» » » Setelah 20 Tahun, Leila Kembali Pulang

Kurnia Yunita Rahayu/Didaktika UNJ

Leila S. Chudori (paling kiri) bersama beberapa sukarelawan dalam acara Pesta Media 2013.
Akhir 2012, dunia sastra Indonesia menyambut kelahiran sebuah karya Leila S. Chudori dengan gegap gempita. Penulis yang sudah berkarya sejak usia 11 tahun ini menerbitkan novel terbarunya berjudul Pulang. Bagi pembaca, Pulang merupakan karya apik yang mampu menjadi pelipur lara serta memberi refleksi sederhana yang mampu merawat ingatan masyarakat akan sebuah peristiwa sejarah. Namun, buat Leila S. Chudori sendiri, Pulang adalah sebuah kata yang merepresentasi hidupnya.

Sudah lebih dari 20 tahun, tepatnya sejak 1989, Leila muda memutuskan diri untuk menjadi wartawan dan meninggalkan dunia penulisan fiksi. “Saya sudah memilih untuk menjadi wartawan, masuk  TEMPO dan serius menjalaninya,” ujar Leila saat menjadi pemateri workshop penulisan fiksi di acara Pesta Media yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pada 23 Juni 2013. “Wartawan adalah sebuah profesi yang menjadikan hidup dan waktu tidak lagi milik kita, melainkan milik pekerjaan.”

Keputusan tersebut telah menjungkirbalik hidupnya. Ia masuk dalam pusaran rutinitas wartawan yang menyita seluruh hidup: menulis berita, mewawancarai narasumber, menulis, rapat, menulis, rapat dan kewajiban domestik. Sejenak, profesi baru itu nampak begitu mengebiri asa kesusastraan yang sudah memperkenalkan nama dan karya Leila kepada khalayak.

Konsekuensi yang mesti dilakoni sama sekali tidak luput dari kesadaran perempuan yang dulu masih berumur 20 tahunan itu. Terlebih orang-orang terdekat sebelumnya sudah mengingatkan. “Kalau kamu jadi wartawan, kamu akan suffer dalam menulis sastra,” tuturnya menirukan Goenawan Mohammad. Kala itu, sebagai pemimpin redaksi Goenawan tidak alpa membuka mata calon rekan baru belianya saat hendak memutuskan diri bergabung dengan TEMPO. Pasalnya, beberapa bulan sebelum menjadi wartawan, Leila baru saja menerbitkan kumpulan cerpen.

Namun, keinginan kuat putri Willy dan Muhammad Chudori ini tidak terbendung. Darma bakti serta integritas sebagai wartawan dibuktikan dengan kerja keras. Rekam jejak dunia jurnalisme Indonesia tidak akan sanggup meluputkan nama Leila. Kini, ia menjadi salah satu redaktur senior majalah TEMPO, media yang pernah diberedel pemerintah akibat kekritisannya di masa Orde Baru.

20 tahun larut dalam cakrawala jurnalistik, ia merasa ada keengganan bahkan ketidaktahuan dalam diri sendiri bagaimana bisa kembali menulis selain berita. Sebab, Leila sudah membiarkan segala riuh rendah dan bising dunia masuk ke dalam ruang di dalam hatinya yang dulu terjaga hening dan terkhusus untuk sastra. Hingar bingar itu dikunci rapat dalam hatinya, hingga terjadi sebuah peristiwa yang kembali menjadi titik balik dalam hidup sang wartawati.

Leila tersentak saat sang putri semata wayang, Rain Chudori mengomentari kumpulan cerpen Malam Terakhir, buah karyanya yang diterbitkan kembali pada 2009. “You’re a very very good writer, mom!” tegas Rain pada ibunya seperti dikisahkan Leila kepada Didaktika.

Pujian yang datang dari Rain benar menjadi cambuk yang membangkitkan asa kesusastraan Leila, hingga akhirnya ia pun memilih untuk Pulang. Dalam perjalanannya, ia menulis 9 dari Nadira sebelum memulai penulisan novel Pulang. “Kalau pujian datang dari orang lain itu biasa, tapi ini datang dari anak saya sendiri,” akunya. Leila sangat menghargai apresiasi sang putri, pasalnya Rain merupakan pribadi yang amat kritis.

Bertemankan Rain, redaktur senior majalah TEMPO ini memulai kepulangannya. Hingar bingar dunia yang tersimpan selama menjalani hidup sebagai wartawan, kini dijadikan kekuatan untuk dapat berkarya. Berbekal kelihaian observasi setelah 20 tahun menjadi jurnalis, ia menulis sebuah novel yang memukau banyak orang. Sejumlah pihak mengakui bahwa karya Leila merupakan tulisan yang begitu nyata, sebab kaya akan fakta sejarah. Ibu satu anak ini berhasil mempertemukan kembali kata-kata yang kemudian saling jatuh cinta, kawin, dan melahirkan sebuah cerita, yang kemudian membawanya kembali pada dunia sastra: Pulang.

Membaca: Harga Mati untuk Penulis

Sejak kecil, Leila begitu gandrung pada buku. Berbagai karya sastrawan besar dunia seperti Ernest Hemingway, J.D. Salinger, Virginia Woolf, James Joyce, dan Nadine Gordimer menjadi santapan yang selalu ia lahap habis. Bahkan, sebagai penulis ia mengaku beberapa tokoh tersebut punya pengaruh penting dalam pembentukan diri beserta karyanya.

“Waktu remaja, saya bisa membaca satu buku tiap minggu,” ujar alumni Lester B. Pearson College of The Pacific, Kanada itu.  “Tapi itu dulu,” lagi-lagi ia mengaku kesibukan telah merenggut waktunya untuk banyak membaca.

Meski begitu, aktivitas ini tak pernah sekalipun ditinggalkan oleh Leila. “Selagi mengantri sesuatu saya membaca, bahkan sambil menunggu narasumber pun saya selalu membaca,” katanya. Dalam membaca, ia mengaku dapat menemukan dunia yang berbeda-beda di tiap buku. Oleh karena itu, ia senang berpindah apalagi setelah menghadapi hidup yang kadang monoton. “Buku itu sebuah eskapisme buat saya.”

Bukan sekadar jadi lahan pengungsian pikiran, buku seringkali jadi sumber inspirasi dan informasi bagi para penulis. Berdasar hal tersebut, Leila mengingatkan bagi semua yang hendak dan sedang belajar menulis untuk tetap membaca. Bila diumpamakan dalam kebiasaan makan masyarakat Indonesia, buatnya membaca harus jadi bagian dari empat sehat lima sempurna bagi para penulis. Lebih dari itu Leila S. Chudori pun menegaskan bahwa membaca merupakan faktor utama yang tidak bisa ditolerir untuk memulai aktivitas, “rajin membaca adalah harga mati buat para penulis!”

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply