» » Jokowi

Yusi Avianto Pareanom*

SesungguhnyalahPDIP, pula PDI sebagai pendahulunya, menjemukan. Semasa Orba, mereka bisa lebih kuning ketimbang Golkar. Senangnya gelut sendiri, dan kelompok yang terpental yang kemudian mengimbuhkan Perjuangan di kelompok baru ini juga tak mengendurkan hasrat berkelahi sesama sekondan. Ekspresi protes mereka hapalan dan tidak artistik: membubuhkan cap jempol darah.

Ketika meraih suara terbanyak dalam Pemilu 1999, anggota parlemen dari Banteng ini begitu culun sehingga kursi presiden lepas. Kursi wakil presiden boleh jadi diperoleh karena yang lain sungkan atau malah iba hati. Ketika akhirnya Mega berkuasa, mereka menyia-nyiakan kesempatan emas untuk membenahi birokrasi dan penegakan hukum. Bahkan Aceh dijadikan DOM lagi pada periode ini, pula Munir terbunuh. Alih-alih bertindak sebagai presiden, Mega sendiri lebih sering atau lebih senang memerankan putri raja yang aleman lagi mutungan. Setelah Mega turun, ada saja kader PDIP yang dicokok karena kasus korupsi.

Namun, pada pemilu legislatif lalu saya memilih PDIP. Saya tak kenal calon-calonnya, jadi sesuai anjuran beberapa teman saya memilih nomor sepatu (atau nomor paling bawah untuk teman-teman muda yang kurang akrab dengan istilah lawas ini). Saya ingin mereka cukup punya suara untuk mencalonkan Jokowi. Saya ingin ia menjadi presiden.

Terus terang, saya tak mau dan memang tidak menaruh harapan kelewat tinggi pada Jokowi. Visi dan misinya tak istimewa-istimewa amat, belum lagi di gerbongnya tak kurang-kurang orang yang bermasalah. Pasti, kalau ia memimpin ia akan melakukan kompromi di sana-sini, setidaknya pada awalnya.

Kalau ada calon yang lebih baik daripada Jokowi, saya akan sokong dia. Tapi saat ini tidak ada sehingga saya tetap ingin Jokowi jadi presiden. Pertama, sekalipun ia dari PDIP, sepanjang catatan memegang jabatan publik, ia tak pernah mengistimewakan partainya. Ia tak haus memperkaya diri. Dan yang paling penting, ia tulus bekerja untuk rakyat. Ada hasil nyata yang bisa dilihat. Tengok saja pendapatan asli DKI yang meroket setelah ia pimpin, misalnya. Mungkin capaiannya tak memuaskan di semua bidang, tapi ini tetap tak kecil di Indonesia saat ini. Apa yang ia lakukan yang semestinya jadi kewajaran, jadi bernilai karena yang lain sebagian besar kebangetan jeleknya.

Saya ingin ia memimpin selama 10 tahun dan meletakkan fondasi yang cukup kuat untuk pembenahan birokrasi dan penegakan hukum dan HAM. Saya yakin, ia bisa. Ia adalah petarung yang ulet dan—saya tegaskan saja—licin. Ia seperti Muhammad Ali yang bersandar di tali ring dan membiarkan George Foreman menjotosinya tanpa ampun sampai ronde ke-7 dan pada satu momen yang menentukan ia bisa balik melontarkan satu dua pukulan yang menjatuhkan lawannya.

Setelah Jokowi, saya ingin presiden yang mengambil jalan yang sama dengannya (minus menarik gerbong berisi orang-orang bermasalah) dan lebih muda daripada saya.

*Penulis

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply