Eros Djarot
Mbak Mega datang, Surabaya tenang. Datang ke Kota Buaya didampingi Jokowi, mendadak sontak hawa politik yang semula panas berubah sejuk. Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, yang biasanya gencar melakukan politik air mata, hari itu tampak sumringah. Tidak ada air mata maupun rengekan politik Bu Wali Kota. Kehadiran Megawati terbukti berhasil mengakhiri drama politik pemerintahan lokal Kota Pahlawan dengan baik.
Yang menarik untuk dicatat, pemerintah pusat dalam hal ini Menteri dan Kementerian Dalam Negeri, terbukti tak mempunyai kemampuan meredam konflik di lembaga bawahan mereka. Menteri dan institusi Kementerian Dalam Negeri seakan tidak berfungsi sedikit pun dalam hal meredam konflik yang terjadi. Kewibawaan Megawati, ternyata masih menjadi faktor yang perlu diperhitungkan ketika figur peredam konflik dibutuhkan oleh (sebagian) masyarakat di negeri ini.
Satu hal lagi yang menarik untuk dicatat adalah kehadiran Megawati ke Surabaya dengan menenteng Jokowi sebagai pendamping. Langkah ini bisa dibaca oleh mereka yang sudah ngebet mencalonkan “Jokowi for President” sebagai cara Megawati mengader Jokowi agar kelak bila menjadi pemimpin bangsa. Ia akan fasih melakukan kerja meredam konflik politik.
Pada sisi lain, bisa juga mengisyaratkan bahwa Jokowi hanya akan diposisikan sebagai pendamping. Itulah sebabnya Mega sengaja menenteng Jokowi untuk memperagakan, bagaimana seorang pemimpin harus berbuat dan bersikap. Sekaligus membiarkan masyarakat membaca, bahwa bagi Jokowi yang Gubernur DKI, atasan beliau bukan SBY tapi Megawati. Dengan kata lain, apa kata Mega begitulah Jokowi.
Jokowi sendiri tidak mungkin akan berani melakukan pembangkangan maupun pembokongan terhadap Megawati. Dalam hal pencapresan misalnya, Jokowi tidak mungkin berani melakukan permainan ala zero sum game –melontarkan pilihan terbuka pada massa PDI Perjuangan untuk memilih dirinya atau Megawati.
Bahwasanya banyak kompor gas di sekeliling Jokowi yang berusaha membakar biduk politik Jokowi agar dengan cara apapun Jokowi harus muncul sebagai Capres pilihan PDI Perjuangan, bagi Mega bukanlah hal yang meresahkan. Terutama ketika membaca Jokowi yang belum lagi dua tahun menjabat sebagai Gubernur DKI, tidak semudah melenggang begitu saja meninggalkan kursi DKI-1. Terlalu banyak masalah sosial-kultural yang akan menghadang Jokowi-Ahok. Mega sangat mengetahui hal itu.
Pada intinya, Megawati masih akan tetap menjadi figur terkuat dalam menentukan jalannya perpolitikan di negeri ini. Ketika semua orang ramai bertanya-tanya siapa sebenarnya Capres dari kubu PDI Perjuangan, pada saat bersamaan, sebenarnya orang mengakui bahwa Megawati sebagai figur telah menjadi institusi politik dan faktor determinan bagi kualitas perjalanan bangsa ini ke depan. Penentuan siapakah calon kadidat presiden dari PDI Perjuangan bisa menjadi kunci sangat menentukan, bagaimana negeri ini kelak akan berjalan dan dijalankan.
Secara ekstrem, eksistensi Indonesia sebagai negara, bisa jadi juga akan sangat dipengaruhi keberadaannya oleh keputusan Megawati berkaitan siapa Capres yang akan diajukan PDI Perjuangan. Kesimpulan ini dikaitkan dengan kondisi obyektif negeri kita yang di hari-hari dan tahun-tahun mendatang akan mengalami berbagai tantangan yang berkaitan dengan masalah pelik politik, ekonomi dan problem sosial kultural yang mengancam terjadinya disintegrasi bangsa.
Untuk alasan inilah, besar kemungkinan pertimbangan bukan figur terpopuler yang menjadi Capres pilihan PDI Perjuangan, sangatlah mungkin. Atas pertimbangan keutuhan ke dalam maupun ke luar, PDI Perjuangan bisa jadi cenderung lebih memilih figur yang kuat dan berwibawa di kalangan partai dan pendukungnya. Dalam hal ini, Mbak Mega lah yang masih merupakan kandidat terkuat! Kecuali Indonesia dalam keadaan biasa-biasa saja, persoalan bisa menjadi lain?! Peluang pun sepenuhnya ada pada Jokowi! (Nefosnews)
No comments: