Ariel Heryanto*
Belakangan, saya merasa terusik oleh berbagai permintaan lewat media sosial untuk ikut mendukung surat pernyataan mereka yang meminta izin pejabat pemerintahan daerah agar membolehkan acara diskusi buku Tan Malaka. Berikut ini beberapa alasan saya.
Bagi saya, pertukaran pemikiran dalam bentuk diskusi, atau lewat kegiatan menulis dan membaca, membuat pertunjukan atau menontonnya, merupakan kemerdekaan setiap insan selama kegiatan itu tidak mengganggu orang lain. Kemerdekaan ini tidak membutuhkan izin dari mana pun.
Dengan alasan yang sama, saya menolak ketika diminta mendukung seruan beberapa pihak agar pemerintah melarang sebuah buku tentang sastra Indonesia yang isinya diolok-olok banyak orang.
Saya termasuk satu dari sekian juta warga dari generasi yang besar dan bertumbuh di bawah rejim fasisme militer Orde Baru. Di bawah rejim ini, banyak perusahaan media massa dibubarkan hanya lewat surat pelarangan yang dikeluarkan sewenang-wenang oleh seorang pejabat pemerintah. Ribuan orang ditembak karena bertatoo dan mayatnya dipamerkan di pusat keramaian seperti sekolah, persimpangan jalan, halaman depan bioskop, atau pasar. Seseorang bisa ditahan bertahun-tahun hanya karena memiliki atau membaca novel yang tidak disukai pemerintah. Seorang penyair dilempari bom molotov karena membaca puisi.
Tetapi dalam suasana seperti itu pun, saya dan rekan-rekan segenerasi gemar berdiskusi tanpa merasa perlu meminta izin dari siapa pun! Rasa takut dan cemas bukan tidak ada. Tetapi meminta izin dari yang berkuasa? Tidak sudi. Setiap pelarangan buku (misalnya Marxisme dan Komunisme) justru membangkitan nafsu mencari, membaca dan mendiskusikannya dengan orang-orang lain, walau diam-diam. Jadi jelas, meminta izin berdiskusi bukan sebuah kebiasaan yang diwariskan dari masa Orde Baru atau zaman kolonial. Entah datang darimana.
Sebagai warga yang terdidik lebih dari seperempat abad di bawah penindasan fasisme militer, tetapi tidak terbiasa meminta-minta izin berdiskusi, saya merasa heran dan prihatin dengan beredarnya surat meminta izin untuk berdiskusi buku Tan Malaka. Juga heran meyaksikan beredarnya permintaan bertubi-tubi agar orang lain mendukung permintaan izin seperti itu. Ini terjadi di saat Indonesia dikeploki masyarakat dunia sebagai salah satu negeri demokrasi paling besar di dunia.
Yang saya kuatirkan, dengan kebiasaan meminta-minta izin seperti itu, kita mendidik secara salah para pejabat pemerintahan, seakan-akan mereka memang punya wenang dan berhak memberi atau menolak hak warganya berdiskusi. Yang lebih mencemaskan, mereka yang hari ini merendah-rendahkan diri dan mengemis izin berdiskusi pada orang lain, akan mudah menjadi fasis jika suatu hari kelak mendapat kekuasaan. Entah dalam lingkungan kecil di sekitarnya, apalagi bila mendapat kekuasaan di lingkup negara. Mereka akan menuntut orang lain mengemis izin jika ingin berdiskusi, seperti halnya dulu mereka mengemis izin ketika ingin berdiskusi.
* Profesor di The Australian National University (ANU), Australia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kopi Pagi
Social Icons
Popular Posts
- Dayang Rindu, Cerita Rakyat yang Terlupakan
- "Showroom Sapi" di Lampung Tengah: Kemitraan Wujudkan Mimpi Parjono
- Van der Tuuk, Pahlawan Bahasa (Lampung) yang Dilupakan
- Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Jamal D. Rahman: "Reaksinya Terlalu Berlebihan.."
- Gua Maria Padang Bulan, "Lourdes Van Lampung"
- Panjang, Dermaga Penyeberangan Pertama di Lampung
- Menjadi Pelatih Pelawak
- Pagar Dewa dan Cerita-Cerita Lain
- Sejarah Transmigrasi di Lampung: Mereka Datang dari Bagelen
- Saya Sudah Kembalikan Honor Puisi Esai dengan Permintaan Maaf
No comments: