Agus Sri Danardana*
Pembakuan nama rupabumi/geografi—yang bertujuan untuk (1) mewujudkan tertib administrasi di bidang pembakuan nama rupabumi di Indonesia; (2) menjamin tertib administrasi wilayah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); (3) mewujudkan adanya gasetir nasional sehingga ada kesamaan mengenai nama rupabumi di Indonesia; dan (4) mewujudkan data dan informasi akurat mengenai nama rupabumi di seluruh wilayah NKRI, baik untuk kepentingan pembangunan nasional maupun internasional—semakin dirasakan sangat penting karena belakangan ini banyak bermunculan penamaan rupabumi yang tidak mengikuti aturan.
Penamaan perumahan dan tempat-tempat perbelanjaan, misalnya, di samping banyak yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, juga banyak yang menggunakan bahasa asing. Kenyataan itu, jika tidak segera ditangani, tentu akan dapat mengancam keberadaan bahasa Indonesia dan sekaligus dapat mereduksi budaya daerah.
Rupabumi dapat dibedakan dalam dua kelompok: alami dan buatan (manusia). Nama rupabumi alami, dengan demikian, diberikan pada unsur-unsur rupabumi seperti gunung, bukit, sungai, teluk, selat, pulau, laut, dan danau. Sementara itu, nama rupabumi buatan diberikan pada unsur-unsur rupabumi seperti bandara, pelabuhan, bendungan, jalan raya, jalan tol, kawasan pemukiman, dan kawasan administrasi (provinsi, kabupaten, kecamatan, kota, desa), kawasan cagar alam, kawasan konservasi, dan taman nasional. Keduanya (baik yang alami maupun yang buatan) terdiri atas dua bagian: nama generik dan nama spesifik.
Dalam Permendagri Nomor 39 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pembakuan Nama Rupabumi, antara lain, disebutkan bahwa pembakuan nama rupabumi meliputi proses penetapan dan pengesahan nama, pengejaan, penulisan, dan pengucapan. Proses tersebut harus berdasarkan prinsip-prinsip (1) menggunakan abjad romawi; (2) satu unsur rupabumi satu nama; (3) menggunakan nama lokal; (4) berdasarkan peraturan perundang-undangan; (5) menghormati keberadaan suku, agama, ras dan golongan; (6) menghindari penggunaan nama diri atau nama orang yang masih hidup; (7) menggunakan bahasa lndonesia dan/atau bahasa daerah; dan (8) paling banyak tiga kata.
Atas dasar Permendagri itu, dapat diketahui bahwa pembakuan nama rupabumi ternyata bukan sekadar menetapkan dan mengesahkan nama, melainkan juga menetapkan dan mengesahkan (peng)ejaan, (pen)tulisan, dan (peng)ucapannya. Bahkan, nama pun ternyata tidak dapat diambil dari bahasa asing, tetapi harus dari bahasa Indonesia dan/atau daerah. Di samping itu, nama juga tidak boleh menyinggung SARA dan tidak boleh lebih dari tiga kata. Dengan demikian, pembakuan nama rupabumi tidak dapat dilakukan secara sembarangan.
Setidaknya ada dua kaidah bahasa yang dapat dijadikan pedoman pembakuan nama rupabumi, yakni kaidah tata tulis (ejaan) dan kaidah tata kata. Kaidah tata tulis dapat mengacu pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), sedangkan kaidah tata kata dapat mengacu pada Pedoman Pembentukan Istilah, Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Keempat buku acuan, yang disusun oleh Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu, sudah diterbitkan dan dapat ditemukan dengan mudah di perpustakaan-perpustakaan atau di toko-toko buku.
Tata Tulis/Ejaan
Pada dasarnya, semua nama rupabumi alami: baik nama generik maupun nama spesifiknya ditulis dalam dua kata terpisah, masing-masing berawal dengan huruf kapital (besar). Misalnya: Gunung Sitoli, Gunung Kerinci, Tanjung Priok, Tanjung Pinang, Sungai Apit, dan Sungai Siak.
Nama-nama rupabumi alami itu jika digunakan sebagai nama spesifik oleh nama generik rupabumi lain (buatan) ditulis serangkai dalam satu kata. Misalnya: Kota Gunungsitoli, Kota Tanjungpinang, Kabupaten Kepulauanmeranti, dan Kecamatan Sungaiapit. Kota, pelabuhan, kabupaten, dan kecamatan adalah nama generik rupabumi, sedangkan Gunungsitoli, Tanjungpinang, Kepulauanmeranti, dan Sungaiapit adalah nama spesifiknya.
Penyerangkaian nama rupabumi yang digunakan sebagai nama spesifik oleh nama generik rupabumi lain dalam satu kata bermanfaat untuk menghindari penamaan rupabumi yang lebih dari tiga kata. Di Kota Pekanbaru, misalnya, terdapat Kelurahan Labuhbaru Barat, dan LabuhbaruTimur. Andai Labuhbaru tidak diserangkaikan dalam satu kata, nama-nama kelurahan itu pasti akan lebih dari tiga kata. Artinya, penulisan nama rupabumi: Kelurahan Labuh Baru Barat dan Kelurahan Labuh Baru Timur bertentangan dengan salah satu prinsip pembakuan nama rupabumi yang telah ditetapkan: paling banyak tiga kata.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa penggunaan huruf kapital (besar) sebagai huruf pertama hanya diwajibkan dalam penulisan nama rupabumi. Artinya, rupabumi yang tidak menjadi nama ditulis dengan huruf kecil (tidak perlu ditulis dengan huruf kapital). Misalnya: berlayar ke teluk, mandi di sungai, menyeberangi selat, dan menuju laut. Hal yang sama berlaku juga pada penulisan nama rupabumi yang digunakan sebagai nama jenis. Misalnya: garam inggris, gula jawa, kacang bogor, dan pisang ambon. Nama rupabumi: Inggris, Jawa, Bogor, dan Ambon pada contoh itu, karena sudah menjadi nama jenis, huruf pertamanya tidak perlu ditulis dengan huruf kapital.
Bagaimana dengan penulisan nama rupabumi yang berupa bilangan dan kata ulang, seperti IV Koto, Simpang III, dan Bagansiapiapi? Pada dasarnya, nama rupabumi tidak boleh ditulis menggunakan angka, kecuali bilangan yang menunjukkan urutan. Sementara itu, nama rupabumi yang berupa kata ulang ditulis penuh sesuai dengan kaidah penulisan kata ulang: dengan tanda hubung (-). Dengan demikian, nama-nama itu seharusnya ditulis Ampekoto, Simpangtiga, dan Bagansiapi-api. Begitu pun yang lainnya, seperti Limapuluhkoto, Duokalisabaleh Anamlingkung, Jembatanlima, Kambingtujuh, Kotonanampek, Tanahseratus ataupun Sigura-gura, Muko-Muko, Toli-Toli, dan Dalu-Dalu.
Tata Kata
Ada dua hal yang dapat dibicarakan dalam tata kata: pembentukan kata dan pemilihan kata. Pembentukan kata berkaitan dengan ihwal membentuk kata, sedang pemilihan kata berkaitan dengan ihwal memilih kata.
Dalam membentuk kata, ada empat cara yang dapat dilakukan: memberi imbuhan, mengulang, menggabungkan, dan mengakronimkan. Berkaitan dengan penamaan rupabumi, hal yang paling penting adalah penggabungan kata. Dalam bahasa Indonesia, penggabungan kata mengikuti hukum DM (diterangkan-menerangkan), bukan MD (menerangkan-diterangkan). Misalnya: Hotel Pangeran, Salon Prigel, Restoran Ratu, dan Pusat (Belanja) Wijaya (bukan Pangeran Hotel, Prigel Salon, Ratu Restaurant, dan Wijaya Centre).
Di samping itu, dalam Pedoman Pembentukan Istilah (2008:3—21) disebutkan bahwa bahan istilah (dalam hal ini nama) sedapat mungkin diambil dari bahasa Indonesia. Jika tidak memungkinkan, barulah dicarikan dalam bahasa daerah dan/atau asing melalui pemadanan dengan cara penyerapan, penerjemahan, atau gabungan penerjemahan dan penyerapan. Contoh: supermarket menjadi pasar swalayan; skyscrape menjadi pencakar langit; master of ceremonies menjadi pengatur (pembawa) acara; department store menjadi toko serba ada/ pasaraya; file menjadi fail; photocopy menjadi fotokopi; dan villa menjadi vila.
* Kepala Balai Bahasa Riau
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kopi Pagi
Social Icons
Popular Posts
- Dayang Rindu, Cerita Rakyat yang Terlupakan
- "Showroom Sapi" di Lampung Tengah: Kemitraan Wujudkan Mimpi Parjono
- Van der Tuuk, Pahlawan Bahasa (Lampung) yang Dilupakan
- Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Jamal D. Rahman: "Reaksinya Terlalu Berlebihan.."
- Gua Maria Padang Bulan, "Lourdes Van Lampung"
- Panjang, Dermaga Penyeberangan Pertama di Lampung
- Menjadi Pelatih Pelawak
- Pagar Dewa dan Cerita-Cerita Lain
- Sejarah Transmigrasi di Lampung: Mereka Datang dari Bagelen
- Saya Sudah Kembalikan Honor Puisi Esai dengan Permintaan Maaf
No comments: