» » » » » MK Tolak Permohonan Mahasiswa Uji Materi UU Pendidikan Tinggi

Demo Mahasiswa di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi usai mendengarkan Pengucapan Putusan Pengujian UU Pendidikan Tinggi, Selasa (29/4). Foto: dok MK
Jakarta, Teraslampung.com - Mahkamah Konstitusi memutus menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh para mahasiswa terkait dengan  pengujian Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa sore (29/04). “Menolak seluruh permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Hamdan Zoelva dalam membacakan putusan perkara normor 33/PUU-XI/2013 ini.

Berdasarkan permohonan Pemohon, menurut Mahkamah, terdapat dua isu  konstitusionalitas yang dijawab MK, apakah otonomi pengelolaan pendidikan tinggi dan perguruan tinggi negeri yang berbentuk badan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 64 dan Pasal 65 UU 12/2012 bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu juga, apakah akuntabilitas penyelenggaraan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 juncto Pasal 78 UU 12/2012 yang tidak mengatur mengenai struktur yang berwenang menjatuhkan sanksi apabila terjadi pelanggaran atas pasal-pasal tersebut, bertentangan dengan UUD 1945.

Terhadap isu itu, MK telah mempertimbangkan dalam putusan perkara No. 103/PUU-XI/2012, pada tanggal 12 Desember 2013 lalu, antara lain menyatakan sebagai berikut:

....penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana diatur dalam UU 12/2012 tidak menyebabkan terabaikannya kewajiban dan tanggung jawab konstitusional negara di bidang pendidikan. Rumusan norma dalam Undang-Undang a quo tetap memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengendalikan PTN BH. Melalui instrumen Undang-Undang a quo dan berbagai Peraturan Pemerintah yang dibentuk oleh Pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang a quo, pemberian otonomi, baik otonomi akademik maupun otonomi non-akademik kepada perguruan tinggi seperti dimaksud Pasal 64 dan Pasal 65 UU 12/2012 tidak akan melepaskan tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan.

Praktik komersialiasi yang dikhawatirkan oleh para Pemohon tidak akan terjadi selama Pemerintah memiliki kewenangan mengontrol PTN BH antara lain dengan menentukan standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi seperti dimaksud dalam Pasal 88 Undang-Undang a quo. Menurut Mahkamah, bentuk PTN BH sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo dapat dibenarkan karena tidak melepaskan kewajiban dan tanggung jawab konstitusional negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya hak warga negara untuk memperoleh dan mendapatkan akses terhadap pendidikan.

Negara harus menjamin bahwa pendidikan tinggi yang dilaksanakan terjangkau dengan paradigma pendidikan yang bersifat tidak mencari keuntungan, mengutamakan aspek pelayanan publik, serta tidak menjadikan pendidikan sebagai barang privat dan komoditas bisnis. Tanggung jawab negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak berarti bahwa negara berkewajiban dan bertanggung jawab untuk membiayai seluruh biaya pendidikan. Kewajiban negara untuk membiayai seluruh biaya pendidikan hanya untuk pendidikan dasar sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, sedangkan untuk tingkat pendidikan lainnya, di samping dibiayai oleh negara juga dimungkinkan adanya partisipasi masyarakat untuk ikut membiayai pendidikan.

Oleh karena itu, menurut Mahkamah, keikutsertaan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan secara wajar tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Demi kualitas dirinya, tiap warganegara juga harus ikut memikul tanggungjawab terhadap dirinya untuk mencapai kualitas yang diinginkan. Artinya Negara memiliki tanggungjawab utama sedangkan masyarakat juga ikut serta dalam memikul tanggung jawab itu.

(vide Putusan Mahkamah No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, bertanggal 31Maret 2010).

Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon bahwa ketentuan mengenai akuntabilitas dalam penyelenggaraan perguruan tinggi tidak akan efektif karena tidak adanya struktur yang berwenang menjatuhkan sanksi ketika terjadi pelanggaran adalah tidak tepat. Menurut Mahkamah, UU  tersebut telah mengatur mengenai sanksi atas tidak dilaksanakannya prinsip akuntabilitas. Adapun mengenai struktur dan pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi merupakan ranah pengaturan yang bersifat teknis dalam kementerian yang bersangkutan. Dengan demikian dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Sebelumnya pada persidangan perdana, para Pemohon menilai mendalilkan bahwa otonomi pengelolaan perguruan tinggi dan bentuk badan hukum penyelenggara perguruan tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 64 dan Pasal 65, serta tidak adanya struktur yang berwenang menjatuhkan sanksi Pasal 63 juncto Pasal 78 UU yang diujikan bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1),Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), dan Pasal 31 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) UUD 1945. (Panji Erawan/mh)

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply