» » » » Rumah Dunia: Menengok Dunia dengan Aksara

Oyos Saroso H.N. dan  Damanhuri Armadi

Belajar di Rumah Dunia (Dok: Damanhuri)
Matahari belum terlalu tinggi ketika seorang laki-laki berusia 40-an tahun ditemani seorang perempuan tengah sibuk menyempurnakan sapuan kuas catnya pada sebuah rak buku yang direbahkan di halaman rumah. Tak jauh dari situ, di sebuah sudut perpustakaan, seorang anak muda juga sedang asyik di depan komputernya. Di gedung lain, dua orang anak muda tampak sedang bergegas meninggalkan ruangan dengan tumpukan kertas terapit tangan.

Begitulah suasana sebuah pagi di Pusat Belajar Anak dan Remaja Rumah Dunia di kompleks Hegar Alam, kampung Ciloang, Serang, Banten, pada Sabtu pagi, Mei 2006. Siang harinya, setelah anak-anak SMA pulang sekolah, suasana akan bertambah ramai karena puluhan pelajar dan mahasiswa berbondong-bondong datang untuk membaca, belajar menulis, berdiskusi, dan berlatih teater.

Tempat belajar yang didirikan penulis novel-novel remaja Gola Gong itu lebih dikenal sebagai Pustaka Rumah Dunia (PRD). Tempat itu dilengkapi sebuah pendopo dan kedai buku mungil, guest house, dua buah perpustakaan dengan koleksi buku sekitar 4.000-an judul, dan sebuah panggung teater berukuran 75 M 2. Tempat belajar yang berdiri di atas tanah seluas 1000 M 2 itu tampak sangat mencolok di tengah suasana kampung yang sepenuhnya dikelilingi pesawahan.

Gola Gong menyebut Pustaka Rumah Dunia sebagai “proyek kebudayaan". Selain Tias Tantaka, istri Gola Gong, aktivitas sehari-hari PRD dikendalikan oleh dua anak buah Gola Gong, yaitu  Ibnu Adam Avicienna dan Firman Venayaksa. Ibnu adalah salah seorang relawan Rumah Dunia, lulusan IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Serang, yang dipercaya sebagai penanggung jawab untuk bidang sastra dan jurnalistik. Dari tangan Ibnu Avicenna telah terbit sebuah novel dan beberapa antologi cerpen yang digarap bersama kawan-kawannya di Rumah Dunia.

Sedangkan Firman Venayaksa, seorang dosen muda di Universitas Tirtayasa (Untirta), Serang, adalah penanggung jawab untuk program Rumah Dunia. Berkat keterlibatnya di Rumah Dunia, sarjana komunikasi Universitas Padjajaran, Bandung, ini pun telah menerbitkan dua novel.

"Meskipun tidak ada pelajaran menulis, setiap sore tempat ini memang ramai. Banyak pelajar dan mahasiswa yang membaca dan belajar menulis. Beberapa aktivis pers mahasiswa di Banten memang sudah biasa datang ke Rumah Dunia saat membuat tabloid atau buletin. Mereka biasanya meminta masukan untuk karya jurnalistik yang tengah mereka kerjakan," kata Firman Venayaksa.



PRD didirikan Gola Gong empat tahun lalu. Menurut Gola Gong, dia memang sengaja menyingkat Pustaka Rumah Dunia dengan PRD, memanfaatkan popularitas Partai Rakyat Demokratik.

“Memang dampaknya luar biasa. Tempat kami jadi gampang diingat orang. Tapi, akibatnya buruknya juga ada. Kami sering dianggap sebagai aktivis Partai Rakyat Demokratisk,” kata Golagong.

Aktivitas Rumah Dunia telah cukup akrab bagi warga Banten. Karena dengan bekerja sama dengan Harian Radar Banten, setiap Kamis para aktivis Rumah Dunia secara rutin bergantian menuliskan segala aktivitas mereka di surat kabar terbesar di Banten itu

Dengan misi besar meningkatkan kualitas SDM kaum muda Banten yang memiliki apresiasi serius atas isu-isu kebudayaan, setiap hari Senin, Rumah Dunia menggelar program yang disebut "Wisata Dongeng". Dari acara ini anak-anak yang terlibat di dalamnya dituntun untuk mampu "memindahkan" dunia ke dalam imajinasi mereka. Anak-anak itu pun diajak "menjelajahi" dunia lewat buku-buku yang dibaca dan berfantasi lewat dongeng-dongeng yang mereka simak.

Setiap Selasa, acara yang digelar adalah “Wisata Gambar”. Dilihat dari jumlah pesertanya yang biasanya diikuti 50 hingga 60-an anak, acara Wisata Gambar tampaknya merupakan program paling disenangi.

“Wisata Tulis dan Studi” merupakan program Rumah Dunia yang diselenggarakan pada Rabu dan Kamis. Program ini adalah acara yang dirancang untuk memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk menuliskan segala hal yang menarik bagi mereka untuk dituliskan. Dengan bimbingan para fasilitator, anak-anak diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk menuliskannya baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Sedangkan teknik seni peran merupakan program lain yang diselenggarakan esok harinya.

Setelah lima hari berturut-turut program-program yang disodorkan Rumah Dunia lebih diperuntukkan bagi anak-anak usia sekolah, program diskusi yang diadakan pada hari Sabtu merupakan agenda mingguan yang diperuntukkan bagi peserta dengan latar belakang yang lebih beragam. Dalam acara diskusi Sabtu sore tersebut, para peserta biasa mendiskusikan beragam tema yang membentang dari persoalan kesenian, dunia perbukuan, pendidikan, dan isu-isu lainnya yang tengah hangat di tengah masyarakat.

Jika program belajar menulis untuk anak-anak usia sekolah diselenggarakan pada Rabu dan Kamis, hari Minggu merupakan waktu untuk belajar menulis yang diperuntukkan bagi para mahasiswa. Materi-materi program yang diselenggarakan dengan waktu tiga bulan tersebut merentang dari teknik menulis karya jurnalistik, sastra, hingga skenario TV. Pada hari yang sama, anak-anak usia sekolah diberikan kebebasan untuk mengekspresikan dirinya. Mereka dipersilakan untuk menulis puisi dan membacakannya di hadapan yang lain, berlatih menari, atau sekadar membaca buku di perpustakan yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak.

Setelah belajar selama beberapa minggu, beberapa peserta angkatan pertama Kelas Menulis Rumah Dunia berhasil membuat antologi cerpen Kacamata Sidik (penerbit Senayan Abadi, 2004). Qizink La Aziva, salah satu peserta, sudah menerbitkan novel Gerimis Terakhir” (penerbut Dar! Mizan, 2004) dan Ibnu Adam Aviciena menuliskan novel Mana Bidadari Untukku (Beranda Hikmah, 2004).

Hingga angkatan kelima, cerpen-cerpen dan esai siswa PRD sudah bertebaran di beberapa majalah Jakarta dan koran lokal. Tiga antologi cerpen dari penulis angkatan pertama sampai kelima dipajang di rak-rak toko buku: Padi Memerah (penerbit MU3, 2005), Harga Sebuah Hati (penerbit Akur, 2005), dan Masih Ada Cinta di Senja Itu (penerbit Senayan Abadi, 2005). Endang Endang Rukmana, siswa angkatan pertama,bahkan mendapatkan penghargaan UNICEF AWARD 2004 dan Adkhilni M.S. mendapatkan penghargaan IKAPI AWARD 2004.

 Kini, Rumah Dunia sudah benar-benar mendunia. Kegiatannya semakin banyak dan berkualitas. Karya-karya para alumninya juga banyak terpublikasi di mana-mana. Dan, satu lagi yang juga penting: Rumah Dunia kini sudah memiliki gedung pertunjukan yang sangat representatif.


«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply