Slamet Samsoerizal*
Taufiq Ismail (Ist) |
Sumbangan ketiga Taufiq Ismail adalah teknik penyebarluasan puisi-puisinya kepada khalayak. Dalam kaitan ini Taufiq sadar benar bahwa untuk mewujudkan keinginannya sebagaimana dilontarkan dalam puisi Aku Ingin Menulis Puisi yang. Ia memublikasikan puisi-puisinya melalui jalur media massa baik cetak maupun elektronik.
Melalui media massa cetak, puisi-puisinya ditemukan melalui rubrik puisi dan surat pembaca pada surat kabar dan majalah. Selain itu, puisi yang dipublikasikan itu pun dibukukan dalam bentuk antologi baik atas nama sendiri maupun kumpulan bersama beberapa penyair.
Jalur konvensional ini merupakan langkah kebanyakan penyair di negeri mana pun di dunia ini. Akan tetapi, dalam berbagai kasus banyak antologi diterbitkan, sayang keberadaanya diabaikan. Khusus antologi-antologi puisi Taufiq Ismail, keberadaannya mendapat animo yang menggembirakan. Indikator yang dapat dijadikan sebagai titik tolak adanya keterlibatan puisi-puisi Taufiq Ismail yang sering dikutip baik pada buku-buku pelajaran bahasa Indonesia atau materi perkuliahan, pun banyak analisis dan kajian atas puisi-puisinya baik tingkat pelajar tingkat menengah maupun disertasi tingkat doktoral.
Puisinya yang berkisah tentang Fariduddin Attar dijadikan rujukan untuk membahas sebuah materi metafisika untuk kuliah filsafat oleh Jujun Suriasumantri dalam buku Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (1984). Juga saat Amien Rais mendapat pengukuhan gelar Profesor dari Universitas Gajah Mada pada 1999, mengutip puisi Takut ’66, Takut ’98 sebagai acuan uraian teoritis tentang bahaya ”kuasa” dan ”tunakuasa” sekaligus menunjukkan perubahan politik di negeri ini yang menunjukkan bahwa tunakuasa (powerlesness) mulai mendialogkan kuasanya (powerness). Nilai didik yang dapat ditangkap melalui puisi yang bicara rasa takut ini agar dihayati benar oleh para wakil rakyat dan pejabat negara, terutama ”takut” kepada rakyat, selain takut kepada azab Allah SWT.
Melalui media massa elektronik, puisi-puisinya meluncur melalui pembacaan baik yang dilakukan Taufiq sendiri maupun melalui orang lain. Begitu seringnya Taufiq diundang untuk membacakan puisi-puisinya di dalam negeri dan di luar negeri. Media yang mengundang pun beragam. Ada kalanya dalam sebuah seminar tentang politik, ia diminta membacakan puisinya. Undangan juga mengalir dari radio maupun televisi. Frekuensi yang demikian tentu menguntungkan puisi-puisinya banyak dikenal orang di dalam maupun luar negeri. Apalagi puisi-puisinya juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Rusia, dan bahasa China.
Terobosan Taufiq dalam penyebarluasan puisi-puisinya ternyata tidak hanya sebatas itu. Kita mencatat sejak 1973, puisi-puisi seperti Oda pada Van Gogh, Dengan Puisi Aku, Kasidah Rindu Kami Padamu, Adakah Suara Cemara, Aisyah Adinda Kita, Sajadah Panjang, Ada anak Bertanya pada Bapaknya dan Jual Beli adalah beberapa puisi Taufiq Ismail yang dijadikan sebagai lirik lagu-lagu Bimbo. Kita pun mencatat, bahwa puisi Panggung Sandiwara Taufiq Ismail digubah oleh Ian Antono dari kelompok musik Godbless dan dilantunkan oleh Achmad Albar begitu populer di telinga penikmat musik Indonesia.
Khusus mengenai lagu-lagu bertema religius yang dinyanyikan Bimbo seperti Tuhan, Sajadah Panjang, Aisyah Adinda Kita, Ada anak Bertanya pada Bapaknya begitu merajai telinga penikmat musik, terutama saat bulan Ramadan tiba –sehingga tidak mengherankan jika ada yang menyebut bahwa setiap Ramadan adalah bulan lagu-lagu Bimbo. Kita pun dapat beranalogi, menyebut sukses Bimbo berarti menyebut sukses Taufiq Ismail sebagai penulis lirik yang andal. Ia ternyata juga merambah kerja sama dengan almarhum Chrisye untuk penulisan lirik Ketika Tangan dan Kaki Bicara.
Unsur didik sangat terasa pada semua lirik yang berasal dari puisi-puisi garapan Taufiq Ismail. Secara representatif, puisi berjudul Tuhan dan Sajadah Panjang sangat kental nilai religinya. Berikut dikutipkan isi puisi Sajadah Panjang secara lengkap.:
Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau
Sepenuhnya
Horison Apresiasi Sastera
Taufiq Ismail bercita-cita menjadi sasterawan sejak SMP dan mengental ketika SMA-- menyadari kewajiban yang diembannya. Berkaitan dengan pendidikan, ia ikut membidani lahirnya Majalah Sastra Horison. Sebuah majalah yang secara taat asas melaksanakan tugasnya sebagai majalah sastra sejak awal pendiriannya, 1966 yakni mencatat puisi, cerpen, esai, menyemai bibit-bibit sastrawan baru, menumbuhkembangkannya, sehingga terjadi dialektika secara dinamis baik sebagai sebuah sosok maupun karya dengan konsekuensinya. Hal ini tentu sangat bermanfaat bagi perkembangan pendidikan di sekolah-sekolah, mengingat Horison adalah satu-satunya majalah sastra di negeri ini(!)
Melalui Horison pula, Taufiq Ismail mengemas empat proyek besar atas keprihatinannya terhadap kondisi pendidikan bangsa ini. Taufiq Ismail mengemas melalui program penerbitan sisipan “Kaki Langit” majalah Horison sejak November 1996 dan masuk ke SMU, MA (Madrasah Aliyah), SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan Pesantren.
Itu yang pertama. Sebagai suplemen, “Kaki Langit” menampilkan karya sastra : puisi, cerpen, dan esai para siswa dari seluruh Nusantara. Bapak dan Ibu guru (bahasa Indonesia) tidak ketinggalan dilibatkan pula, melalui rubrik ”Pengalaman Guru”. Ulasan puisi dan cerpen karya siswa juga disajikan sebagai bentuk kritik terhadap karya para siswa. Setiap terbit, “Kaki Langit” memperkenalkan sosok sastrawan –mulai dari biografi, karyanya hingga proses kreatifnya.
Kedua, menyadari bahwa perubahan harus dimulai dari guru, Taufiq Ismail melalui Yayasan Indonesia (penerbit Majalah Horison) melobi Bappenas dan Departemen Pendidikan Nasional dan sejak Februari 1999 meluncurkan program MMAS (Membaca, Mengarang, dan Apresiasi Sastra) untuk guru bahasa dan sastra Indonesia. Hingga tahun 2000, telah dilatih 11 angkatan (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Barat). Itu mencakup 660 guru. Setelah itu, Riau, Jambi Sumatera Utara, Lampung, dan pada tahun 2001 MMAS melanglang ke Kalimantan dan Indonesia Bagian Timur.
Ketiga, dalam rentang masa yang sama, 43 sastrawan bergerak masuk ke 30 SMU, MA, SMK, dan Pesantren di 20 kota 3 provinsi bertemu dan berdiskusi dengan 3.000 siswa. Kegiatan ini merupakan proyek ketiga yang digarapnya di bawah bendera SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya). Pada 2004, SBSB telah merampungkan hajatnya di 26 provinsi, 133 kota, 205 siswa, dihadiri (sekitar) 92.000 siswa dan guru, didatangi sekitar 90 sastrawan.
Keempat, pada tingkat perguruan tinggi, Taufiq Ismail menggarap proyek keempatnya yakni SBMM (Sastrawan Bicara, Mahasiswa Bertanya). Melalui SBMM Taufiq Ismail mendatangkan 12 sastrawan selama dua semester ke dua kampus (Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia dan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta) untuk berdiskusi dengan mahasiswa. Mahasiswa itu diwajibkan membaca buku karya sastrawan tersebut, sebelum hadir dalam diskusi. Kegiatan SBSM dan SBMM ini dibiayai oleh Ford Foundation.
Apa yang menarik? Kegiatan SBSM ternyata menerbitkan optimisme bagi Taufiq Ismail secara pribadi maupun lembaga yang dipimpinnya. SBSM yang berfokus pada apresiasi tingkat SMU, Madrasah Aliyah, dan Sekolah Menengah Kejuruan ternyata mendapat respon yang luar biasa. Para siswa tidak saja langsung dapat bertatap muka dan menyimak proses kreatif para sastrawan. Pengenalan langsung seperti ini tentu lebih efektif dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Sebagai tindak lanjut SBSM Horison pun memberikan wadah berupa rubrik sisipan "Kaki Langit". Lagi-lagi optimisme kembali bangkit manakala redaksi Horison kewalahan menampung karya-karya siswa di seluruh tanah air.
Dalam Seminar sehari yang digelar Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia DKI Jakarta, pada 30 September 2000 Taufiq Ismail melontarkan kritik pedasnya. “Masyarakat Indonesia itu sudah mengidap penyakit rabun membaca dan lumpuh menulis. Akibatnya, kedua penyakit itu menimbulkan budaya kekerasan yang akhirnya mempengaruhi juga sisi-sisi kehidupan kaum mudanya.”
Lontaran ini bukan tanpa alasan. Berdasarkan amatannya, kuantitas oplah buku-buku sastra yang terbit sejak awal revolusi, Taufiq Ismail menyayangkan rendahnya minat masyarakat, terutama minat membaca karya sastra. Apabila melihat jumlah majalah sastra, ternyata yang terbit di Indonesia cuma satu buah, yakni Horison.
Menurutnya, keadaan ini sangat luar biasa minimnya. Apalagi jika Taufiq Ismail membandingkannya dengan jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai lebih dari 200 juta jiwa. Di Mesir, dengan jumlah penduduk sekitar 50 juta jiwa, penduduknya mampu menerbitkan majalah sastra sebanyak 12 buah. Taufiq Ismail pun melontarkan, semestinya kita memiliki 48 buah majalah sastra. Catatan lain yang dikemukakan dalam seminar tersebut adalah novel Atheis karya Achdiat Kartamihardja yang pertama terbit 1949 dan beroplah 3. 000 eksemplar, hingga tahun 2000 jumlah eksemplarnya tidak berubah. Sebuah ironi, memang!
Munculnya budaya kekerasan di Indonesia akhir-akhir ini salah satunya disebabkan oleh tidak dikembangkannya nilai-nilai luhur dalam sistem budaya. Nilai kejujuran, ketertiban, tanggung jawab, pengendalian, kebersaman, keimanan, yang seharusnya berproses dalam pendidikan di sekolah, rumah, dan masyarakat –kemudian dicontohkan oleh pendidik, orang tua, dan pemuka masyarakat, serta dibaca dalam karya-karya sastra—ternyata tidak berlangsung seperti yang diharapkan.
_________________
*) Peneliti pada Pusat Kaji Darindo
Baca Juga: Melacak Jejak Benak Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan (1)
Baca Juga: Melacak Jejak Benak Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan (2)
Baca Juga: Melacak Jejak Benak Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan (1)
Baca Juga: Melacak Jejak Benak Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan (2)
No comments: