» » » » Mengelola Kebudayaan (4)

Ignas Kleden

Kenyataan kedua yang patut dibahas adalah masalah hukum, khususnya masalah penegakan hukum atau law enforcement. Seringkali kita mendengar dan membaca bahwa masalah pelanggaran hukum seperti korupsi yang meluas seperti sekarang ini, disebabkan karena belum mendalamnya kesadaran hukum pada diri seseorang atau sekelompok orang.

Dalam pernyataan seperti itu ada pengandaian bahwa pengetahuan tentang hukum dan nilainilai
hukum dalam lapis mental-simbolik kebudayaan adalah faktor yang paling menentukan penegakan hukum. Namun demikian, di sini dilupakan bahwa penegakan hukum juga sangat tergantung pada praktek menjalankan hukum dalam perilaku sosial seseorang, khususnya perilaku para pejabat dan pemegang kekuasaan yang harus memberi contoh penegakan hukum.

Kalau menteri kabinet, anggota DPR, pemimpin partai politik, para hakim, dan bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi sendiri melakukan korupsi dengan menerima suap, maka lapis sosial dalam kebudayaan yang mendukung penegakan hukum menjadi sangat goyah dan rapuh dan mungkin sudah roboh sama sekali.Dengan lain perkataan, bukan saja korupsi terjadi karena  rendahnya kesadaran hukum, tetapi sama benarnya untuk mengatakan bahwa meluasnya praktek korupsi telah menyebabkan melemahnya kesadaran hukum.

Dalam hubungan itu penegakan hukum diperbaiki tidak saja dengan memberi kursus hukum, mengadakan lokakarya dan pembekalan mengenai masalah hukum (yaitu membenahi sistem pengetahuan dan sistem nilai), tetapi juga memperkuat basis sosial untuk penegakan hukum dengan cara memberi hukuman seberat-beratnya kepada pelaku korupsi. Kalau pengadilan memerintahkan seorang koruptor kakap untuk membayar sejumlah uang dalam jumlah yang jauh lebih kecil dari uang negara yang telah dikorupsinya, maka hukuman seperti itu tidak akan menimbulkan efek jera pada pelaku korupsi, dan malahan mengundang orang lain untuk coba melakukan korupsi yang sama. Dikatakan secara teknis: sejauh menyangkut penegakan hukum, maka bukan saja kesadaran hukum yang mempengaruhi penegakan hukum, tetapi penegakan hukum akan memperkuat kesadaran hukum.

Dua kasus ini dapat menunjukkan kompleksitas hubungan saling pengaruh di antara ketiga lapisan dalam kebudayaan, yaitu basis materil atau kebudayaan fisik, lapis sosial atau perilaku, dan lapis mental-simbolik yaitu alam pikiran. Hubungan ini menjadi semakin kompleks pada masa sekarang dengan adanya kekuatan besar yang melanda seluruh dunia dan mendorong perubahan yang cepat dan meluas. Kekuatan yang dimaksud di sini adalah globalisasi, yang menimbulkan berbagai goncangan bukan saja pada orang perorang, bukan saja pada kelompok-kelompok sosial, tetapi pada lembaga yang besar seperti negara.

Dalam bidang hukum terjadi persaingan pengaruh antara sistem hukum nasional dan sistem hukum internasional. Kalau terjadi sengketa di antara perusahaan-perusahaan besar, termasuk perusahaan-perusahaan multinasional, maka pihak yang bersengketa dapat memilih penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri atau melalui Arbitrase Internasional. Dalam kenyataan, penyelesaian serupa itu semakin banyak menggunakan jasa Arbitrase Internasional karena menurunnya tingkat kepercayaan kepada pengadilan negeri di tanah air kita.

Dalam bidang ekonomi, globalisasi semakin memaksakan liberalisasi ekonomi. Mata uang kita harus bersaing dengan mata uang asing, sehingga nilai uang tidak saja ditentukan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Negara, tetapi juga oleh Bursa Efek atau Stock Exchange di mana terjadi persaingan nilai berbagai mata uang.

Dalam bidang informasi terjadi guncangan besar dalam sistem pengetahuan dan sistem nilai kebudayaan karena adanya internet dan berbagai alat komunikasi elektronik lainnya, yang membawa serta dua perkembangan baru. Pertama, informasi mencapai sasaran dengan kecepatan yang belum pernah ada sebelumnya, karena menciutnya ruang dan waktu atau time-space compression. Informasi apa pun dapat dicari di pesawat kecil yang bernama Blackberry hanya dalam ukuran menit. Jarak geografis telah diatasi oleh jarak digital.

Kedua, adanya information overload yaitu besarnya jumlah informasi yang menimpa kita setiap saat. Informasi tidak hanya menjadi fasilitas tetapi sudah menjadi beban. Menghadapi perkembangan itu tidak setiap orang cukup siap untuk memilah berbagai informasi itu secara selektif, kreatif dan produktif. Selanjutnya, perilaku ekonomi dalam hubungan majikan dan pekerja, sudah sangat berubah, karena adanya mobilitas internasional dari modal dan tenaga kerja atau international mobility of capital and labor.

Pengusaha-pengusaha Indonesia di Jakarta atau Surabaya yang menghadapi tuntutan upah buruh yang terlalu tinggi dan tidak dapat menghasilkan kompromi dalam negosiasi dengan para buruh, dapat dengan mudah memindahkan perusahaan mereka ke negara lain dengan upah buruh yang lebih murah seperti Vietnam, Myanmar atau Banglades. Sebaliknya para buruh yang merasa dibayar terlalu murah dalam industri-industri di Tangerang, dapat mengurus kepindahannya menjadi TKI di Malaysia atau Arab Saudi.

Mobilitas modal dan tenaga kerja ini menjadi salah satu sebab mengapa semakin sulit mempertahankan bentuk negara Welfare State, karena negara semakin tak berdaya membatasi gerak dan perpindahan modal dan beralihnya tenaga kerja dari satu negara ke negara lain.

IV

Kalau kita kembali ke masalah pengelolaan kebudayaan, maka kita akan berhadapan dengan beberapa jenis masalah. Pertama, perlu dibedakan pengelolaan hasil-hasil ciptaan budaya dan pengelolaan daya cipta budaya. Kedua, patut pula dibedakan pengelolaan kebudayaan sebagai komoditi dan pengelolaan kebudayaan sebagai sumber daya. Ketiga, pengelolaan kebudayaan untuk tujuan konservasi budaya dan pengelolaan kebudayaan untuk tujuan pengembangan budaya.

Ada baiknya ketiga pengertian ini diuraikan secara lebih terperinci. Pertama, kebudayaan merujuk kepada dua hal yang erat berhubungan namun berbeda. Pada satu pihak kebudayaan berarti produk yang dihasilkan tiap orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik berupa produk fisik maupun produk non-fisik. Jenis makanan, jenis pakaian, perumahan, alat transportasi, obat-obatan adalah beberapa contoh kebudayaan sebagai produk. Namun demikian, hasil cipta budaya tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga non-fisik seperti sistem kekerabatan, peraturan perkawinan, cara mendidik anak dalam keluarga, mitos tentang terbentuknya desa, peraturan tentang ritual, peraturan menanam dan memanen, bahasa daerah dan sastra daerah, musik etnis atau bentuk-bentuk kepercayaan kepada wujud tertinggi.

Dalam pada itu produk-produk kebudayaan itu telah diciptakan berdasarkan kreativitas atau daya cipta dari orang-orang yang hidup dalam kebudayaan itu. Hidupmatinya kebudayaan sangat tergantung pada ada-tidaknya daya cipta dalam suatu kebudayaan, dan ada-tidaknya suasana yang memungkinkan daya cipta itu berkembang atau tidak berkembang. Sebagai contoh kalau pementasan teater harus memerlukan surat izin dari pihak keamanan atau kepolisian, mengalami sensor ketat, dan ada kemungkinan dilarang secara sepihak, maka di sana suasananya jelas menghambat daya cipta.

Dikatakan secara tehnis: melihat kebudayaan sebagai hasil yang sudah jadi adalah memandang kebudayaan sebagai produk. Sebaliknya, melihat kebudayaan sebagai daya-cipta dan syarat-syarat pendukungnya adalah memandang kebudayaan sebagai proses produksi.
Dengan demikian mengelola kebudayaan dalam kaitan ini berarti mengelola produk budaya
dan mengelola proses produksi kebudayaan.

Pertanyaan yang perlu dijawab ialah apa artinya mengelola produk kebudayaan? Patut diingat bahwa produk kebudayaan tertentu sudah dihasilkan oleh orang-orang dalam suatu kelompok budaya tertentu, baik produk fisik maupun produk non-fisik. Di Sumatera dan Jawa banyak kelompok budaya memakan nasi, tetapi banyak kelompok budaya di Maluku dan Papua memakan sagu, dan di NTT banyak yang senang makan jagung. Mengelola kebudayaan di sini berarti memberi kemungkinan sebesar-besarnya kepada masing-masing kelompok untuk tetap menghasilkan jenis makanan yang sesuai dengan kebiasaan mereka, dan tidak memaksa mereka mengganti menu karena ada suatu kebijakan untuk membantu penduduk miskin dengan memberi beras.

Hal yang sama berlaku juga untuk jenis-jenis pakaian yang dihasilkan. Batik, tenun ikat, atau produk lainnya, hendaknya dijamin untuk tetap dapat diproduksi oleh masing-masing kelompok budaya secara bebas, dan perlu ada kebijakan pemerintah yang mencegah bahwa suatu produk yang laku di pasaran dunia, kemudian hendak dimonopoli oleh orang-orang di luar kelompok budaya yang menghasilkan produk tersebut atau bahkan oleh pihak asing yang berusaha mendapatkan hak paten untuk jenis batik atau jenis tenun ikat tertentu. Selanjutnya

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply