ia karam di sana, berkedip-kelip
seperti suar kapal
mengirim tanda kepada mata
tapi tiada yang sudi
menerjemahkan isyaratnya
atau mengajukan tanda-tanda balasan
sebagai pertanyaan kepada kabarnya
bagi mata, ia karib sedemikian cemerlang
begitu dekat, hingga lupa mengapa
ia mengibas-ngibaskan ekor cahaya
serupa anjing menyambut tuannya
ia kepalang menjelma bunga
kepalang dimekarkan kelopaknya
agar hidung mengendus wangi
hingga dada memuja-muji
tapi mana mata yang perlu tahu
mengapa ia mengibas-ngibaskan ekor
tanda pada tuannya
ia mengucap selamat tinggal
sebab ia gesit berlalu
lebih tangkas ketimbang pandangan
yang amat suka terpaku
antara ia dan mata tuannya
terhampar selembar selimut hitam
sebenarnya, mereka tiada berjumpa
hingga ia mengirim ekor cahaya
agar tuannya amat tahu
mereka tak pernah saling ketemu
mata gemar menatapnya
tak lebih
sebagai masa lalu
sebab selalu
jarak memerlukan waktu
Kompas, 2010
SARAPAN
demi pagi dan bebutir nasi
dan cekcok antara diri dengan diri
selembar paras
memucat di tingkap jendela
sepenuh malam mengira
bulan berlari menjauhi langit
padahal, mataku pencurinya
seandainya engkau tak terkunyah
geraham dan tercecap lidah
di muka meja makan
maka ia tak sempat memejam
hingga mampu membaui
serumpun pandan ditinggalkan wangi
sekelebat ia didaulat bunyi
terpujilah dirimu
yang damai terkunyah
di pintu mulutku
2010
DI BELAKANG MUKA, DI DEPAN PUNGGUNG
mata ditumbuhi segunduk lumut
dari tangkai hidung hingga tepi pelipis
tempat kulit dilukai keriput
sempurna, tiga lengkung garis
asap tumbuh dari daging dan urat kayu
sisa kunyahan api
dari abu bersalin abu
berpuluhtahun terkurung, berputar-putar cuma
di antara pusar
dan tangkai khuldi
sedikit ke arah pusat matahari,
dengung silang berganti
di mahkota:
kabut penyamar, membiak
dengan rupa-rupa warna
maka bangkit bermacam debu
meluncur di sulur-sulur angin
liar mendarat di ujung rerumput alis
serupa sehabis badai salju
dan matahari kelabu
yang tampak menampik terbit
hati, dengan hati-hati
lewat pucuk jari merahnya
pelan membuka daun pintu mata
merasai cuaca yang mesti tiba:
langit sewarna janggut jagung
padang rumput semacam ganggang laut
dengan pinggul yang lancang
menggoyang tatapan
membukit kepayang
serak getar ranting renyah
menumbuk daunan, riuh rendah
dikayuh angin, ditiupi angan
tertarik tanah
tersuruk ke arah sekelompok semak
kemudian reruntuhan mahkota bunga,
batu, dan sesayup suara
kabar cemas
dari paruh burung
senantiasa terlepas
menimpa kepala
2011
LELAKI PENYIMPAN
TANGKAI KHULDI
dari pusat pinggang
tangkai itu tak henti melelerkan
getah
liar api berkobar, memanaskan bebiji purba
ia terbakar dongeng yang sama
saat nama-nama yang tertiup di bibir
tawar, tercampur liur asmara
rusukkiri umpama duri, benar ia tulangku sendiri
tapi bagai anggur pekat tertuang ke kerongkongan
begitu sepat, membuat cekat, kata-kata punah menjadi decak
dan desah, tubuhku licin serupa ular menggelepar
di liang tanah
ingatan itu begitu binal
sebagai pencuri
ia mencium debu
mengenali lempung muasal
dan sulur sunyi yang merayapinya
tak ia kenal laiknya awal, sebelum
rusukkiri tercabut dari dadanya
sebelum rakus ia memamah putik dada
begitu riuh, ribuan duri logam
terjun, melenting, meriap, berdenting
meluncur di sekujur daging
pandangannya pekat-lebam
bagai mata karam di lumpur
sungai, sebab kini suara dirinya
begitu asing
dimanakah tangkai khuldi ini kusembunyikan
bagaimana muasal cemas ini kulenyapkan
dari telinga ia mendengar
desis terlontar
bagimu kini, api mula terang
dan gelap adalah gerbang
sebagai juru kunci nama-nama
lidahnya yang lihai
kini bercecabang
membelukar, penghalang rimbun
bagi jalan pulang
dari celah-celah
yang tersingkap udara
terkadang berhamburan
bulu cahaya
2009
6 BAIT RAYUAN GOMBAL
dingin yang terhampar di waktu subuh
menjelma di bulu dedaun bambu
beningnya menitis di mata kamu
karenanya,
saya mengagumi
mata embun itu
embun yang menitik di matamu
terasa asin dan asing
ia umpama laut
dan saya tenggelam
sebab lidah ombaknya
melempar ludah ke muka
bila mau bertaut, menyurut
dengan cara yang sama saya memahami:
di lengkung petang, burung-burung parkit
menghambur ke lenggang padang
meluncur licin di pinggang bebukit
begitu juga senyummu: lapang
namun terang
menggigit pahit
sebab itulah
saya menjatuhkan diri
dan berusaha sungguh
bangkit sendiri
2010
Arya Winanda |
Arya Winanda, lahir di Kotabumi, Lampung Utara, 14 Juli 1980. Pada tahun 2008 ia memulai debut menulis puisi setelah tiga cerita mininya masuk dalam nominasi dan salah satunya meraih penghargaan dalam acara Sayembara Fiksi Kilat yang ditaja Dewan Kesenian Lampung pada tahun yang sama. Karya-karya puisinya terhimpun dalam kumpulan puisi tunggal Desis Ular (Dewan Kesenian Lampung, 2010) dan kumpulan puisi dan cerpen Hilang Silsilah (Dewan Kesenian Lampung, 2013). Sejumlah puisinya yang lain juga dimuat di media cetak Jakarta dan daerah: Lampung Post, Koran Tempo, dan Kompas.
No comments: