Isbedy Stiawan ZS*
Ada alat sosialisasi yang membentang di atas jalan raya dengan ukuran besar dan gambar mencolok. Ada pula media kampanye yang berjuntai, ditancapkan di tanah di tepi jalan. Ada juga yang kampanye dengan sarana korek api bergambar partai dan wajah caleg.
Kita bisa membedakan antara politikus yang “baru” bertarung dengan politikus berpengalaman alias “incumbent” pada bentuk sosialisasinya. Seorang teman saya yang ikut menjadi caleg untuk Provinsi Lampung memerinci perbedaan itu. “Politikus baru” biasanya lebih jor-joran berkampanye, baik dengan cara rajin turun menemui warga calon pemilih maupun memasang poster/baliho. Sedangkan “politisi incumbent” biasanya agak nyantai. Mereka tidak bergerak langsung ke bawah menemui calon pemilih, tetapi melalui orang-orangnya untuk bergerak mendatangi masyarakat.
Kata kunci dari “politikus incumbent” (maksudnya, anggota dewan yang kembali mencalonkan diri) lebih banyak diam di rumah, dan orang-orangnya saja yang bergerak mendatangi calon pundi suara. Artinya, yang “menemui rakyat” bukan si caleg melainkan “uangnya” yang dibawa orang-orangnya alias tim sukses (TS).
Karena itu, sohib saya menyimpulkan: di era yang serbapragmatis yang terpenting adalah modal. Berapa besar modal yang dipunyai caleg jika hendak mulus ke gedung Dewan. Kalau hanya pas-pasan, sebaiknya pasrah: menanti keajaiban Tuhan. Persoalannya: masih adakah keajaiban?
Dengan demikian, masih kata kawan saya dalam obrolan di suatu malam hingga jelang pukul nol nol, jangan mempertaruhkan nama ataupun kredibilitas sebagai calon legislatif kalau tidak memiliki uang. Soal visi dan misi ataupun moralitas menjadi nomor sekian di mata rakyat yang pragmatis dan praktis.
Tengok saja, yang menjadi anggota legislatif cenderung bermodal besar. Mereka memiliki kaki tangan di tingkat bawah. Mereka bisa menguasai Panitia Pemungutan Suara (PPS). Ya, di tingkat inilah segala sesuatu bisa saja berubah dan berganti.
Para caleg incumbent juga banyak yang cerdik. Apabila pada pileg lima tahun sebelumnya, misalnya, sebagai caleg dari Dapil A maka pileg tahun ini ia mesti pindah ke Dapil B. Pasalnya, kalau ia tetap di dapil A , untuk bisa lolos sebagai anggota Dewan hanya mimpi.
Kesimpulan dari teman saya yang menjadi caleg itu, biarlah nomornya yang akan "bicara" di hadapan rakyat. Ia tak punya modal di atas Rp1 miliar.
Memang masyarakat saat ini cenderung pragmatis sekaligus apatis dengan perubahan yang (akan) dilakukan para anggota Dewan. Itu sebabnya, belakangan ini menyebar di masyarakat bawah istilah “Nomer piro, wani piro?” (nomor berapa, berani berapa?)
Rakyat bawah tak mau tahu siapa caleg dan dari partai mana ia diusung. Bagi mereka, berapa nomornya yang akan dipilih, dan berani (bayar) berapa? Kalau sudah deal, jangan berpuas dulu apalagi optimistis pasti menangguk suara terbanyak dan lolos. Pasalnya, mesti ada orang-orang yang dipercaya di tingkat Petugas Pemungutan Suara (PPS). Konon, di tingkat ini “para pesulap” berbaju petugas bermunculan.
Memang sulit dibuktikan. Tetapi, kabar sudah begitu santer dan banyak buktinya. Logikanya, PPS pertama kali perolehan suara dihitung atau direkapitulasi, sebelum dikirim ke kelurahan, kecamatan, kabupaten, dan provinsi.
Ayo, nomer piro, wani piro? Kalau Anda sudah pasang tarif, rakyat akan memilih nomer Anda. Itu pun kalau tarif Anda lebih besar dari caleg-caleg lain. Sudah sering membawakan sembako sebagai oleh-oleh. Setelah itu, mereka mempersetankan apakah Anda akan berjuang untuk rakyat atau mengembalikan modal yang telah dibagi-bagi ke masyarakat.
Apakah Anda akan kembali menemui konstituen atau tidak sama sekali, tidak menjadi soal bagi rakyat. Pemilu 5 tahun hanyalah sebuah pesta (bukan) demokrasi, tetapi tes bagi calon pekerja di gedung Dewan. Konon, juga seperti juga tes-tes CPNS: siapa yang besar menyetor uangnya, maka dialah yang diterima…
No comments: