Blontank Poer
Banyak politikus yang mengenakan baju putih (tapi bukan baju koko) semata-mata didorong oleh niat pencitraan, membangun kesan dengan mengambil filosofi kesucian dan kebersihan atas putih. Tentu, amat disayangkan jika kesan suci dan serba baik datang dari konsultan komunikasi atau pakar fesyen yang dibayar untuk itu.
Masih bagus juga sih, mereka masih mengakui putih sebagai simbol positif, daripada abai sama sekali. Tapi, dalam konteks kompetisi merebut kursi presiden/wakil presiden, publik justru diuntungkan dengan kesamaan pilihan warna pakaian pasangan saat deklarasi pencapresan, baik Jokowi-Kalla maupun Prabowo-Hatta.
Jika sama-sama putih secara fisik, maka publik diajak menelisik lebih dalam, agar menemukan pembeda, diferensiasi atas dua pasangan capres/cawapres.
Pak Jokowi sudah biasa mengenakan kemeja putih sejak menjabat Walikota Surakarta. Ciri khasnya, ia menggulung hingga lengan, tanpa pernah memasukkan kemeja,dalam,celana. Santai, tak terlalu formil.
Dengan pilihan gaya berpakaian seperti itu, warga bantaran kali sekalipun tidak canggung menyapa, menghampiri dan menyalami. Dan, sambutan Pak Jokowi juga sangat natural, selalu ada kontak mata ketika berjabat tangan, dan ada sapaan/dialog (yang panjang-pendeknya tergantung ketersediaan waktu). Ada rasa kedekatan pada setiap kesempatan berinteraksi, dan tidak dibuat-buat.
Pilihan kemeja putih juga menunjukkan netralitas pada berbagai hal dan momentum. Di acara partai apapun, dimana warna bisa jadi perkara sensitif, kemeja putih membawa isyarat netralitas. Pun di acara-acara resmi lainnya.
Pada pilihan warna kostum itulah wisdom Jokowi mewujud. Identitas tidak perlu dikedepankan, ditonjol-tonjolkan. Dengan demikian orang lain seperti dibiarkan menilai dengan referensi dan pengalaman masing-masing. Meski hadir di acara-acara PDI Perjuangan, misalnya, Pak Jokowi hampir selalu mengenakan kemeja kesayangannya itu. Pada situasi seperti itu, saya melihatnya sebagai bentuk kearifan. Dia tak takut diragukan ke-PDIP-annya, karena pada saat yang sama, jabatan sebagai walikota melekat pada dirinya. Ia menempatkan diri sebagai milik semua orang, sehingga tidak mau terbatasi oleh sekat-sekat politik, meski dalam tataran persepsi atas sebuah simbol.
No comments: