Oyos Saroso H.N.

Punya uang banyak, punya atensi ‘yang bagus’ terhadap dunia sastra, mau ‘mengidupi sastra, pandai membangun relasi, banyak sastrawan yang mau diajak kerja sama. Semua itu adalah poin penting yang dimiliki Denny J.A. untuk "menancapkan" pengaruhnya di dunia sastra Indonesia. Maka, ketika nama dia masuk dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, sebenarnya bisa dikatakan wajar.

Wajar saja. Sebab, lebih dari 50 persen anggota tim yang menyeleksi para tokoh sastra paling berpengaruh adalah pendukung Denny J.A.. Menjadi perdebatan dan membuat heboh karena demi memasukkan nama Denny .JA. kemudian banyak hal yang dilesapkan sembari menonjolkan keunggulan Denny.

Kunjungan 7 jutaan orang yang konon menyukai puisi-puisi Denny JA adalah satu hal yang masih pantas diperdebatkan. Benarkah angka itu? Hal lain yang mestinya dijawab panitia penyusunan buku dan Tim 8 adalah: (1) Benarkah sumber dana penerbitan buku dan peluncuran buku itu berasal dari Denny JA? (2) Apakah sumber dana itu kemudian yang menjadi alasan nama Denny JA harus masuk dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh?

Kalau soal 7 juta pengunjung yang menyukai 'puisi esai' Denny dijadikana acuan Denny populer—bahkan berpengaruh—lalu ternyata ada temuan bahwa data itu tidak benar, maka gugurlah alasan untuk memasukkan Denny JA sebagai tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia.

Kalau pertanyaan pertama dan kedua dijawab ‘ya’, maka sebenarnya tidak perlu ada kehebohan, menolak, mengritik, mencerca, membuat petisi. Lalu Tim 8 mempertahankan diri  bahwa pilihan itu adalah benar bin sahih. Sebab, kalau jawabannya adalah “ya”, maka publik pun akan mafhum bahwa penerbitan buku adalah sebuah proyek. Dan, tidak ada salahnya sastrawan  mendapatkan proyek.

Maka, ketika Jamal D. Rahman mengatakan bahwa para pengritik sebagai pihak yang tidak siap berdemokrasi  (cek di sini), nah, di sinilah persoalannya. Kita sepakat bahwa sebuah bebas diterbitkan oleh siapa pun. Namun, jika buku itu sejak awal diancangkan sebagai panduan, tonggak sejarah, dan catatan penting perkembangan sastra Indonesia—apalagi kemudian disebarkan secara masif ke sekolah-sekolah--, maka persoalan pun akan terjadi. Maka, dalam konteks inilah penilaian Jamal terhadap para penggiat sastra dan pemerhati sastra yang kritis itu menjadi tidak pas. Tidak pas karena Jamal seolah-olah ingin menyamakan para pemrotes itu sebagai pokrol bambu yang maunya menang sendiri.

Untuk mereview bagaimana Denny JA bermurah hati berjuang untuk sastra Indonesia, ada baiknya kita tengok kembali kegiatan-kegiatan yang sudah dia buat. Selain lomba menulis resensi sastra untuk bukunya sendiri dengan hadiah yang ‘aduhai’, Denny juga membiayai sejumlah penerbitan jurnal sastra. Ia juga membuat kegiatan di kampus-kampus. Kegiatan-kegiatan melibatkan sebagian juri (Tim 8) yang kemudian memilih Denny JA sebagai tokoh sastra paling berpengaruh.

Mungkin publik harus berpikir positif:: Denny JA memang tokoh sastra Indonesia yang top dan paling berpengaruh. Setidaknya bagi sebagian orang yang memilihnya.

Berikut ini adalah laporan utuh media LPM Arena UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (diunggah

Puisi-Esai, Gaya Baru Penulisan Karya Sastra“Saya curiga jika para penyair sebenarnya tidak benar-benar mencintai puisi dan tak mengerti arti sebenarnya puisi. Padahal Indonesia adalah negara pencinta puisi terbanyak didunia, silahkan cari tak ada satu negarapun dimanapun yang dimana rakyatnya mencintai puisi seperti rakyat Indonesia.” Joni Ariadinata


LPMARENA.com Jurnal Sajak bekerjasama dengan Komunitas Penulis Kutub menyelenggarakan Workshop Penulisan Puisi, Esai dan Puisi-Esai di Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (18/07).

Workshop ini menghadirkan beberapa pemateri seperti Agus R Sarjono, penyair sekaligus esais, Acep Zamzam Noor dan dimoderatori oleh Joni Ariadinata, peraih Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 1994.

Menurut Agus R Sarjono, puisi-esai merupakan sesuatu realitas faktual masyarakat yang diapresiasikan dalam bentuk puisi-esai yang panjang. “Memang bentuk karya sastra ini masih tergolong baru di kalanganmasyarakat, namun dalam perkembangannya tentu sudah muncul beragam karya serupa, hanya bentuknya yang masih tergolong dalamPuisi” ungkap  redaktur Jurnal Sajak  ini.

Tema-tema yang diangkatpun, lanjutnya,  lebih merupakan realitas masyarakat. Zaman telah berubah kini puisi tak lagi diminati dan menjadi trend yang dibicarakandimasyarakat, seakan puisi telah kehilangan jati dirinya, atau fenomena puisi kehilangan ruhnya. kalau jaman dahulu puisi selalu menjadi bahan pembicaraan masyarakat.

Oleh karena itu, Jurnal Puisi dan Komunitas Penulis Kutub berusaha menghidupkan kembali puisi terutama dikalangan mahasiswa. Sebagaimana dikatakan salah satu panitia acara, Maghfur MR.”workshop penulisan ini adalah untuk menghdupkan kembali semangat bersastra bagi mahasiswa, sekaligus mengenalkan salah satu karya sastra yang disebut dengan puisi-esai yang tergolong baru dimasyarakat.

“Jogja adalah yang pertama, kemudian menyusul Bandung dan Madura untuk acara yang sama karena kegiatan ini sebenarnya juga sebagai sarana sosialisasi terhadap masyarakat agar lebih mengerti bagaimana dan seperti apa Puisi Esai itu.” Tambah Sarjono kemudian.

Acara yang dihadiri oleh pelajar, mahasiswa dan beberapa komunitas penulis sastra yogyakarta ini ditutup dengan follow Lomba Penulisan Puisi-esai yang diadakan oleh Denny JA dengan hadian total 50 Juta. [Hasbul&Icus]

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply