Penambanban batubara (ilustrasi) |
"Langkah penerapan UU Minerba ini sesuai dengan negara pertambangan seperti Indonesia. Berbeda dengan Jepang dan Korea yang tidak mempunyai lahan pertambangan, tetapi mereka mempunyai pabrik smelter yang sangat maju," kata Zaki, Senin (10/2).
Menurut Zaki dengan adanya tahap hilirisasi di Indonesia, maka konsep multiplayer akan terjadi. Sebab, selain menaikkan nilai tambah mineral, proses pengolahan dapat membantu pabrik pupuk. Hal ini didasari karena dalam tahap pengolahan mineral, akan menghasilkan zat buang, seperti asam sulfat, zat ini dapat dijadikan bahan utama dalam pembuatan pupuk.
“Selain itu, perguruan tinggi di Indonesia telah mempunyai lulusan metalurgi yang siap untuk memajukan Tanah Air,” ujarnya.
Penerapan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (minerba) sebagai pengganti dari UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, mengharuskan perusahaan tambang melaksanakan proses hilirisasi terhadap mineral mentah atau biji (ore) yang diperoleh. Pasalnya, produksi biji mentah hasil pertambangan Indonesia selalu diekspor keluar negeri untuk diolah lebih lanjut.
Kondisi itulah yang melandasi pemerintah Indonesia merancang adanya tahap lanjutan terhadap hasil pertambangan tersebut sebelum diekspor ke luar negeri. Khususnya, terkait kewajiban pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian tambang (smelter) bagi perusahaan tambang yang beroperasi di tanah air.
Sebelumnya, pada UU No.11/1967 produksi hasil pertambangan berupa biji mineral dapat diekspor secara besar-besaran ke luar negeri dan masih belum adanya proses hilirisasi yang terumus secara kongkrit. Nilai tambah yang dimaksud akan menaikkan nilai ekspor suatu mineral, contohnya pada ekspor bijih mineral bauksit yang mencapai 47,01 juta ton pada periode Januari - November 2013 dengan hasil ekspor sebesar $40 per ton, sedangkan apabila bijih bauksit tersebut memasuki tahap pemurnian terlebih dahulu maka akan menaikkan nilai ekspor sebesar 10 kali dari kondisi bijih.
Menindaklanjuti hal tersebut, Zaki selaku Ketua Tim Perumus Percepatan Hilirisasi pada tahun 2013 lalu merekomendasikan agar agar pemerintah tidak mengeluarkan rekomendasi ekspor bijih mineral kepada perusahaan pertambangan yang belum melakukan studi kelayakan dan proses perancangan fasilitas pengolahan dan pemurnian. Pasalnya, langkah ini dinilai agar pabrik smelter tersebut dapat didirikan dengan cepat.
Saat ini, Indonesia sedang membangun pabrik pengolahan dan pemurnian hasil tambang (smelter) dengan target sejumlah 66 pabrik siap digunakan beberapa tahun kedepan. Pabrik smelter yang sudah sampai tahap 100 persen antara lain PT Manoken Surya di Cikarang untuk zirkon, PT Delta Prima Steel (pasir besi), PT Meratus Jaya Iron Steel di Kalsel (besi), PT Cilegon Indofero (nikel), PT Krakatau Posco (besi), Indotama Ferro Alloy (mangan), PT Indonesia Chemical Alumina di Tayan (bauksit), dan PT Cahaya Modern Metal Mining (nikel). Selanjutnya, sebanyak 10 smelter mencapai progres 31-50 persen atau memasuki tahap pertengahan konstruksi, dan 25 unit tahap akhir konstruksi (51-100 persen). Di luar itu, 112 pabrik sedang dalam tahap studi kelayakan.
Di sisi lain, penerapan UU Minerba tersebut juga menimbulkan permasalahan pada perusahaan yang masih belum membangun pabrik smelter. Kondisi ini mengharuskan pemerintah untuk memberikan tenggang waktu selama tiga tahun melalui Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2014 dan Permen ESDM No 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri masih mengizinkan ekspor mineral olahan atau konsentrat hingga 2017.
Sesuai Permen ESDM 1/2014, kadar minimum konsentrat yang bisa diekspor adalah tembaga 15 persen, bijih besi 62 persen, pasir besi 58 persen dan pelet 56 persen, mangan 49 persen, seng 52 persen, dan timbal 57 persen. Hal ini bertujuan untuk mempercepat berdirinya pabrik pengolahan tersebut.(Teguh/ITB)
No comments: