» » » » » » » Cerita dari Desa Tribudisyukur: Menyelamatkan Hutan, Menuai Limpahan Panen

Oyos Saroso H.N./Teraslampung.com

Kebun campuran dengan latar belakang hutan Bukit Rigis di Way Tenong, Lampung Barat. Kebun campuran yang diusahakan petani hutan kemasyarakatan (HKM) di Desa Tribudisyukur membuat warga desa itu bisa panen sepanjang tahun. (Teraslampung/Oyos Saroso HN)
LAMPUNG BARAT - Tribudisyukur adalah salah satu desa yang dikelilingi oleh hutan Bukit Rigis di Lampung Barat. Desa yang dibangun oleh para pensiunan tentara dari Divisi Siliwangi itu memiliki catatan sejarah yang panjang. Dulu, pada tahun 1950-an, para pendiri  desa itu harus berjuang untuk membuka hutan, membuat sawah dan kebun, serta  membangun sarana jalan.

Para pendiri Desa Tribudisyukur adalah eks-tentara pasukan Divisi Siliwangi yang melakukan program transmigrasi yang dilakukan oleh Tentara Nasional lewat program Biro Rekonstruksi Nasional (BRN). Program BRN merupakan wujud balas jasa pemerintah terhadap veteran perang kemerdekaan.

Kini, para anak keturunan tentara asal Tasikmalaya,Jawa Barat itu sudah bisa menikmati hasilnya. Sawah dan ladang terbentang luas dengan tanaman menghijau. Sementara jalan beraspal yang membelah desa dan menghubungkan Kabupaten Lampung Barat dengan Lampung Utara mempermudah warga desa untuk menjual hasil sawah dan kebun.

Meskipun berada di wilayah pegunungan dan berdekatan dengan hutan, para pendatang akan sangat sulit menemukan warga miskin di desa itu. Itu karena semua warga memiliki sawah atau kebun. Hasil sawah dan ladang mereka melimpah. Sawah biasanya ditanami padi dan biasanya dipakai warga untuk kebutuhan makan sehari-hari. Untuk kebutuhan hidup lainnya seperti membangun rumah, menyekolahkan anak, dan biaya kesehatan mereka lebih banyak mengandalkan hasil kebun berupa kopi, lada, kemiri, durian, coklat, dan pinang.

”Kalau dulu masih banyak warga di sini yang miskin. Setelah ada izin sementara dari pemerintah kepada warga untuk mengelola areal hutan, tujuh tahun lalu, kami bisa berkebun dengan tenang. Mulai saat itulah warga mulai merasakan pentingnya menjaga hutan. Karena kami menjaga hutan, Pemerintah Daerah Lampung Barat memberikan kompensasi kepada kami untuk mengolah hutan menjadi kebun,” kata Engkos Kosasih, mantan kepala desa Tribudisyukur yang kini menjadi ketua perkumpulan kelompok tani Bina Wana.

Izin pengelolaan hutan tersebut dikenal sebagai program Hutan Kemasyarakatan (HKM) atau pengelolaan hutan berbasis masyarakat (CBFM).  Di Indonesia, model HKM yang diterapkann di Tribudisyukur merupakan salah satu proyek percontohan.

”Sudah banyak petani dari beberapa daerah di Indonesia yang studi banding ke sini. Bahkan, beberapa petani dan peneliti dari luar negeri seperti dari Vietnam, Amerika, dan Jerman juga sudah pernah datang ke desa kami,” kata Engkos.

Kondisi hutan Bukit Rigis ketika belum ada program HKM. (foto dok Watala)
Karena keberhasilannya menerapkan program HKM, akhir Mei 2007 lalu Bupati Lampung Barat Erwin Nizar menyerahkan izin pengelolaan hutan kemasyarakatan (HKm) selama 25 tahun kepada Kelompok Tani Bina Wana, Desa Tribudisyukur. Kelompok Tani Bina Wana merupkan gabungan belasan kelompok tani yang ada di desa tersebut.

Dengan diberikannya izin mengelola hutan dalam jangka panjang itu,  seluruh anggota kelompok tani di desa itu wajib melaksanakan tiga kewajiban. Pertama, mencegah dan menanggulangi terjadinya penebangan liar di wilayah kelola masing-masing. Kedua, mencegah kebakaran hutan dan menanggulangi perburuan liar. Dan ketiga, menanam tanaman jenis kayu-kayuan dan tanaman serbaguna.

Izin yang diberikan tersebut merupakan izin pengelolaan hutan, bukan kepemilikan atas kawasan hutan sehingga tidak dapat dijualbelikan atau dipindahtangankan. Izin yang telah diberikan dapat dibatalkan sewaktu-waktu jika pemegang izin tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam izin kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak melaksanakan pengelolaan sesuai dengan rencana kerja yang telah ditetapkan.

Penelitian lembaga ICRAF menunjukkan pelaksanaan program hutan kemasyarakatan Register 45-B di Desa Tribudisyukur telah mampu meningkatkan kemauan masyarakat menanam tanaman tanaman jenis kayu-kayuan dan tanaman serbaguna yang hasilnya menguntungkan masyarakat miskin.

Selain itu, program HKM juga dapat meningkatkan nilai lahan dan pendapatan masyarakat, meningkatkan investasi dalam penanaman pohon dan investasi lahan serta meningkatkan nilai jasa lingkungan dari sistem agroforestry.

Warga Tribudisyukur mengenal HKM dan agroforestry pada akhir tahun 1990-an. Dengan menjalankan program HKM dan mengenal sistem agroforestry kawasan Bukit Rigis yang semula rusak parah akibat illegal logging dan perambahan, kini sudah menghijau.

”Tapi yang menghijau hanya  Bukit Rigis di wilayah Lampung Barat. Hutan Buki Rigis di kawasan Lampung Utara tetap rusak karena perambahan liar tetap berlangsung. Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena berada di daerah lain,” kata Engkos Kosasih.

Warga Tribudisyukur tetap membiarkan pohon di Bukit Rigis tetap lestari. Kalau ada perambah atau pelaku illegal logging yang mengambil kayu dari hutan, secara beramai-ramai mereka mengusirnya. Bahkan, tak segan-segan menangkapnya. Karena dijaga bersama-sama oleh warga desa, kini tak ada lagi pelaku illegal logging yang menebangi kayu di hutan Bukit Rigis di wilayah Lampung Barat.

Sementara itu, di hutan lindung di lereng Bukit Rigis warga mendapatkan kompensasi mengolah lahan kritis. Lahan yang dulu kritis itu kini mereka ”sulap” menjadi perkebunan campuran (agroforestrya) dengan pohon kopi robusta sebagai tanaman utama. Di sela-sela kebun kopi petani juga menanam lada, pohon pisang, cempaka, kayu manis, kemiri, pinang, durian dan lain-lain. Di setiap kebun campuran harus selalu ada tanaman berbatang tinggi, sedang, dan rendah.

” HKM memang mensyararatkan petani harus menanam pohon berbatang rendah, sedang,dan tinggi (pohon untuk kayu). Pohon berbatang tinggi tidak boleh ditebang untuk menjaga kelestarian ekosistem. Dengan tanaman mulkultur itulah panen hasil kebun seolah tidak pernah  berhenti sepanjang tahun,” kata Suhendri, mantan Direktur Keluarga PencintaAlam dan Lingkungan (Watala).


«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply