Alasan penolakan AJI Indonesia terhadap Permen tersebut adalah: pertama, migrasi dari siaran televisi analog ke digital seharusnya menjadi program prioritas pemerintah atau antardepartemen dan Komisi I DPR-RI.
Kedua, distribusi kanal digital harus dilakukan secara bertahap sesuai skala ekonomi suatu daerah dan harus dibarengi syarat yang ketat tentang keragaman isi siaran dan konsistensi isi siaran sebagaimana yang diajukan melalui proposal program dari lembaga penyelenggara siaran, baik LPS, LPP, LPL, mapun LPK.
Ketiga, Distribusi kanal digital harus mempertimbangkan reputasi dan rekam jejak (track record) para pemegang izin frekuensi pada era analog. Mereka yang terbukti kerap menyalahgunakan frekuensi publik untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan, tidak patut mendapatkan mandat untuk mengelola domain publik dalam era penyiaran digital.
Ketua AJI Indonesia, Eko Maryadi, mengatakan dalam migrasi dari siaran televisi analog ke digital seharusnya pemerintah menata ulang distribusi frekuensi yang sejak kekuasaan otoriter Orde Baru hanya dibagi-bagi kepada kroni lalu diperjualbelikan begitu saja diantara sesama pemodal (industri penyiaran) besar.
“Seharusnya pemerintah juga menjamin peningkatan kualitas isi siaran yang lebih kreatif dan bermanfaat bagi publik dengan memberikan jaminan dan proteksi kepada lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran lokal, dan penyiaran komunitas, serta tidak menyerahkan distribusi kanal (digital) kepada mekanisme pasar,” kata Eko.
Selain itu, pemerintah seharusnya memberikan peluang bagi munculnya pemain-pemain penyiaran (lokal) baru dan tidak boleh melanjutkan apalagi melanggengkan oligopoli atau pemusatan kepemilikan di tangan segelintir orang atau kelompok usaha (nasional), hanya semata-mata karena kesiapan modal dan infrastruktur.
Sebagaimana yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir, untuk menjawab tuntutan zaman dan meningkatkan kualitas penyiaran, pemerintah Indonesia, melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengeluarkan rencana perpindahan (migrasi) dari sistem penyiaran analog ke teknologi digital.
Dengan teknologi digital, satu kanal frekuensi dapat digunakan oleh enam hingga dua belas saluran program siaran. Sedangkan dalam teknologi analog, satu kanal hanya bisa digunakan oleh satu stasiun penyiaran. Setelah pemberlakuan teknologi digital, diperkirakan ada sekitar 1.000 kanal televisi dengan kualitas gambar dan suara lebih baik dibanding teknologi analog.
Untuk mengantisipasi perkembangan zaman, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Kominfo No. 22 tahun 2011 tentang penyelenggaraan siaran TV digital terestrial tak berbayar (free to air).
Peraturan tersebut pada intinya: (1) Membagi industri penyiaran menjadi dua, yakni penyelenggara multipleksing (penyedia infrastruktur siaran digital), dan penyelenggara isi siaran (content provider) ; (2) Membagi wilayah Indonesia dalam zona-zona siaran dan menyerahkan pengisian zona tersebut kepada pihak swasta dengan jaminan pemerintah (penyelenggara multipleksing); dan (3) Semua lembaga penyiaran (swasta) yang telah memperoleh izin di analog, otomatis mendapat izin siaran digital, meskipun tidak semua lembaga penyiaran (swasta) dapat menjadi penyelenggara multipleksing.
Sejak Permen Kominfo Nomor 22/2011 dikeluarkan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan komunitas penyiaran telah menyuarakan penolakan seraya mengingatkan bahaya di balik aturan tersebut. Bahaya terbesar ialah Permen Kominfo tersebut hanya melanjutkan sistem penyiaran (digital) yang monopolistis, oligarkis, Jakarta sentris, dan jauh dari kepentingan rakyat Indonesia secara umum.
Dengan aturan tersebut, semua kanal digital yang jumlahnya banyak itu dapat diberikan pemerintah kepada pemodal yang kuat atau pemenang tender, tanpa ada perlindungan yang proposional untuk Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran Lokal (LPL), Lembaga Penyiaran Berjaringan (LBJ), maupun Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK).
Menurut AJI, hal itu, terbukti kemudian yang memenangi tender dan memiliki kanal TV digital akhirnya Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang selama ini mendominasi sistem penyiaran analog, dengan segala problematika dan perilakunya yang mengecewakan publik.
“Yang terparah, Permen Kominfo Nomor 22/2011 tidak memiliki dasar hukum dalam Undang Undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran. Apalagi UU Penyiaran belum meletakkan dasar norma bagi diselenggarakannya siaran digital, sehingga pemain TV digital tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk beroperasi,” kata Eko Maryadi.
“Terbukti kemudian, pada 2013, Mahkamah Agung (MA) membatalkan Permen Kominfo Nomor 22/2011 karena tidak memiliki dasar yuridis dan sandaran Undang Undang yang berlaku,” Eko menambahkan.
Menurut Eko putusan MA juga membatalkan klausul switch-off tahun 2018, dan menganggap pembagian pemain penyelenggara multipleksing dan lembaga penyiaran tidak berlaku karena tidak memiliki dasar hukum.
Ironisnya, kata Eko, putusan Mahkamah Agung tersebut dijawab Kementrian Kominfo dengan menerbitkan aturan baru, yakni Permen Kominfo 32/2013 yang secara substansi sama, dan hanya menghilangkan istilah-istilah teknis yang tidak terdapat dalam UU Penyiaran. Kemenkominfo juga menganggap putusan MA tidak berlaku surut, sehingga hasil-hasil tender di lima zona yang telah dikuasai pihak swasta nasional, tetap diakui dan dilanjutkan.
“AJI mempertanyakan pandangan non-retroaktif atau tidak berlaku surut dari Kominfo, sekaligus mendukung putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Permen tersebut. Bagaimana mungkin sebuah aturan (Permen Kominfo Nomor 22/2011) yang tidak punya basis hukum dan telah dibatalkan MA justru diteruskan (Permen Kominfo Nomor 32/2013) implementasinya di lapangan?"ujar Eko Maryadi.
Koordinator Divisi Penyiaran AJI Indonesia Dandhy Dwi Laksono bahkan menilai Menteri Kominfo Tifatul Sembiring melakukan blunder politik yang bisa menjatuhkan kredibilitas pemerintah Indonesia di mata publik. AJI melihat, revisi UU Penyiaran yang mestinya bisa menjadi payung hukum dalam mengatur tata cara migrasi siaran analog ke digital, belum tuntas dan tidak diberikan prioritas.
"Pemerintah terlihat tidak sungguh-sungguh merespon hak inisiatif DPR yang telah menyusun Rancangan UU Penyiaran yang lebih tegas dan demokratis dalam menjamin keberagaman isi siaran dan keberagaman kepemilikan lembaga siaran", kata Koordinator Divisi Penyiaran AJI Indonesia, Dandhy Dwi Laksono. (RL)
No comments: