Iwan Gunadi*
Gaji seperti itu juga bisa bikin ngiler profesor riset golongan IV/e di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), misalnya, yang menerima gaji Rp5,2 juta per bulan. Jumlah tersebut sudah mentok karena golongan IV/e merupakan golongan tertinggi. Sedangkan gaji guru PNS golongan IV/a tadi bisa bertambah seiring kenaikan golongan.
Besarnya gaji guru PNS di beberapa daerah lebih disebabkan kebaikan pemerintah daerah (pemda) masing-masing. Sebab, gaji pokok dan tunjangan sertifikasi yang dipasok Pemerintah Pusat sama besar. Misalnya, untuk golongan IV/a gaji pokoknya Rp2,3 juta dan tunjangan sertifikasi sebesar satu bulan gaji pokok. Yang berbeda adalah tunjangan dari pemda yang besarnya bergantung pada kemampuan keuangan dan pemda masing-masing.
Struktur gaji yang lebih didominasi tunjangan sesungguhnya rawan ketaktransparanan dan ketakadilan. Nyatanya, di luar mereka, gaji guru PNS umumnya tetaplah rendah. Hanya sebagian kecil pemda yang memberikan tunjangan lumayan besar. Masih banyak guru yang belum menerima tunjangan sertifikasi. Jadi, sandaran utama sebagian besar guru PNS tetaplah gaji pokok dari Pemerintah Pusat.
Guru Honorer
Guru honorer di sekolah negeri bisa lebih ngiler lagi membaca angka-angka tadi. Banyak guru honorer di sekolah negeri digaji Rp100 ribu—Rp300 ribu per bulan. Malah, masih ada guru honorer yang ditetesi Rp75 ribu per bulan. Guru honorer yang mengantongi Rp1 juta ke atas per bulan sangat langka.
Gaji guru tetap, guru tak tetap, dan guru honorer di sekolah swasta umumnya juga tak lebih baik. Entah itu di sekolah mewah dengan uang masuk dan uang bulanan yang sangat besar maupun sekolah yang lumayan bagus. Apalagi di sekolah pinggiran yang uang masuknya sebenarnya tidak terlalu rendah.
Masih banyak guru tetap dan guru tak tetap di sekolah swasta bergaji di bawah upah minimum regional (UMR). Apalagi, guru honorernya. Tak sedikit yang berhonorer di bawah Rp300 ribu. Di sekolah swasta dengan uang masuk dan bayaran bulanan besar pun, gaji guru tetap dan guru tak tetap tak sebanding dengan pendapatan yang diterima sekolah tersebut dari orang tua siswa.
Kita ambil kasus sebuah sekolah SMP swasta di Jakarta. Guru tetap bergaji sekitar Rp4,5 juta per bulan. Sedangkan, guru tak tetap diganjar Rp4 juta per bulan. Angka itu pun masih harus dipotong pajak. Tak ada kepastian pajak dibayarkan ke pemerintah lantaran guru tak pernah diberi bukti pembayarannya. Kalau di Jakarta saja seperti itu, bisa dibayangkan bagaimana di luar Jakarta, termasuk Lampung.
Angka tadi memang terasa besar. Tapi, coba tengok berapa yang diterima sekolah itu dari orang tua siswa. Uang masuknya Rp8 juta dan iuran bulanannya Rp800 ribu. Ada lebih dari 300 siswa di SMP itu pada tahun ajaran 2011—2012.
Kalau uang masuk rata-rata Rp7 juta per siswa, sekolah ini meraup Rp2,1 miliar selama tiga tahun. Kalau iuran bulanan Rp700 ribu per siswa, SMP ini diguyur Rp7,56 miliar. Jadi, total pendapatan selama tiga tahun di luar biaya daftar ulang, buku pelajaran, dan uang les bidang studi sekitar Rp9,66 miliar.
Di SMP tersebut ada 1 kepala sekolah, 6 guru tetap, 12 guru tak tetap, 2 guru honorer, 1 tata usaha, dan 1 pesuruh. Kalau masing-masing bergaji Rp6 juta, Rp4,5 juta, Rp4 juta, Rp2,5 juta, Rp3 juta, dan Rp2 juta, pengeluaran gaji Rp91 juta per bulan atau atau Rp1,092 miliar per tahun. Kalau tiap tahun ada kenaikan 10%, biaya gaji dan honor selama tiga tahun sekitar Rp3,461 miliar atau 35,82% dari pemasukan.
Persentase tersebut akan makin mengecil jika ditambah biaya daftar ulang, uang buku, dan uang bulanan les bidang studi. Persentase seperti itu tentu tergolong rendah untuk biaya sumber daya manusia (SDM).
Di banyak sekolah swasta yang lain di negeri ini, sistem penggajian guru tetap, guru tak tetap, dan guru honorer kurang lebih sama. Kalau pun uang masuk jauh lebih tinggi serta jumlah siswa lebih banyak, hal itu tak menjamin gaji guru akan berkali lipat dari contoh itu atau sebanding dengan pendapatan sekolah.
Bahkan, masih banyak sekolah swasta yang menerapkan sistem honorarium guru tak tetap dan guru honorer dengan cara yang absurd, baik negeri maupun swasta. Sistemnya adalah tarif honor per jam pelajaran dikalikan jumlah jam pelajaran yang menjadi beban guru selama seminggu. Penghitungan selama seminggu itulah yang ditetapkan sebagai honor per bulan.
Misalnya, tarif honor per jam pelajaran Rp40 ribu dan seorang guru mengajar 24 jam pelajaran seminggu, maka honornya sebulan Rp960 ribu. Hanya sedikit sekolah swasta yang mematok tarif honor Rp40 ribu per jam pelajaran. Malah, masih banyak sekolah swasta mematok di bawah Rp30 ribu per jam pelajaran.
Gaji Minimum
Angin segar seolah berembus ketika Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (BPSDMP dan PMP Kemdikbud), Syawal Gultom, 11 November 2011 lalu, melansir informasi bahwa pemerintah berencana menetapkan standar gaji minimum bagi guru honorer dan guru sekolah swasta.
Namun, meski standardisasi tersebut mewajibkan pemda membuat peraturan daerah yang harus dipatuhi sekolah swasta. Apakah kewajiban itu akan dipatuhi pemda? Kalaupun pemerintah daerah melaksanakannya, apakah sekolah swasta akan mematuhi?
Jangan-jangan rencana tersebut hanya akan menjadi macan ompong ketika pemda membangkang sebagaimana sering terjadi selama ini dan sekolah swasta tak bisa ditekan karena pintar "bergerilya." Akhirnya, penistaan guru melalui gaji yang menghina seperti tanpa ujung.(*)
*Pemerharti pendidikan, tinggal di Tangerang
No comments: