» » Festival Krakatau Punya Siapa?


Isbedy Stiawan ZS

ADA wacana Festival Krakatau (FK) tahun 2014 akan dihelat bulan Mei, dan tempat pelaksanaan kembali di Kalianda. Artinya, dua tahun berturut-turut Kabupaten Lampung Selatan menjadi tuan rumah.

FK dihelat sebagai ikon pariwisata Provinsi Lampung. Mengambil nama Krakatau, untuk mengingatkan atau mengenang meletusnya Gunung Krakatau yang keberadaannya di Selat Sunda, pada bulan Agustus 1883.

Jika momentum dahsyatnya letusan Gunung Krakatau yang dipilih, semestinya FK dilaksanakan pada bulan Agustus, sebagaimana pada awal-awal FK pernah dilaksanakan. Namun, pada perkembangan Festival Krakatau selajutnya, kerap berubah-ubah: baik tanggal apalagi bulan.

Tidak konsensten jadwal FK ini makin membingungkan dunia kepariwisataan di Lampung. Wisatawan, khususnya asing, sulit menjadikan FK sebagai tujuan wisata mereka. Sebab bagi wisataman mancanegara, menjadwalkan kunjungan wisata sudah jauh-jauh hari direncanakan.

Karena itu wajar saja apabila FK hanya dinikmati segelintir wisatawan—itu pun lokal—dan hanya kebetulan mereka yang singgah di Lampung. Bahkan tidak sedikit masyarakat Lampung yang tidak menahu kapan pelaksanaan FK termasuk pula materi-materi yang ada di dalam FK.

Sehingga, semakin wajar lagi, pertanyaan pun mencuat: FK punya siapa? Apakah pelaksanaan FK ini hanya kegirangan pemerintah? Keriangan para eksekutif yang merasa kesuksesan FK hanya dari kehadiran para (perwakilan) duta besar, yang notabene karena diundang dan difasilitasi?

Memang naïf jika kehadiran para dubes dalam helat FK sebagai indikasi berhasilanya FK, dengan mengenyampingkan parameter lainnya. Kecuali para dubes itu hadir karena panggilan, keinginan, kepahaman mereka atas betapa bagusnya FK. Lalu mereka tidak difasilitasi apa-apa, selain sambutan dan pengamanan.

Padahal FK bisa dijual. Pariwisata Lampung bisa dipromosikan untuk didagangkan. Objek-objek wisata di sini tak kalah bagusnya dengan daerah-daerah lain. Tetapi kita tak memiliki marketing yang mampu meyakinkan wisatawan. Meyakinkan bahwa objek wisata di Lampung tak akan mengecewakan, daerah ini aman dan nyaman, lebih baik memilih terbang ke Lampung jika di Bandara Soekarno-Hatta tinimbang ke daerah lain, dan seterusnya.

Lalu infrasttuktur menuju objek wisata mulus dan tidak melelahkan. Menuju Gunung Anak Krakatau lebih gampang dari Lampung Selatan ketimbang dari Provinsi Banten, misalnya. Transportasi selalu ada dan tak terlalu mencekik.

Ada tiga unsur penunjang dalam pariwisata, meski hanya “S” yang terakhir sulit dan tidak mungkin diterapkan di Provinsi Lampung maka “S” ini dapat diganti dengan Safety atau Scurity.

Bahwa image Lampung menyeramkan, bahwa Rajabasa banyak preman, masih menggelayuti masyarakat luar Lampung. Belum lagi di objek-objek wisata yang belum memberi kenyamanan bagi pengunjung. Ini semua harus terlebih dulu dibereskan.

Sekiranya Festival Krakatau dapat dilaksanakan bertepatan dengan hari dan bulan meletusnya Gunung Krakatau, ini akan membangkitkan ingatan akan peristiwa 1883 yang telah mendunia itu. Karena pelaksana hanya konsisten dengan hari peringatan kedahsayatan letusan Gunung Krakatau, sebab ini telah dijadikan pintu untuk masuk ke dunia wisata di Lampung.

Di dalam rumah FK ini, sebagaimana rumah tangga akan ada benda-benda seperti meja, kursi, perabotan, vigura, lemari, dan sebagainya. Begitu pula FK di isi dengan berbagai perhelatan kesenian dan kebudayaan khas Lampung. Artinya, senibudaya non-Lampung tak perlu mendapat tempat lebih besar.

Kenapa? Wisawatan asing tak perlu berpayah-payah ke sini kalau ingin menyaksikan seinibudaya Sunda, Bali, Jawa, Batak dan sebagainya. Karena keaslian akan mereka peroleh di tempat asa senibudaya itu lahir dan hidup.

Pempek adalah makanan khas Palembang. Di Lampung bertebaran penjual pempek, namun akan terasa benar-benar “pempek Palembang” jika kita membelinya di Palembang. Demikian pula senibudaya lainnya. Jadi, pelaksana mesti berhitung porsi mana yang lebih dibesarkan dan mana yang dikurangi.

Begitulah. Ada upaya “pemaksaan” kebijakan atas FK ini. Dari penetapan waktu dan tempat pelaksanaan. Sehingga perubahan ini akan berdampak pada ketertiban jadwal dan kedatangan wisatawan.

Isu pun akhirnya berkembang. Dimajukan jadwal FK ke bulan Mei, tak lain karena “keinginan” Gubernur Lampung Sjahroedin ZP—yang kita maklumi ini tahun terakhir jabatan gubernur. Jika dilaksanakan bulan Julia atau Agustus, bagaimana sekiranya Pemilihan Gubernur benar-benar jadi dilaksanakan?

Tempat FK dipindah ke  Kalianda, sebab hubungan Bupati Lampung Selatan dengan Gubernur Lampung sebagai anak dan ayah. Boleh jadi untuk “memarwahkan” Rycko Menoza ZP di hadapan masyarakat Lampung Selatan.

Kita tahu masalah sosial di Lampung Selatan, khususnya di Kalianda, belum benar-benar terhapus bersih. Melalui helat FK ini diharapkan bisa menghapus ketegangan-ketengan sosial yang ada, setidaknya bisa meminimalisasi.

Dan, isu yang tak kalah penting, bahwa 2014 adalah tahun politik. Akan digelar pemilihan legislatif (pileg), pemilihan presiden (pilpres). Saya tak menyebut pilgub, karena rasanya amat suit bisa dilaksanakan di tahun 2014. Bahkan besar kemungkinan dilaksanakan tahun depan.

Marilah kita tekankan pada pilpres. Bukan tidak mungkin FK ke-24 ini Kalianda pada Mei 2014 ini akan menghadirkan Aburizal Bakrie (ARB), calon presiden yang diusung Partai Golkar. ARB ada putra (daerah) Lampung. Sangat mungkin dia akan diundang dan datang, lalu menjadikan momen FK sebagai kebun menyemai simpatisan. Apalagi, ARB telah menggadang-gadangkan Sjahroedin ZP sebagai Menteri Dalam Negeri sekiranya ia memenangi pilpres.

Seandainya pilgub benar-benar dilaksanakan 2015, maka perhelatan FK di Kalianda menjadi momen bagi Rycko Menoza jika sekiranya ia benar-benar hendak maju dalam laga pilgub. Hal ini terkait-erat dengan prediksi politik di Lampung, dari penundaan pilgub yang semula akan dlaksanakan tahun 2013, lalu Februari 2014 berbarengan dengan pileg, sampai wacana pilgub dilaksanakan setelah pilpres atau digelar pada tahun depan.

Benang merahnya adalah Bupati Lampung Selatan sudah pindah rumah: dari PDI Perjuangan ke Partai Goikar. Kemudian diperkuat, konon, mulai tampak (terasa?) hubungan baik antara Ketua PDI P Lampung Sjahroedin ZP dengan Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Thabbrani. Indahnya…

Lantas, di posisi mana Festival Krakatau dan milik siapa? Kalau Festival Krakatau adalah perhelatan masyarakat Lampung, sudahkah bemanfaat bagi rakyat juga seniman dan budayawan Lampung? *

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply