ia hanya membutuhkan sebuah kebun dan angin
maka ia mulai bekerja membangun istana dari derai-derai daun kering

pernah juga seorang kekasih mendatangi rumah berulang kali
membawa roti dan sebotol teh dari iklan pertama musim ini
tapi bagaimana menikmati gigitan roti dengan dua mulut berbisa
kau atau aku yang terkapar lebih dahulu

sepertinya para pelaut sudah pulang menangkap ombak
kini halaman rumahku membiru pantai
beberapa hempasan gelombang menyadarkan
tubuh bersama ruh menerima nyata


Lombok, 2013




Biodata

Fatih Kudus Jaelani, lahir di Pancor, Lombok Timur 31 Agustus 1989. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP Hamzanwadi, Selong. Menulis puisi dan telah disiarkan di sejumlah media cetak seperti Seputar Indonesia, Sinar Harapan, Bali Post, Radar Surabaya, Analisa, Medan Bisnis, Sagang, Pawon, Metro Riau dll. Juga terhimpun dalam buku antologi bersama seperti Lampu Sudah Padam (2010), Tuah Tara No Ate (2011), Meretas Karya Anak Bangsa (2012), Dari Takhalli Sampai Temaram (2012), Sauk Seloko (2012). Diundang menghadiri Temu Sastrawan Indonesia IV (Ternate, Oktober 2011) dan Pertemuan Penyair Nusantara V (Jambi, Desember 2012). Aktif mengelola Komunitas Rabu Langit, sebuah komunitas nirlaba yang menggiatkan sastra di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.


«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply