Isbedy Stiawan ZS/Teraslampung.Com
"Pak Ogah" beraksi (Foto: Isbedy SZS) |
Lampung Tengah—Sejak Jembatan Terbanggi Besar tak bisa dilalui akibat rusak, kendaraan yang meliwati jalan lintas sumater (jalinsum) Lampung Tengah ini harus mengocek saku. Pasalnya, Pak Ogah bagai jamur di musim hujan.
Para Pak Ogah dari warga setempat mengusai empat wilayah di sekita Jembatan Terbanggi Besar, yaitu di dua pintu jembatan lama, dan dua pintu bagi kendaraan yang memasuki Terminal Bettan Subing.
Munculnya para Pak Ogah membuat kesal pengendara yang melintasi jalan lintas tengah Sumatera ini. Para pengguna jalan harus mengeluarkan kocek kalau ingin melintasi jalan Lampung Tengah ini dengan aman.
Selain itu, para Pak Ogah yang mayoritas anak-anak muda setempat juga saling berebut lahan (kaveling). Akibatnya, tiga hari lalu sempat terjadi keributan di antara mereka.
Boy, warga Terbanggi Besar membenarkan adanya praktik Pak Ogah untuk memanfaatkan kerusakan jembatan yang dibangun sekitar 1983/1984. Sejak kerusakan jembatan, kendaraan dialihkan ke jembatan lama yang dibangun tahun 1960-an untuk kendaraan pribadi dan umum. Sedangkan kendaraan truk dan bus dialihkan ke Terminal Bettan Subing.
“Bagaimana tidak memicu keributan, penghasilan mereka dari sana bisa mencapai Rp300 ribuan perhari,” kata Boy, Minggu (22/02/2014). Meskipun setiap wilayah dikuasai lebih dari 10 orang, lanjut Boy, belum bisa menampung para pemuda di sana. Akibatnya perebutan lahan terjadi.
Kendaraan kecil memasuki jembatan lama (ft isb) |
Itu sebabnya, kendaraan truk pada Jumat (21/02/2014) siang, mengular di dekat Jembatan Terbanggi Besar dan sekitar Tugu Pepadun Gunungsugih. Seratusan truk itu, selain antre untuk masuk Bettan Subing juga mogok karena mahalnya retribusi ilegal tersebut.
Menurut Boy, retribusi ilegal yang dilakukan para Pak Ogah bukan saja terjadi di Terbanggi Besar. Bagi kendaraan yang hendak ke Palembang, Sumatera Selatan, memilih jalur alternatif Kota Gajah juga "dipalak" di daerah Buyut.
Roki, pengendara mobil pribadi, menyesalkan adanya praktik retribusi ilegal yang memanfaatkan kerusakan Jembatan Terbanggi Besar. Mengingat arus lalulintas Sumatera di Lampung Tengah sangat padat. Umumnya mereka bukan saja warga Lampung, tetapi luar provinsi.
“Jangan sampai imej masyarakat luar terhadap Lampung menjadi makin buruk. Sudah jalan rusak di sepanjang jalan antara Wates hingga Terbanggi Besar, ditambah lagi pungutan liar sebab rusaknya jembatan,” katanya.
“Saya berharap Pemkab Lampung Tengah segera memperbaiki jembatan yang rusak,” kata Roki.
Boy dan Roki memperkirakan perputaran uang di sekitar jembatan ini mencapai Rp15 jutaan perhari. “Berapa penghasilan satu bulannya,” kata Roki.
Antrean truk pada Jumat (22/02) |
Sejumlah warga pengguna jalan lintas tengah Sumatera yang ditemui, berharap praktik pungutan liar tersebut dihentikan. Karena merugikan pengendara, arus lalulintas juga tetap tidak normal.
“Aneh kalau tiap kendaraan yang liwat jembatan lama atau Bettan Subing dipungut uang, memangnya jalan itu milik perorangan? Jalan itu punya negara,” tandas Wardana, warga Kotabumi setelah keluar dari jembatan lama.
Tidak bersahabat
Para Pak Ogah tersebut cenderung tidak bersahabat. Mereka sering memaksa pengendara agar membayar retribul ilegal. Hal itu diakui Roki, ia melihat langsung bagaimana salah satu Pak Ogah dengan wajah diseramkan meminta pengendara memberi uang liwat.
"Ada pengendara mobil pribadi karena tidak membayar, seorang warga memaki 'lain kali kalau lewat sini harus bayar' membuat warga itu pasi," cerita Roki.
Sementara seorang warga melarang Teraslampung.Com saat hendak mengambil gambar. Bahkan, "Pak Ogah" itu mengancam akan merusak kamera wartawan. Beruntung bisa mendapatkan beberapa gambar, setelah menumpang salah satu kendaraan pribadi warga Taman Pahlawan, Kotabumi, Lampung Utara.
No comments: