Polri Lebih Fokus pada Kasus yang Dialami AK
JAKARTA, Teraslampung.com - Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) berkoordinasi dengan Kepolisian RI terkait kasus pelecehan seksual terhadap siswa TK Jakarta International School (JIS) yang melibatkan warganya, William James Vahey. Vahey adalah salah satu mantan pengajar di sekolah Taman Kanak-kanak Jakarta International School (JIS) periode 1992-2002.
Wakil Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Pol Tony Hermanto, mengatakan FBI akan mengorek informasi seputar kebenaran adanya mantan murid JIS yang pernah menjadi korban Vahey. Seperti banyak dilansir media beberapa hari terakhir, Vahey diketahui sebagai buronan FBI dalam kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.
"Informasi itu nanti akan kami uji lagi. Dia (Vahey) bekerjanya kapan di JIS. Kalau dia bekerja setelah 2002 itu berarti bohong," kata Tony di Mabes Polri, Rabu (30/4/2014).
Menurut Tony, para penyidik FBI akan tiba Senin (5/5/2014) pekan depan. Mereka akan mencari informasi dari mantan rekan Vahey yang mengajar selama kurun waktu 1999-2002 saat masih bekerja di JIS.
Sementara itu, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komjen Pol Suhardi Alius, mengatakan pihaknya sedang fokus menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang dilakukan petugas kebersihan JIS terhadap AK (6).
"Kami akan mulai dari kasus ini (AK) dulu, bukan kasus buronan itu. Karena takut bias nanti," ujarnya.
Suhardi mengatakan, FBI sebetulnya telah menawarkan bantuan untuk menyelidiki kasus yang menimpa AK ini. Namun, belum diketahui bantuan apa yang ditawarkan oleh pihak FBI tersebut. Menurut Suhardi, perlu ada koordinasi lebih lanjut mengenai hal itu. Selain itu, ia menegaskan, terkait penyelesaian kasus ini, penyidik akan menggunakan hukum yang berlaku di Indonesia.
"Kita punya kedaulatan hukum, tidak ada intervensi. Jadi hukum kita yang akan kita tegakkan," kata dia.
Buronan FBI
Biro Penyidik Federal AS (FBI) meminta bantuan publik untuk mengidentifikasi sedikitnya 90 orang yang diduga menjadi korban pelaku pedofilia yang pernah bekerja di sedikitnya 10 sekolah Amerika dan intenasional di dunia selama 40 tahun, sebelum bunuh diri bulan lalu.
Berdasarkan catatan FBI, ia diketahui pernah mengajar di Jakarta International School pada 1992 hingga 2002.
Di laman website mereka, FBI menulis bahwa korban-korban Vahey diduga sebagai siswa Amerika Serikat dan warga negara lain yang pernah dididiknya sejak 1972.
"Sebuah USB milik Vahey yang diberikan kepada FBI mengungkap foto-foto porno anak-anak lelaki berusia antara 12 hingga 14 tahun dalam kondisi tertidur atau tidak sadarkan diri," tulis FBI.
Foto-foto itu diberi lokasi dan tanggal yang merujuk ke tempat-tempat ia pernah mengajar.
Lebih lanjut, FBI menyatakan bahwa ketika Vahey ditanya mengenai foto-foto tersebut, ia dilaporkan mengaku telah melakukan pelecehan seksual kepada anak-anak lelaki selama hidupnya dan ia memberi mereka obat tidur sebelum melakukan aksinya.
Kekhawatiran FBI
Agen FBI Shauna Dunlap kepada kantor berita AP mengatakan bahwa FBI tidak pernah "melihat ada kasus lain dimana individu melakukan pelecehan kepada anak sebanyak itu dalam jangka waktu yang sangat panjang."
Selain di JIS, Vahey diketahui pernah mengajar antara lain di sekolah internasional Teheran, Madrid, Athena dan London. Ia juga menjadi pelatih tim basket putra di beberapa sekolah.
Sekolah-sekolah semacam itu biasanya mengajar siswa-siswa yang merupakan anak-anak diplomat AS, personil militer dan warga negara AS lain yang bekerja di luar negeri dan FBI menduga korban Vahey berasal dari berbagai kebangsaan.
FBI khawatir bahwa sebagian korban mungkin tidak mengetahui bahwa mereka dilecehkan.
"Ia punya akses ke anak-anak karena posisinya sebagai orang yang dipercaya," kata agen FBI Patrick Fransen.
"Cara ia melecehkan anak-anak itu, yaitu ketika mereka tidak sadarkan diri, mungkin membuat mereka tidak tahu apa yang terjadi dan menjadikan mustahil bagi mereka untuk melapor ketika pelecehan terjadi."
BBC telah berusaha menghubungi pihak Mabes Polri dan Kedutaan Besar AS namun belum mendapat tanggapan. (BBC)
No comments: