Isbedy Stiawan ZS/Teraslampung.Com
Peta Kelurahan Jagabaya II (google.map) |
Daerah Prumpung Jakarta juga dikenal sebagai pusat pasar bagi mainan anak-anak. Bahkan pasar tradisional ini dikenal sebagai surganya mainan anak-anak.
Selain Jakarta Timur, Prumpung merupakan nama desa di Bumirejo, Kebumen, Jawa Tengah. Nah, di Bandarlampung juga ada Prumpung, sebuah desa di dalam wilayah Kelurahan Jagabaya II, Kecamatan Sukabumi.
Dipastikan warga yang tinggal di Prumpung, Jagabaya II, ini adalah “eksodus” dari Jakarta ataupun Bumirejo, Kebumen. Mereka memang bertenis Jawa.
Hanya Prumpung yang ada di Bandarlampung ini, kesannya negatif. Itu sebabnya, warga setempat berupaya ingin menghapus. Namun upaya itu seperti sia-sia: Prumpung tetap tertanam di benak masyarakat.
Tidak percaya? Anda tanyai setiap warga yang bertempat tinggal atau yang ada di Jalan P. Antasari, bertanyalah: di mana Prumpung? Mereka akan menunjuk Jalan Pulau Bacan. Setelah itu lurus saja hingga menjumpai prempatan, dan belok ke kiri atau Jalan Pulau Ternate. Inilah Prumpung.
Selain dihuni etnis Jawa, warga Tionghoa juga banyak di sini. Konon, etnis Cina di sini merupakan keturunan dari sisa-sisa warga Tionghoa yang gagal pulang ke Negeri Bambu pada masa ketegangan antara Indonesia dan RRC sekitar tahun 1956 (baca cerita pendek “Tak Ada Kapal yang Sandar” karya Isbedy Stiawan ZS dalam Kitab Cerpen Perempuan di Rumah Panggung, Siger Publisher-Lamban Sastra, Oktober 2013 dan cerpen “Kapal ke Cina tak Juga Datang”).
Mereka adalah keturunan Tionghoa, yang pada pemerintahan Orde Lama gagal dipulangkan ke Cina karena kapal yang ingin mengangkutnya tak juga datang-datang.
Warga Tionghoa sebagian tinggal di daerah ini dan menjadi pedagang sayur. Itu sebabnya, di sini pun ada Umbul Kebon Sayur. Sebagian lainnya menempati daerah-daerah di Panjang, Sukaraja, Kunyit, ataupun Bumiwaras. Mereka menjadi warga negara Indonesia sampai sekarang.
Kembali ke Prumpung. Kenapa daerah ini dinamai Prumpung? Adakah hubungannya dengan Prumpung, Jakarta Pusat? Ataukah mereka datang dari Bumirejo, Kebumen, Jawa Tengah?
Pribumi Lampung
Pemilik tanah di Jagabaya ini adalah warga pribumi Lampung. Selain perkebunan milik masyarakat asli Lampung Jagabaya, dulunya daerah ini merupakan belantara.
Sekitar tahun 1960-an, berbondong-bondong warga asal Prumpung Jakarta untuk “mengundi nasib” di Lampung. Karena mereka tak memiliki lahan ditambah membangu “sangu” pas-pasan, akhirnya mereka menumpang tanah di daerah ini.
Sayangnya, para perantau ini memiliki keahlian sangat minim. Talentanya tak begitu menggembirakan. Cara mencari penghidupan pun akhirnya ditempuh, seperti menjadi pengemis atau peminta-minta, memulung barang-barang bekas atau rongsokan, serta mengais di sungai atau kali demi mendapatkan barang-barang berharga
Warga asal Prumpung di sini diperkirakan hanya 50 jiwa. Mereka mendirikan gubuk kecil berdinding geribik atau kardus dan atap rumbia. Gubuk-gubuk itu berdiri di antara perkebunan dan hutan. Apabila pagi datang, mereka tinggalkan gubukunya menuju keramaian. Sebagai pengemis, buruh kasar, pemulung, ataupun berendam di air sungai/kali yang keruh.
Mereka selalu mengatakan dari Prumpung, setiap warga lain bertanya ihwal asal mereka. “Prumpung Jagabaya,” mereka menegaskan.
Prumpung selanjutnya melekat sebagai nama kampung. Padahal kampung ini sejatinya adalah Jagabaya. Penduduknya asli etnis Lampung. Masyarakat mengenal Prumpung, tentu dengan imej negatif. Semisal kampungnya para pengemis, kampung buruh kasar, dan bahkan sempalan-sempalan yang buruk.
Pada saat lahan tanah di daerah ini dijual oleh pemiliknya, sontak komunitas asal Prumpung di sini hengkang. Mereka tak mungkin mampu membeli lahan. Warga asal Prumpung kemudian mencari lahan kosong yang baru. Lagi-lagi, untuk membangun gubuk di tanah dekat bantaran sungai, yang kini bernama Jalan Enang.
Di lahan baru ini, mereka berbaur dengan masyarakat lain dari berbagai etnis di Pulau Jawa. Seperti Cirebon, Madiun, Banten, dan lain-lain..
Bagi warga asal Prumpung, tetap menopang hidupnya dari mengemis. Para pengemis asal Prumpung Jagabaya mudah dikenali: membawa anak-anak—acap di bawah lima tahun—yang digendong atau dibiarkan jalan. Umumnya, anak-anak yang dibawanya tak terurus, penyakitan, dan kurus.
Konon, anak-anak yang dibawa mengemis itu disewa dari warga lain. Sewa-menyewa anak untuk keperluan mengemis sempat menghiasi sejumlah media masa lokal.
Terutama pada bulan Ramadhan, para pengemis di Bandarlampung bertambah banyak. Mereka menyewa kamar-kamar di daerah ini. Nama Prumpung semakin identik sebagai kampungnya pengemis.
Menurut H. Abdul Rochim, ketua Lingkungan III Kelurahan Jagabaya 2, sebenarnya daerah ini sejak zaman Belanda bernama Jagabaya. Setelah terjadi pemekaran, menjadi Jagabaya II.
Sekitar tahun 1970-an, berdatangan warga ke daerah ini.Mereka menumpang lahan-lahan kosong di antara perkebungan/hutan warga pribumi, untuk membangun gubuk. Kehadiran warga sekitar 50 jiwa itu, mengaku berasal dari Prumpung, Jakarta.
Warga pendatang itu tak memunyai keahlian untuk menopang hidupnya di sini. Mereka tinggalkan gubuk-gubuknya selepas subuh, dan pulang pada malam hari. Para “pendatang” itu hanya bisa melakukan “pekerjaan” sebagai buruh kasar, pengemis atau peminta-minta, dan pemulung.
Hal itu juga dibenarkan Ibu Tariwen. Warga Jalan Enang Jagabaya II ini menjelaskan, dulu di daerah ini mayoritas adalah pengemis. Setiap bulan Ramadhan, pendatang semakin banyak. Beberapa gubuk biasanya disewa.
Kini, kata Tariwen, tak hanya pengemis yang tinggal di sini. Tetapi, ada yang sebagai penjual bakso, mie ayam, dan lain-lain.
Meskipun upaya menghapus imej negatif itu telah dilakukan sejak 1980-an, masyarakat masih mengenal Prumpung ketimbang Jagabaya II. Padahal, pengemis semakin berkurang—bahkan nyaris tak ada lagi—sepertinya sulit menghilangkan daerah ini sebagai pusat pengemis.
Sejarah tampaknya senantia membekas, betapa pun buruknya. Prumpung akan selalu disebut dan menjadi nama kampung…*
No comments: